Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Problematika Diskursus Negara Islam dan Khilafah

2 September 2020   12:00 Diperbarui: 2 September 2020   12:09 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: gchumanrights.org

Judul tulisan ini cukup menarik untuk dikaji, bagaimana para pemikir Islam terus memikirkan konsep dari Negara Islam dan khilafah? Karena dari zaman dulu sampai sekarang belum ada pelaksanaan berdasarkan hasil pemikiran itu sendiri.

Agama Islam sebagai petunjuk jalan kehidupan (syariah), rupanya tidak memiliki kejelasan dalam sebuah konsep negara. Mengapa demikian? Karena sampai hari ini belum ditemukan bagaimana formulasi konstitusi Negara Islam dan Khilafah itu sendiri.

Faktanya adalah tidak ada pendapat baku dalam membentuk sebuah negara, apakah dalam bentuk negara bangsa (nation state), berdasarkan etnis tertentu, ataukah negara wilayah atau kota (city state)?

Mengenai mekanisme pergantian pemimpin saja, Islam tidak secara detail dan jelas konseptualnya. Kenyataannya, ketika Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan digantikan oleh Khulafaur Rasyidin. Yang pertama adalah Sahabat Abu Bakar. Saat itu proses dan musyawarah dari para Sahabat Nabi memakan waktu tiga hari, dan atas wasiat nabi, bahwa Sahabat Abu Bakar sebagai pengganti imam Shalat, maka Sahabat Abu Bakar yang selanjutnya memimpin dan menggantikan Nabi yang kemudian di baiat oleh seluruh penduduk Madinah.

Demikian pula Sahabat Abu Bakar, sebelum wafatnya, sudah mewasiatkan bahwa Sahabat Umar bin Khattab yang menggantikannya. Hal ini berarti, mekanisme penunjukan seorang pemimpin untuk menggantikan pemimpin sebelumnya yang telah wafat. Jika kita selaraskan dengan zaman sekarang adalah seorang Wakil Presiden yang menggantikan Presiden kalau terjadi sesuatu pada Presiden, untuk menggantikan posisi kepemimpinan yang ditinggalkan.

Lalu, setelah 10 tahun lamanya memimpin (634-644 M atau 13-23 H), di akhir masa hidup Sahabat Umar bin khattab berpesan, untuk menunjuk pengganti dirinya, dibentuklah anggota dewan pemilih yang terdiri dari tujuh orang (ahl halli wa al-aqdhi). Tujuh anggota dewan ini yang akan menentukan kepemimpinan selanjutnya. Anggota dewan tersebut terdiri dari Sahabat Ali bin Abi Thalib, Sahabat Zubair bin Awwam, Sahabat Abdurrahman bin Auf, Sahabat Thalhah bin Ubaidillah, Sahabat Ustman bin Affan, Sahabat Saad bin Abi Waqqash, dan putranya Abdullah bin Umar.

Dari tujuh anggota dewan ini, Sahabat Umar bin Khattab berpesan agar anaknya tidak dibolehkan untuk dipilih sebagai pemimpin selanjutnya. Akhirnya anggota dewan tersebut bersepakat untuk mengangkat Sahabat Utsman bin Affan sebagai pemimpin negara dan pemerintahan selanjutnya. Setelah itu, Sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Sahabat Ustman bin Affan.

Setelah era Khulafaur Rasyidin berakhir, Muawiyyah beserta anak cucunya bersiap untuk menggantikan Ali bin Abi Thalib untuk memimpin pemerintahan. Di sinilah kemudian terjadi sebuah gesekan politik yang melahirkan politik dinasti berdasarkan marga dan keturunan.

Untuk ukuran sebuah negara, Islam pun belum jelas konseptualnya. Pasca Nabi Muhammad SAW meninggalkan Madinah, tidak jelas bentuk sistem konstitusional sebuah negara bagi Muslimin. Sahabat Umar bin Khattab memperluas imperiumnya sampai ke Asia Tenggara.

Hal ini tentu saja, Islam mirip dengan sebuah konsep, seperti komunisme untuk sebuah pemerintahan. Manakah yang lebih didahulukan untuk ukuran sebuah negara, menyebarkan pahamnya terlebih dahulu lalu kemudian membuat batasan-batasan teritorialnya, atau menunggu sampai kemudian dunia ini menjadi penganut Islam, baru memikirkan bentuk sebuah negara dan pandangannya?

Dengan demikian, pembahasan ini menjadi sangat penting, karena belum ada kejelasan tentang gagasan Negara Islam dan khilafah mengenai konsepnya. Fakta tersebut terjadi di berbagai negara, seperti Negara Republik Islam Pakistan, perdebatan antara pemimpin-pemimpin modernis Islam dan tradisional konservatif, apakah bentuk negara dan konseptualnya mengikuti fiqih yang dihasilkan mujtahid melalui deduksi dan derivasi dari Al-Quran dan Sunnah Nabi, yang harus diberlakukan? Atau sesuatu yang lebih universal?

Jika mengikuti konseptualnya Negara Pakistan, maka negara tersebut bersifat dimiliki oleh kelompok minoritas dari sekian banyak paham Islam di seluruh dunia. Mereka hanya menyepakati dengan menyelipkan nama "Islam" ke dalam negara, itupun pada Tahun 1956 terjadi perdebatan hingga 1962 ditinjau kembali oleh Dewan Penasehat Ideologi Islam.

Dengan begitu, gagasan mengenai Negara Islam, apalagi khilafah adalah sesuatu yang tidak jelas konseptualnya. Negara Islam dan khilafah hanya dipandang dari sudut institusionalnya saja, bukan konseptual. Dan bagaimana jika beberapa kaum Muslimin menolak gagasan khilafah atau Negara Islam itu? Apakah masih disebut Muslim?

Lalu bagaimana cara mewujudkan Negara Islam dan khilafah? Apakah dengan cara memerangi orang-orang yang menentangnya? Membunuh seluruh Non-Muslim? Bukankah agama Islam sangat melarang menggunakan cara-cara kekerasan? Semua jadi makin tidak jelas.

Kita bisa belajar dari pengalaman para pendiri bangsa dalam mencapai kemufakatan, melahirkan Pancasila sebagai dasar negara. Para ulama dan pendiri bangsa merujuk pada piagam Madinah, sebagaimana Nabi Muhammad SAW membuat satu kesepakatan bersama dengan umat Yahudi di Madinah. Nabi berhasil melahirkan Piagam Madinah yang di dalamnya menjamin hak-hak setiap warga Madinah, apapun agama dan golongannya.

Bahkan, di dalam Piagam Madinah ditegaskan, bahwa semua agama dan golongan yang disebutkan di dalamnya disebut sebagai satu umat (ummatun wahidah). Semua kelompok, baik Muslim maupun Non-Muslim mempunyai kedudukan yang setara. Tidak boleh ada diskriminasi dan tidak pula ada tirani mayoritas atas minoritas.

Dengan begitu, usaha-usaha yang dilakukan oleh para pendiri bangsa Indonesia untuk membentuk negara yang damai adalah sebuah konseptual yang sudah tepat di tengah segala perbedaan dan perdebatan yang ada. Di sini kita dapat menyimpulkan bahwa para pendiri bangsa sebenarnya merujuk kepada konstitusi yang dibuat oleh Nabi dan penduduk Madinah yang beragam itu yang dikenal dengan Piagam Madinah.

Para pendiri bangsa tidak merujuk pada konsep khilafah yang dipraktikkan setelah Nabi hingga Dinasti Ottoman. Sekarang, tinggal kita isi dengan nilai-nilai universalisme Islam yang rahmatan lil alamin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun