"Ingatlah bahwa organisasi kami menguasai 60% air di Bolivia!"Â Pria itu berbicara sembari memberikan sepucuk surat kepada seseorang berseragam militer. Cuplikan dialog dari film James Bond Quantum of Solace, menguak cerita penguasaan sumber daya air oleh organisasi yang berkuasa.
Mungkin cerita di atas hanya rekaan belaka, namun "emas biru" memang berpotensi sebagai sumber konflik di masa depan. Artikel Christopher Versace di Forbes (2013) telah meramalkan air akan menjadi barang langka di masa depan. Bahkan lebih ekstrem lagi, dalam buku Privatization, Pollution and Profit Vandana Shiva mengenalkan slogan blood for water, sebagai ilustrasi pertumpahan darah karena air.Â
Bumi sering disebut planet biru karena melimpahnya sumber daya air. Namun hanya 2,5% air permukaan bumi yang layak diminum. Air, secara siklus hidrologi akan mengalami pembaruan secara alami. Sayangnya, polusi dan kerusakan lingkungan membuat pergeseran pada siklus air. Pada 2017, Kota Cape Town bahkan mendeklarasikan day zero, kekurangan pasokan air besih karena turunnya suplai dari waduk. Film dokumenter Netflix berjudul Explained World's Water Crisis, kian menegaskan bahwa krisis air merupakan permasalahan yang akan dihadapi cepat atau lambat.
Susan Schemier dari IHE Delft dalam artikelnya menyampaikan bahwa kendali atas air sering dijadikan kendaraan politik atau kekuasan, sehingga di masa depan akan berpotensi konflik. Hal yang sama disampaikan Presiden World Water Council saat Kick-off meeting World Water Forum 2023 karena air erat dengan politik maka penanganan permasalahan air tak lepas dari pengambilan keputusan dan kemauan politik. Â
Air memegang peranan penting bagi manusia. Krisis air akan berdampak pada berkurangnya pasokan makanan karena sektor agraria dan peternakan memerlukan air yang cukup besar. Selain itu minimnya air bersih dan sanitasi akan mengakibatkan gizi buruk, stunting bahkan dapat memicu penyakit epidemik.
Bagaimana Korupsi Memperburuk Krisis Air
Vandana Shiva dalam bukunya Privatization, Pollution and Profit berpendapat bahwa adanya krisis air artinya akan ada peningkatan demand. Adanya kenaikan demand air akan berkorelasi dengan meningkatnya tarif air untuk menyeimbangkan permintaan. Hal ini tentunya akan berkorelasi dengan penggunaan kewenangan dan sumber daya secara bertanggung jawab. Secara tidak langsung adanya krisis air akan berdampak pada potensi abuse of power atau korupsi.
Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus yang artinya tindakan merusak. Sedangkan Transparency International mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk keuntungan pribadi. Mengutip Rebecca L Root (2020), setiap 10% investasi di sektor air yang hilang akibat korupsi setara dengan kerugian lebih dari 75 Miliar Dollar per tahun. Korupsi melalui sambungan tidak resmi juga berpotensi membuat  harga sambungan air pelanggan normal menjadi 30% lebih mahal untuk rumah tangga domestik.Â
Celah korupsi ada di hampir setiap sektor, namun korupsi di sektor air minum merampas hak dasar rakyat dan berdampak besar pada kesehatan. Korupsi secara sistemik mempengaruhi tata kelola air dengan mempengaruhi siapa yang mendapatkan air, apa, kapan, di mana, dan bagaimana mendapatkan setetes air. Korupsi juga akan berdampak besar pada  tarif yang akan dibebankan kepada tiap individu. Laporan siwi.org menyatakan bahwa di Afrika Sub-Sahara, 44% negara tidak mendapatkan akses air karena korupsi. Dengan kata lain, korupsi berkontribusi terhadap jutaan orang yang meninggal akibat penyakit yang disebabkan oleh kurangnya akses terhadap air bersih dan sanitasi.
Upaya Masif Pembenahan Tata Kelola Air