Dari beberapa pengertian studi tentang kekerasan, penulis meringkasnya dalam beberapa faktor yang lebih penting untuk kita simak secara seksama. Kekerasan yang dilakukan oleh beberapa pihak adalah faktor kelainan genetik atau memang sudah menjadi bawaan (innate)---bisa disebut fisioliogis---gangguan kejiwaan.
Beberapa kasus yang terjadi belakangan, misalnya kasus penyerangan Syekh Ali Jaber yang dilakukan oleh seorang pemuda di Masjid Falahudin, Jalan Pamin, kota Bandar Lampung pada minggu (13/9/2020), yang diduga mengalami gangguan jiwa berdasarkan keterangan orang tuanya, terlepas dari situasi dan kontroversi politis kebenarannya. Sebab Syekh Ali Jaber sendiri menolak insiden ini dipolitisasi atau dikaitkan dengan isu apapun.
Selain itu, kekerasan juga dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh aktor dan kelompok dalam rangka meraih kepentingan politik kekuasaan.Â
Ted Robert Gurr (1970) mendeskripsikan kekerasan politik sebagai tindakan aktor atau kelompok yang menentang rezim yang berkuasa. Sedangkan Charles Tilly (1975) menjelaskan bahwa kekerasan akan berhasil apabila aktor mampu memobilisasi massa lewat suatu kalkulasi politik. Gustave Le Bon (1895) menambahkan, kekerasan sebagai tindakan yang dilakukan crowd (kelompok aktor) yang memiliki kekuatan untuk menghancurkan.
Penulis berusaha mengarahkan pada komunitas yang lebih kecil, khususnya agama Islam dalam mendeskripsikan kekerasan agar dapat dipahami secara holistik. Wacana yang tidak kalah penting untuk diurai adalah mengapa kekerasan Islam-politik selalu terjadi? Selain faktor fanatik-dogmatis ideologis terhadap agama, ia juga biasanya memiliki latar belakang kondisi dan situasi yang tengah dialami, seperti mengalami ketidakadilan, terjadinya disrupsi politik, budaya, pendidikan, ekonomi, dan sains-teknologi.
Penting bagi kita untuk mendudukkan segala persoalan pada relnya. Yang pertama, pandangan pelaku atau aktor kekerasan-agama bukan pandangan agama itu sendiri, melainkan pandangan beberapa pihak dan oknum yang salah memahami hakikat agama---memanfaatkan agama sebagai kendaraan---mencapai tujuan dan kepentingan politiknya.
Kedua, aktor dan kelompok kekerasan-agama, salah dalam pandangan agama dan politik praktis, bahwa agama dan politik merupakan langkah kebaikan bagi agama. Hal tersebut tentu saja bukan pandangan dari representatif mayoritas umat Islam.Â
Justru, jika kekerasan-agama dilakukan, maka agama akan kehilangan kesempatan perannya dalam menancapkan kebenarannya dan kesejahteraan bagi umat manusia. Sementara itu, jelas sekali bahwa ajaran dan nilai-nilai Islam akan mengokohkan politik kuasa yang ada, dapat menegakkan syariat tanpa perlu penamaan 'Islam' untuk diformalisasi ke dalam negara.
Lembaran sejarah telah memperlihatkan betapa konflik dan kekerasan dalam agama-agama, hingga pertumpahan darah atas nama agama, begitu memilukan. Perang salib yang memperebutkan tanah surga, kota suci Yerussalem yang berlangsung lebih dari satu abad, hingga kini belum berakhir. Bahkan kekerasan pun terjadi pada lintas aliran, lintas mazhab dalam satu agama. Padahal kita semua memahami esensi agama yang mengajarkan berbuat baik pada sesama, dan tentu saja mengajarkan kedamaian antar umat manusia.
Sepanjang sejarah Islam, kekerasan dan konflik sudah mengemuka. Semenjak era Khulafaur Rasyidin, dinasti Umayyah, dinasti Abasiyyah, dan hingga zaman sekarang ini dengan eskalasi kekerasan yang berbeda, tak terkecuali di Indonesia. Meski bangsa Indonesia dikenal oleh bangsa lain dengan keramahtamahannya, akan tetapi konflik keagamaan juga terus mewarnai dan tidak pernah sepi.
Yang jadi pertanyaan, apakah kekerasan dengan mengatasnamamakan agama sebagai pembelaan terhadap keyakinan agamanya, merupakan hal yang fundamental bagi ajaran agama? Atau ada kepentingan dan faktor lain yang menunggangi sebagian kelompok agama?
Jika dibolehkan, coba kita menoleh ke belakang sejenak. Ada satu paham dalam Islam yang tumbuh dengan pengaruh yang cukup prinsipil dalam perkembangannya di era kekinian. Yakni, paham kaum Khawarij yang menolak penyesatan sebagai kewajiban agama.Â
Berdasarkan pendapat Harun Nasution, seorang ahli filsafat Islam, dalam karyanya, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (1975:11), mendeskripsikan pemberian nama Khawarij itu didasarkan atas ayat 100 dari surat Al-Nisa', yang dalamnya disebutkan: Keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya, untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kaum Khawarij berjumlah dua belas ribu orang berkumpul dan siap berperang setelah memisahkan diri dari Imam Ali bin Abi Thalib. Kemudian menunjuk Imam yang bernama Abdullah Ibn Wahb Al-Rasidi. Selanjutnya, bertempur melawan pasukan Imam Ali bin Abi Thalib, namun mengalami kekalahan berat dialami oleh pihak Khawarij.Â
Akan tetapi, salah satu orang dari kaum Khawarij, mantan Gubernur Mesir era Sayyidina Umar bin Khattab memimpin, ia yang bernama Abdurrahman Ibn Muljam kemudian mengincar Imam Ali. Kala itu, Imam Ali yang tengah menjalankan shalat shubuh. Aktor kekerasan, Abdurrahman bin Muljam, mengangkat pedang beracunnya untuk menebas kepala Imam Ali. Tiga hari setelah peristiwa berdarah yang memilukan itu, Imam Ali akhirnya menghadap Allah SWT dengan syahid.
Catatan ini tertulis di tinta sejarah, aktor dan kelompok kekerasan-agama yang tidak dapat ditutup-tutupi. Namun, penulis berpandangan---jumlah yang mempunyai sifat demikian itu---golongan kecil dari sekian umat Islam di seluruh belahan bumi ini. Sebagaimana dikatakan oleh KH. Abdurrahman Wahid atau lebih akrab disapa Gus Dur (1940-2009), bahwa Islam garis keras adalah kelompok kecil dengan pengaruh amat terbatas. Ini adalah kenyataan sejarah. Akibat anggapan sebaliknya, dapat dilihat dari sikap resmi aparat penegak hukum kita yang terkesan tidak mau mengambil tindakan tegas atas mereka.
Beberapa kelompok teroris misalnya, mengancam, mempersekusi, mengintimidasi, meneror, dan menumpahkan darah sesama manusia, tanpa mengetahui apa kesalahan si korban sehingga mereka harus mendapat punishment yang begitu keji. Aktor dan kelompok teror itu semua telah melakukan kejahatan yang mengatasnamakan agama, sebagaimana penulis juga pernah menuliskan hal tersebut, pada minggu lalu dengan judul 'Kejahatan Atas Nama Agama, Kejahatan Terbesar'.
Perbedaan pandangan aktor dan kelompok Islam garis keras dengan ajaran Islam---Islam garis keras dan pelaku teror---merusak citra agama dan memecah belah umat, sedangkan ajaran Islam menerima segala perbedaan dan pluralitas dalam kehidupan. Baik perbedaan keyakinan agama, maupun perbedaan dalam pandangan mazhab.
Beruntunglah Indonesia dengan segala kemajemukan dan keramahtamahannya, diejawantahkan melalui slogan yang kita semua tahu, Bhineka Tunggal Ika, senantiasa tertancap dalam sanubari masyarakat Indonesia, masih dapat bertahan hingga kini. Kenyataan di Timur-Tengah sebagai cerminan yang patut kita ambil hikmahnya dalam berbagai pandangan agama dan nasionalisme, maupun agama, dengan tatanan sosial yang telah rusak oleh karena lingkaran kekerasan konflik yang tak kunjung usai.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kita harus tetap gigih merawat kemajemukan dan keberagaman di tengah masyarakat. Selain itu, mari kita upayakan revitalisasi pemahaman keagamaan yang kaku, keras dan ekstrem itu pada penguatan toleransi bahwa agama merupakan hal yang fundamental untuk dijalankan sebagai hamba Tuhan, bukan menurut hawa nafsu kekerasan yang dekat dengan tuntunan dan lingkaran setan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H