Jika dibolehkan, coba kita menoleh ke belakang sejenak. Ada satu paham dalam Islam yang tumbuh dengan pengaruh yang cukup prinsipil dalam perkembangannya di era kekinian. Yakni, paham kaum Khawarij yang menolak penyesatan sebagai kewajiban agama.Â
Berdasarkan pendapat Harun Nasution, seorang ahli filsafat Islam, dalam karyanya, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (1975:11), mendeskripsikan pemberian nama Khawarij itu didasarkan atas ayat 100 dari surat Al-Nisa', yang dalamnya disebutkan: Keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya, untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kaum Khawarij berjumlah dua belas ribu orang berkumpul dan siap berperang setelah memisahkan diri dari Imam Ali bin Abi Thalib. Kemudian menunjuk Imam yang bernama Abdullah Ibn Wahb Al-Rasidi. Selanjutnya, bertempur melawan pasukan Imam Ali bin Abi Thalib, namun mengalami kekalahan berat dialami oleh pihak Khawarij.Â
Akan tetapi, salah satu orang dari kaum Khawarij, mantan Gubernur Mesir era Sayyidina Umar bin Khattab memimpin, ia yang bernama Abdurrahman Ibn Muljam kemudian mengincar Imam Ali. Kala itu, Imam Ali yang tengah menjalankan shalat shubuh. Aktor kekerasan, Abdurrahman bin Muljam, mengangkat pedang beracunnya untuk menebas kepala Imam Ali. Tiga hari setelah peristiwa berdarah yang memilukan itu, Imam Ali akhirnya menghadap Allah SWT dengan syahid.
Catatan ini tertulis di tinta sejarah, aktor dan kelompok kekerasan-agama yang tidak dapat ditutup-tutupi. Namun, penulis berpandangan---jumlah yang mempunyai sifat demikian itu---golongan kecil dari sekian umat Islam di seluruh belahan bumi ini. Sebagaimana dikatakan oleh KH. Abdurrahman Wahid atau lebih akrab disapa Gus Dur (1940-2009), bahwa Islam garis keras adalah kelompok kecil dengan pengaruh amat terbatas. Ini adalah kenyataan sejarah. Akibat anggapan sebaliknya, dapat dilihat dari sikap resmi aparat penegak hukum kita yang terkesan tidak mau mengambil tindakan tegas atas mereka.
Beberapa kelompok teroris misalnya, mengancam, mempersekusi, mengintimidasi, meneror, dan menumpahkan darah sesama manusia, tanpa mengetahui apa kesalahan si korban sehingga mereka harus mendapat punishment yang begitu keji. Aktor dan kelompok teror itu semua telah melakukan kejahatan yang mengatasnamakan agama, sebagaimana penulis juga pernah menuliskan hal tersebut, pada minggu lalu dengan judul 'Kejahatan Atas Nama Agama, Kejahatan Terbesar'.
Perbedaan pandangan aktor dan kelompok Islam garis keras dengan ajaran Islam---Islam garis keras dan pelaku teror---merusak citra agama dan memecah belah umat, sedangkan ajaran Islam menerima segala perbedaan dan pluralitas dalam kehidupan. Baik perbedaan keyakinan agama, maupun perbedaan dalam pandangan mazhab.
Beruntunglah Indonesia dengan segala kemajemukan dan keramahtamahannya, diejawantahkan melalui slogan yang kita semua tahu, Bhineka Tunggal Ika, senantiasa tertancap dalam sanubari masyarakat Indonesia, masih dapat bertahan hingga kini. Kenyataan di Timur-Tengah sebagai cerminan yang patut kita ambil hikmahnya dalam berbagai pandangan agama dan nasionalisme, maupun agama, dengan tatanan sosial yang telah rusak oleh karena lingkaran kekerasan konflik yang tak kunjung usai.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kita harus tetap gigih merawat kemajemukan dan keberagaman di tengah masyarakat. Selain itu, mari kita upayakan revitalisasi pemahaman keagamaan yang kaku, keras dan ekstrem itu pada penguatan toleransi bahwa agama merupakan hal yang fundamental untuk dijalankan sebagai hamba Tuhan, bukan menurut hawa nafsu kekerasan yang dekat dengan tuntunan dan lingkaran setan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H