Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nasionalisme Islam adalah Nasionalisme Kemanusiaan

1 September 2020   20:50 Diperbarui: 1 September 2020   20:58 1705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nabi Muhammad SAW tidak mendirikan sebuah negara berdasarkan agama, tidak bersikap ekslusif, dan tidak egois dalam membangun sebuah pemerintahan. Pada zamannya, Nabi Muhammad SAW lebih mengedepankan perdamaian diantara realitas perbedaan dan eksklusivisme kesukuan yang terus menerus berkonflik.

Selain misi utama akhlak, Nabi Muhammad SAW dilahirkan dengan misi kemanusiaan, persaudaraan universal tanpa adanya batas etnis, agama, suku, dan ras. Dalam hal ini, dengan jelas Al-Quran menegaskan Aku tidak mengutus kamu wahai Muhammad kecuali sebagai rahmat untuk seluruh umat manusia (Q.S. Saba 34:28).

Diktum Islam adalah sebuah agama ramhmatan lil alamin, dalam rangka mengamalkan nilai-nilai universal Islam dalam konteks Indonesia, harus terus diperkuat demi ke-Indonesiaan yang bersimbol pada Bhineka Tunggal Ika.

Atas dasar itulah, Sebagian pemikir Islam mempertentangkan antara nasionalisme dan Islam. Argumen mereka adalah Nabi Muhammad SAW membawa agama keluar dari batas-batas kebangsaan.

Padahal jika kita perhatikan lebih dalam, bahwa banyak pemikir Islam lebih mengedepankan teologi dan bernuansa politis. Kenapa dikatakan demikian? Pengingkar nasionalisme berpikir bahwa dengan adanya nasionalisme, maka dunia Islam tidak menjadi lebih baik.

Faktanya, pada Tahun 1924 Kekhalifahan Turki Usmani berakhir, dan negara-negara Arab berusaha memisahkan diri dari imperium Turki Usmani dengan mengatasnamakan nasionalisme, demi kemerdekaan dari kolonialisme Barat.

Gagasan mengenai khilafah dengan menolak nasionalisme kebangsaan, dewasa ini sangat tidak relevan jika harus mempersatukan seluruh negeri Muslim, hanya bersifat politis yang sangat tidak realistis. Yang jadi pertanyaan, bagaimana cara mewujudkannya? Siapa dan negeri mana yang lebih pantas memimpin kekhalifahan?

Hal ini tentu saja akan menimbulkan perebutan kekuasaan menjadi khalifah dari masing-masing negeri dan bangsa Islam. Bangsa Arab yang berdasar keturunan suku Quraisy dan keluarga Nabi akan bertempur satu sama lain.

Sedangkan peradaban, militer, dan ekonomi merasa lebih kuat di Iran, Cina, Eropa, Amerika dan lainnya. Belum lagi di Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, tidak akan melepaskan haknya sebagai yang paling pantas menjadi khalifah.

Oleh karenanya, Islam sebagai landasan hidup, senantiasa menjadikan diri seseorang menjadi khalifah di negerinya masing-masing, dengan nasionalisme sebagai dasar berbangsa, dan bernegara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun