Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fatwa MUI Tak Wajib Diikuti

17 September 2020   14:11 Diperbarui: 17 September 2020   14:12 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena lain dalam fatwa MUI yang menimbulkan kegaduhan masyarakat adalah mengharamkan golongan putih (golput), dalam pemilihan legislatif pada tanggal 13 Februari 2009. Dan sebuah fatwa yang melahirkan pro-kontra hebat sekaligus menggelikan di tengah masyarakat, yakni tentang haramnya penggunaan media sosial facebook. Sebuah platform jaringan maya dalam menjalin interaksi dan komunikasi sosial di internet yang popular waktu itu, pada tanggal 21 Mei 2009.

Di samping itu, fatwa yang menghebohkan jagat nasional terkait pernyataan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahya Purnama (Ahok) yang menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 dalam Al-Quran, pada tanggal 11 Oktober 2016. Akhir-akhir ini juga beredar isu, bahwa MUI akan mengharamkan platform media film Netflix, yang dianggap memuat konten negatif. Hal itu tentu saja membuat MUI panen hujatan dan kritikan dari masyarakat. Walaupun kemudian hal tersebut akhirnya langsung dibantah oleh MUI.

Belum lagi sejumlah fatwa MUI daerah yang menjadi bahan perbincangan, seperti MUI Sumatera Barat yang mengharamkan makanan dengan penamaan yang bertentangan dengan akidah, misalnya "ketoprak setan", atau "ayam montok" yang dihukumi makruh. Bagaimana dengan makanan yang tidak sesuai dengan aslinya, seperti hotdog yang berisi roti dan daging sapi dan bukannya daging anjing?

Pada kenyataannya,  seorang mujtahid yang memberikan sebuah fatwa, haruslah orang yang memiliki kedalam ilmu dan memahami permasalahan agar tidak terjadi kesalahan. Bahkan Ibnu Masud menegaskan, orang yang sering memberi fatwa, padahal ia tidak menguasai ilmu, maka ia termasuk orang gila.

Nabi Muhammad SAW juga mengungkapkan dalam hadis, Barangsiapa memberi fatwa tanpa berdasarkan ilmu, maka dosanya ditanggung oleh orang yang memberi fatwa kepadanya. (HR. Ibnu Majah).

Menurut Khaled Abou el-Fadl, dalam karyanya Atas Nama Tuhan: Dari Fiqh Otoriter Ke Fiqh Otoritatif  (2004), fatwa itu muncul lantaran premis-premis yang mendasari kemunculan hukum Islam tersebut telah hilang ditelan komunitas pemberi fatwa hukum. Hal itu karena mereka, dan pengikutnya merasa paling berhak dalam memberikan dan menjalankan fatwa sebagaimana Tuhan menghendakinya.

Situasi tersebut, banyak dilakukan sejumlah lembaga, bahkan secara individu. Ulama dan ustadz yang kurang pemahaman agama, seringkali memberikan fatwa dengan segala permasalahan yang kompleks pada zaman sekarang. Ambisinya tersebut dalam memberikan fatwa, dapat berakibat fatal pada kehidupan umat Islam.

Terkait hal itu, Imam Abu Hanifah menyebut mufti yang bodoh dan mempermainkan syariat. Nilai yang seharusnya dijunjung tinggi, malah justru merendahkannya. Sedangkan Abdullah bin Masud sampai bersumpah diri yang mengejutkan. Dengan tegas, Abdullah bin Masud mengatakan bahwa orang yang dimintai fatwa oleh orang lain, namun dia sendiri belum memahami, maka orang tersebut termasuk orang gila.

Tidak hanya itu, ulama kontemporer, Dr. Yusuf Al Qardlawi mengatakan, seorang ahli fatwa di masa sekarang ini pada umumnya bertindak gila. Semua hal yang ditanyakan jawabannya kurang afdal, kurang tepat, membingungkan umat, bahkan menimbulkan keresahan di masyarakat, padahal yang dikehendaki masyarakat adalah solusi syariat.

Fatwa dalam segi bahasa disebut lughawi, merupakan jawaban atas suatu hal yang dipersoalkan mengenai hukum Islam. Fatwa juga bisa disebut nasihat, petuah dan jawaban atas persoalan yang ditanyakan. Disebut tidak mengikat karena memang tidak memiliki daya ikat. Baik secara personal maupun kelompok. Sedangkan untuk hukum positif dalam sebuah negara, yakni secara hukum formal tidak menyebutkan bahwa fatwa menjadi landasan hukum negara, berdasarkan Undang-undang No 10 Tahun 2004, tepatnya pasal 7.

Idealnya, fatwa menghadirkan ruang dialektis, dinamis dan produktif untuk perubahan dan perkembangan dunia Islam dalam menghadapi tantangan zaman. Lebih dari itu, fatwa yang menghasilkan solusi, dapat menghasilkan kekayaan akan khazanah hukum Islam, kemudian akan mengulang kejayaan Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun