Nabi Muhammad SAW tidak mendirikan sebuah negara berdasarkan agama, tidak bersikap ekslusif, dan tidak egois dalam membangun sebuah pemerintahan. Pada zamannya, Nabi Muhammad SAW lebih mengedepankan perdamaian diantara realitas perbedaan dan eksklusivisme kesukuan yang terus menerus berkonflik.
Selain misi utama akhlak, Nabi Muhammad SAW dilahirkan dengan misi kemanusiaan, persaudaraan universal tanpa adanya batas etnis, agama, suku, dan ras. Dalam hal ini, dengan jelas Al-Quran menegaskan Aku tidak mengutus kamu wahai Muhammad kecuali sebagai rahmat untuk seluruh umat manusia (Q.S. Saba 34:28).
Diktum Islam adalah sebuah agama ramhmatan lil alamin, dalam rangka mengamalkan nilai-nilai universal Islam dalam konteks Indonesia, harus terus diperkuat demi ke-Indonesiaan yang bersimbol pada Bhineka Tunggal Ika.
Atas dasar itulah, Sebagian pemikir Islam mempertentangkan antara nasionalisme dan Islam. Argumen mereka adalah Nabi Muhammad SAW membawa agama keluar dari batas-batas kebangsaan.
Padahal jika kita perhatikan lebih dalam, bahwa banyak pemikir Islam lebih mengedepankan teologi dan bernuansa politis. Kenapa dikatakan demikian? Pengingkar nasionalisme berpikir bahwa dengan adanya nasionalisme, maka dunia Islam tidak menjadi lebih baik.
Faktanya, pada Tahun 1924 Kekhalifahan Turki Usmani berakhir, dan negara-negara Arab berusaha memisahkan diri dari imperium Turki Usmani dengan mengatasnamakan nasionalisme, demi kemerdekaan dari kolonialisme Barat.
Gagasan mengenai khilafah dengan menolak nasionalisme kebangsaan, dewasa ini sangat tidak relevan jika harus mempersatukan seluruh negeri Muslim, hanya bersifat politis yang sangat tidak realistis. Yang jadi pertanyaan, bagaimana cara mewujudkannya? Siapa dan negeri mana yang lebih pantas memimpin kekhalifahan?
Hal ini tentu saja akan menimbulkan perebutan kekuasaan menjadi khalifah dari masing-masing negeri dan bangsa Islam. Bangsa Arab yang berdasar keturunan suku Quraisy dan keluarga Nabi akan bertempur satu sama lain.
Sedangkan peradaban, militer, dan ekonomi merasa lebih kuat di Iran, Cina, Eropa, Amerika dan lainnya. Belum lagi di Indonesia yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, tidak akan melepaskan haknya sebagai yang paling pantas menjadi khalifah.
Oleh karenanya, Islam sebagai landasan hidup, senantiasa menjadikan diri seseorang menjadi khalifah di negerinya masing-masing, dengan nasionalisme sebagai dasar berbangsa, dan bernegara.
Maka, dalam teks proklamasi disebutkan "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
Dengan begitu, maka nasionalisme bangsa Indonesia berbeda dengan nasionalisme bangsa Arab. Meski tujuannya tetap sama, yakni ingin melepaskan diri dari kolonialisme barat. Nasionalisme bangsa Arab berakar dari fanatisme kebangsaan, bangsa Arab merasa bahwa bangsanya lebih mulia. Nasionalisme seperti demikian lebih bersifat chauvinistic yang banyak ditolak oleh kalangan pemikir Islam di negeri Arab sendiri.
Untuk nasionalisme Indonesia, secara terang tergambar di semua sila dalam Pancasila. Bukan chauvinisme, etnosentrisme, ataupun rasialisme. Lebih tepatnya, nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang bersifat kemanusiaan.
Jadi sudah jelas, bahwa nasionalisme Indonesia berdasarkan kemanusiaan, persamaan derajat, tanpa melihat perbedaan etnis, agama, suku, dan budaya, semua bersatu dalam persatuan Indonesia. Rumah besar ini dibangun berdasarkan realita pluralitas yang ada.Â
Dengan demikian, ajaran kemanusiaan universalitas Islam, terwujud dalam satu kebangsaan yang bernaung dalam segala perbedaan, terbukti persatuan Indonesia sebagai manifestasi  ajaran Islam tentang persatuan umat. Seperti juga yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dalam menerapkan universalitas Islam pada massanya.
Sebagai satu bangsa, dalam Al-Quran (Q.S. al-Hujurat 49:13) menyebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Ini menandakan bahwa nasionalisme kebangsaan Indonesia dengan martabatnya yang tinggi, hadir dalam pergaulan antarbangsa di dunia.
KH. Said Aqil Siradj, Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pernah mengatakan : "Islam saja tanpa nasionalisme akan menjadi ekstrim, dan nasionalisme saja tanpa ada landasan Islam akan kering."
Dengan demikian, mengamalkan jiwa nasionalisme yang Pancasilais sebagai cahaya syariat Islam yang universal ini, maka kita sedang menuju Indonesia yang baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur (Negara Makmur dibawah ampunan Tuhan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H