Mohon tunggu...
Elza Taher
Elza Taher Mohon Tunggu... Editor - GM

Penulis buku, editor, aktif di twitter dan facebook.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Upiak Angguak-angguak: Gadis Minang Yang Malang

21 September 2013   16:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:35 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya berteriak sambil menaruh ember yang diisi ikan di kapala
saya. "Syukurlah,lakuu ya....", kata Upiak, sambil kepalanya
mengangguk. Ia makin dekat dan saya mencium bau tak sedap. "singgah
lah", kata saya sambil > menenangkan hati. Upiak ketawa terbahak
bahak, saya lihat kegembiraan diwajahnya. Saya tak pernah melihatnya
tertawa seperti itu. Mungkin ia tahu saya cuma basa basi, sebab di
rumah hanya ada saya dan ibu dan kalau siang ibu saya pergi ke
sawah. "Tidak, terima asih, ambo pergi ya.." katanya.

Tiba-tiba tangannya memegang tangan saya mendadak, memberikan sesuatu
dan pergi. Ketika saya buka, saya terkejut.. uang. Dengan agak gugup
saya berkata" Uni, ini pitinya saya kembalikan, sebenarnya saya ingin
memberi uni piti hasil jualan ikan tadi" kata saya kepadanya. Upiak
berbalik menatap saya dan berkata " Terimalah, selama hidup saya
hanya menerima dari orang, saya lebih senang memberi tapi.. ", Upiak
tak melanjutkan katanya, matanya menerawang ke langit. Ia nampak
terharu. "Saya senang, baru pertama kali seumur hidup saya dipanggil
Uni, bukan Upiak gilo", katanya sambil berlalu. Saya sempat menatap
mukanya, ada nada sendu dimatanya. Kejadian itu berlalu begitu
cepat, saya terpana dan tersadar oleh panggilan teman teman yang
metertawakan saya. Saya acuh saja. Mereka mengira pasti saya
ketakutan.

Malamnya saya tak dapat tidur memikirkan makna kejadian bersejarah
sore itu. Bersejarah karena sayalah orang pertama usia sebaya yang
mau berbicara dalam jarak dekat dengan Upiak. Perasaan saya
berkecamuk, campur-aduk. Betulkah ia merasa dihargai?. Betulkah ia
senang dipanggil Uni dan bukan si Upiak gilo seperti yang dialaminya
tiap hari? Kata Upiak "memberi lebih mulia dari menerima", terngiang-
ngiang di telinga saya. Upiak tak kuasa melawan takdir, ia ingin
diperlakukan sama sebagai manusia terhormat, bukan dihina dan
dicerca. Saya tak tahu apa dosanya hingga ia diperlalukan seperti
itu.

Saya tahu ia kesepian dan hidup baginya terasa kejam. Wajah
Upiak yang sendu saat menatap saya tak dapat saya lupakan. Dibalik
wajahnya yang buruk, saya melihat ada `kecantikan' didalamnya.
Kecantikan yang tak terlihat dan hanya bisa dirasakan melalui
penghayatan. Melalui perasaan, melalui hati.

Tak lama kemudian saya pergi merantau ke Jakarta. Tentu saja saya
tak dapat lagi bertemu Upiak. Saya tenggelam oleh rutininas
kehidupan. Empat tahun kemudian ketika pulang kampung pertama kali,
takdir mempertemukan saya kembali dengannya di tempat yang sama, di
loniang depan masjid Batang-laweh, tempat dulu kami bicara pertama
kali. Waktu itu sore hari, saya usai shalat di masdjid Laweh. Dari
jauh saya lihat Upiak berjalan sambil kepalanya mengangguk-ngangguk
seperti biasanya. Dan anak anak..huh.., dunia tak juga berubah,
berkerumun mengikutinya sambil menghina.

Wajahnya sudah berubah,sudah nampak tua, rambutnya sudah agak tipis,
nampak lelah, kurang bersemangat, dan dari raut mukanya..saya tahu ia
sangat menderita.Upiak sudah kehilangan semangat hidup. Tapi saya
senang sekali melihatnya. Begitu melihat saya mendekat
emanggilnya. "Uni, masih ingat saya?", kata saya dengan suara keras.
Upiak menatap, curiga,memperhatikan saya lama sekali. Ia berpikir
keras. Ia menggelengkan kepalanya.

Saya kira ia lupa. Saya mencoba tersenyum, bersikap ramah " Empat
tahun lalu Uni memberi saya piti. Saya sekarang dirantau dan sedang
pulang karena libur, ingat?, kata saya sambil mengulurkan tangan,
mengajaknya bersalaman. Upiak menarik tangannya, ia menolak
bersalaman. Upiak berpikir sesaat dan tiba tiba ia tersenyum,
nampaknya ia ingat. "ambo ingek", katanya masih menatap saya dengan
senang.

Saya mempersilahkan Upiak mampir ke rumah tapi ia menolak. Kami
berbincang-bincang cukup lama disaksikan banyak orang
dari jauh. Saya tak mempedulikan suara suara mengejek yang saya
dengar. Saya sangat menikmati percakapan dengannya. Ada nuansa yang
lain, nuansa keluguan, kepolosan dan kejujuran. Saya seperti tak
bicara dengan gadis gila tapi dengan orang yang wise yang tinggi. Tak
pernah saya lihat Upiak segembira hari itu. Angin bertiup pelan,
udara sejuk dan cerah. Hidup menjadi sangat indah.

Tapi, tiba tiba suasana berubah, Upiak menatap saya dengan
pandangan tak bersahabat ketika saya bertanya apakah ia sudah punya
pacar atau sudah kawin "Apo?", katanya, sambil memekik, raut mukanya
mendadak berubah. Ia nampak sangat marah "Orang gilo mana yang mau
dengan ambo?", katanya dengan suara meninggi. Saya terpana dengan
sikapnya, tak menyangka ia sensitif dengan pertanyaan itu. Ketika
ia pergi saya mengejarnya dan berkata "Uni, dengarkan ambo, ambo tak
ado niat menyinggung perasan Uni. Beri saya maaf, besok saya kembali
ke Jakarta", kata saya setengah mohon. "terimalah ini ", kata saya
sambil menyerahkan sesuatu kepadanya. Sebuah kado yang memang sudah
saya siapkan untuknya.

Dengan marah ia menolak pemberian saya dan pergi dengan muka
menangis. Saya menatap kepergiannya sampai ia menghilang dari
pandangan. Saya tercenung, merasa bersalah, sangat sedih dan tiba-
tiba merasa sunyi. Saya menoleh ke atas, ke langit biru nan indah,
tiba-tiba langit nampak mendung dan awan nampak gelap. Hujan akan
turun. Hati terasa hampa, ada sesuatu yang hilang, yang tiada
ternilai..

Tuhan mengatakan ia takkan menguji seseorang diluar batas
kemampuannya, tapi saya merasa penderitaan Upiak sudah melewati
batas kemampuannya. Ia hidup sendirian di dunia ini, tanpa cinta,
tanpa keluarga, dan didera hinaan setiap saat. Tak ada manusia yang
bisa bertahan hidup tanpa cinta kasih orang lain. Cinta adalah rahmat
terbesar dari Tuhan. Rugilah manusia yang hidup tanpa cinta. Saya tak
tahu apa hikmah dibalik cobaan yang menimpa Upiak, saya ingin protes
kenapa Tuhan membiarkan Upiak mengalami nasib tragis ini? Sungguh
saya tak dapat menjawabnya, tapi saya percaya Tuhan maha pengasih
dan penyayang. Cuma Tuhan yang tahu misteri dibalik semua ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun