Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Devide Et Impera Hidayat Nur Wahid dan PKS

13 Oktober 2020   10:44 Diperbarui: 14 Oktober 2020   18:03 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perdebatan sengit antara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Prof. Mahfud MD dan Hidayat Nur Wahid (HNW), menuai banyak komentar dari pengguna twitter pada minggu (11/10/2012).

Semula, Prof. Mahfud hanya menjabarkan kontradiksi tuduhan atas pemerintah dalam tweetnya. Bulan September menjadi ajang menjamurnya wacana komunisme yang tembakkan ke arah pemerintahan melalui pemutaran film G.30.S/PKI. Lantas kemudian di bulan Oktober karena ramai tentang UU Cipta Kerja, pemerintahan dituduh pro-kapitalisme. Prof. Mahfud mencoba mengajak diskusi warganet terkait teori yang menjelaskan ideologi Pancasila melalui pendekatan teori Fred Riggs tentang Prismatic Society.

Prof. Mahfud pun menjelaskan semua presiden dituding menyeleweng dari Pancasila sebagai akibat dari tidak jelasnya implementatif Pancasila itu sendiri. Pada intinya, diskursus Pancasila terkait wacana komunisme dan kapitalisme yang dituduhkan ke pemerintah, ternyata hanya soal pilihan kebijakan yang boleh saja dikritik, ditolak, bahkan didemo. Kita semua pun setuju kapitalisme-komunisme tidak sesuai dengan Pancasila. Tapi bagaimana bisa dituduhkan dua ideologi politik sekaligus, sesuatu yang absurd.

HNW menimpali tweet Prof. Mahfud dengan argumen, karena memang kesepakatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila telah final, aneh jika pemerintah dan rakyat tidak menerima kapitalisme-komunisme yang jelas-jelas terlarang dan tidak sesuai dengan Pancasila. 

Di sinilah ketidakpahaman HNW dalam menangkap maksud Prof. Mahfud terkait diskursus satu sasaran dua tuduhan (Komunisme-kapitalisme) sekaligus. Selain itu, HNW juga mencoba kembali penyesatan wacana dengan membangun sentimenisme yang berimplikasi pada isu-isu sektarian dan pemecahbelahan antara Pancasila dan selain Pancasila.

Indonesia sebagai salah satu negara yang paling majemuk di dunia, ditilik dari berbagai segi (agama, ras, suku, budaya, aliran politik, dan kelas sosial), memiliki konsepsinya tersendiri, bagaimana kemajemukan itu dikelola agar perbedaan tidak menimbulkan kerusakan, tetapi membawa kemaslahatan bagi bersama.

Usaha pembumian Pancasila menghadapi tantangan secara internal dan eksternal. Secara internal, penurunan keyakinan dan efektivitas Pancasila bisa terjadi manakala terdapat kesenjangan yang lebar antara idealitas Pancasila dan realitas kehidupan. Untuk masa panjang, ketiga lapis ideologis (keyakinan, pengetahuan, dan tindakan) Pancasila belum diaktualisasikan secara adekuat dan konsisten. (Yudi Latif: Wawasan Pancasila, 2018).

Apa yang dilakukan oleh mantan Presiden PKS adalah Devide Et Impera atau dikenal dengan politik pecah belah; adu domba; pecah dan kuasai. Istilah ini dalam bahasa Inggris dikenal juga dengan dengan devine and rule. Istilah tersebut muncul ketika Belanda mengadu domba dan memecah belah bangsa Indonesia pada tahun 1945 agar bercerai-berai menjadi kelompok kecil, kemudian kekuasaan dapat dikontrol dalam genggaman.

Wacana sektarian yang selalu didengungkan Partai Keadilan Sejahtera bersama HNW dengan pemikiran konservatifnya, tanpa disadari telah terjadi kesenjangan sosial di masyarakat. PKS yang berideologikan Ikhwanul Muslimin Mesir, tentu saja berusaha memetakan pelbagai ideologi yang dianggap tidak sesuai dengan cita-citanya itu, yakni formalisasi Islam dalam negara. PKS juga merupakan tantangan bagi internal maupun eksternal bagi penurunan keyakinan dan efektivitas ideologi Pancasila. Terlebih, HNW adalah lulusan Arab Saudi---berideologi wahabisme---yang ditentang hampir seluruh kelompok ummat Islam. Baik sunni maupun syiah.

Hampir seluruh gagasan dan wacana yang disodorkan partai berlambang padi dan bulan sabit itu, tidak menjadi penting bagi realitas sosial. Bahkan devide et impera. 

Sebagai contoh, HNW mengatakan, "Selama ini Indonesia sebagai negara hukum, belum mempunyai aturan hukum yang khusus untuk melindungi tokoh agama dari beragam agama yang diakui sah di Indonesia", ujar HNW dalam siaran pers di Jakarta, senin (14/9/2020). Ia juga menambahkan, "Hal itu perlu diatur secara tegas di dalam peraturan lex spesialis di level Undang-undang. Sanksi bisa berupa kurungan penjara maupun denda," ungkapnya. HNW juga mencontohkan aturan hukum di AS agar tokoh agama tidak dikriminalisasi.

Sebagai mantan anggota DPR RI dan Wakil Ketua MPR RI, HNW tidak memahami esensi UUD 1945 yang termaktub pada BAB XA tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28A sampai 28J yang telah diamandemen melalui UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ditambah, Pancasila butir dua. Pemaknaan kemanusiaan universal dalam butir kedua Pancasila adalah komitmen perjuangan kemanusiaan ini secara ideal bersifat universal, namun pelaksanaannya secara historis-sosiologis bersifat partikular. (Yudi Latif, 2019: 134).

Lahirnya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, tidak lain adalah sebagai bentuk implementasi dari adanya ketetapan MPR No. VII/MPR/1998 tentang HAM sebagaimana tercantum dalam instrumen (hukum) yang bersifat internasional. (Suwandi, 2005:42). Artinya, gagasan HNW tentang dibentuknya UU khusus untuk tokoh agama, akan bertentangan dengan UU sebelumnya, dan sudah dimuat dalam Pancasila butir kedua. Tidak hanya tokoh agama, melainkan tukang sayur, tukang becak, buruh, tani, mahasiswa, dan rakyat miskin kota, serta seluruh elemen bangsa yang masih ber-KTP Indonesia, berhak dilindungi oleh negara. Negara melindungi semua tanpa memandang ras, suku, etnis, agama dan kelas sosial.

Wacana HNW hanya bertujuan membuat runyam kondisi perpolitikan di Indonesia. Dengan dalih kritik, HNW berselancar dalam memainkan isu-isu yang menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. HNW cenderung membenturkan beberapa pihak dengan pihak lain. Cara-cara menyemburkan sentimen horizontal dengan tujuan benturan di tengah masyarakat. Mungkin juga karena tidak kompeten, akhirnya banyak masyarakat terpengaruh oleh pelbagai isu sektarian yang dihembuskan HNW. Suatu hal yang rasional kemudian ditutup menjadi emosional.

Selain itu, HNW juga terlihat memainkan politik demagog dan narsisme. Pandai menghasut hingga meraih emosi rakyat dengan berlindung kritik seolah-olah memihak rakyat, tapi sebetulnya bertujuan agar namanya dapat melenggang kemudian berkuasa. Publik yang selama ini menentangnya, ia coba dekati secara emosional. Manhaj dan ideologi yang selama ini tidak pernah dilakukan dan cenderung bertentangan dengan PKS, demi politik, kini PKS berani menceburkan dirinya sendiri. Misalnya, PKS melakukan tahlil, istighosah, maulidan, dan membuat pengajian-pengajian kitab Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asyari. Bahkan mengangkat Presiden PKS berdasarkan alumni pesantren.

Sebagian orang membaca laku lampah politik PKS ini adalah hal yang positif karena akhirnya PKS kembali pada Islam Indonesia yang sesungguhnya. Stop! nanti dulu. Membaca PKS bukan begitu, akan tetapi sesungguhnya apa dibalik itu semua kok tiba-tiba menyebrang secara radikal seperti itu? PKS adalah wadah politik, tujuannya menang kalah dan kekuasaan. Pendekatan-pendekatan demi meraih simpatik Muslim kultural yang melekat bahkan di kalangan Muslim urban. Mengingat kondisi sosial PKS yang semakin menyempit dan menghimpit dalam sejumlah dukungan suara.

Ideologi konservatif transnasional yang diusung oleh PKS tentu saja bertentangan dengan kultur bangsa kita. Oleh karenanya, PKS jeli melihat perkembangan dinamika yang ada melalui pendekatan-pendekatan kultural itu. Faksi konservatif di kalangan elit sedang berusaha keras menghentikan reformasi demokrasi. Elemen konservatif berusaha mendapatkan kembali keistimewaan-keistimewaan yang pernah mereka miliki pada masa lalu, ketimbang bergandengan mendukung demokrasi. (Eko Sulistyo, 2019: 4).

Dengan demikian, politik HNW dan PKS dapat dibaca ketika berupaya meraih simpati masyarakat kultural, maka menggunakan sentimen sosial. Namun di sisi lain, HNW dan PKS tetap pada pendirian konservatisme politik yang sistematis, terorganisir dan masif antara oligarki politik dengan bergandengan tangan bersama sejumlah ormas Islam dalam bentuk aksi di lapangan. Hal inilah yang dipakai HNW bersama PKS melalui politik dengan istilah lama, devide et impera atau pemecah belahan dan adu domba masyarakat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun