Mereka menginjak-injak masjid sembari menyanyikan lagu genjer-genjer. Bahkan mereka akan mengubahfungsikan masjid, menjadi markas Gerwani. Berani menodai masjid keramat yang suci, bagi GP Ansor-Banser tidak ada jalan lain, kecuali jihad. Lalu teradilah pertempuran antara Ansor-Banser melawan PKI. Pertempuran tersebut berhasil dimenangkan oleh GP Ansor-Banser, kemudian meringkus dan menyeret gerombolan PKI ke pengadilan.
Di tempat lain, peristiwa gesekan GP Ansor-Banser dengan PKI, kembali pecah saat pidato A. Karim DP, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang berideologi komunisme, saat di hadapan pimpinan PKI Kota Malang, pada tahun 1965. A. Karim DP mengatakan kaum beragama terutama kiai adalah termasuk kelompok borjuis feodal, masuk golongan proletar. Karena itu, PKI akan selalu berhadapan dengan tokoh agama, terutama para kiai.
Sontak, kader Gerakan Pemuda Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna Cabang Kota Malang yang mendengar kabar itu, bangkit dari tempat duduknya masing-masing dan menyerbu pertemuan PKI tersebut. Akan tetapi, usaha GP Ansor-Banser untuk menemui A. Karim DP untuk meminta klarifikasi, dicegat gerombolan Pemuda Rakyat PKI di tengah jalan. Bentrokan antar pemuda itu akhirnya tak terhindarkan.
Pada tahun yang sama 1965, Lekra kembali menyelenggarakan pentas kesenian Langen Tayub di Kecamatan Pogalan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, tepat di sebelah masjid. Pertunjukkan kesenian tersebut digelar selama dua hari dua malam tanpa henti. Terjadilah kesepakatan Ansor-Banser dengan penyelenggara terkait penghentian pentas itu ketika memasuki waktu shalat.Â
Namun, perjanjian tersebut dilanggar oleh pihak Lekra PKI. Untuk menjaga perdamaian dan menghindari benturan, Banser hanya bersiaga di seputaran serambi masjid agar para anggota PKI tidak masuk dan merusak masjid.
Lain lagi, ketika Lekra-PKI Kota Kediri, Jawa Timur. Menggelar pertunjukkan wayang. Ki Djamadi yang menjadi dalang, acapkali menggunakan lakonnya menghina agama Islam dan kiai NU. Tidak berpikir dua kali, GP Ansor-Banser Cabang Kota Kediri, segera menyergap dalang itu, lalu membakar rumahnya di desa Kencong.Â
Kantor kecamatan yang dikuasai PKI, diserbu Banser dan kemudian diblokade. Pada akhirnya kantor kecamatan berhasil direbut kembali oleh GP Ansor-Banser dan diserahkan oleh pemerintah. Dalam penyerbuan kali ini, GP Ansor-Banser bekerjasama dengan Pemuda Partai Nasional Indonesia.
Pada tanggal 6 Oktober 1965, Pemuda Rakyat PKI secara serempak mengepung;menyerang;membunuh anggota Banser NU di Banyuwangi, Jawa Timur. Sebelum Banser melakukan serangan balik, gerombolan muda aktivis PKI memburu dan menyerang lebih dulu. Akibatnya dan untuk kesekian kalinya, 40 anggota Banser tewas di tempat.
Kembali ke Kota Malang. Rupanya sudah menjadi tabiat dan habbit aktivis PKI yang utama. Seorang Pemuda Rakyat PKI di Kecamatan Turen, bernama Kusnen dan kawannya Niam yang menjadi Ketua Pemuda Rakyat PKI, menghina dan menginjak-injak Al-Quran seraya mengatakan bahwa Al-Quran bukan kitab suci, akan tetapi buku itu hanya berisi kebohongan. Tidak hanya itu, Niam juga menantang siapapun dari kelompok Muslim yang berani melawannya, karena saat itu, Niam cukup percaya diri dengan kesaktian yang cukup terkenal di daerah setempat.
Tidak lama, muncul seorang pemuda bak pahlawan super hero dalam animasi. Komandan Banser Kecamatan Turen bernama Samad menerima tantangan Niam. Terjadi duel sosok Ketua Pemuda Rakyat PKI dan Komandan Banser yang menegangkan. Duel itu berakhir dengan terbunuhnya Niam. Senja menguning mengiringi kematian pemuda sakti itu.
Pertunjukkan ludruk semacam itu, dipentaskan juga pada sejumlah kota di Jawa Tengah. Di Kabupaten Pati dan Kudus misalnya, Lekra menggelar pertunjukkan seni ketoprak dengan tema Gusti Allah Bingung! Dari judul saja, sudah memancing amarah banyak santri dan Banser setempat. Perkelahian kelompok santri bersama Banser dengan kelompok pemuda PKI, seringkali pecah sehingga membuat panik para penonton dan pemain.