Mohon tunggu...
Elza Taher
Elza Taher Mohon Tunggu... Editor - GM

Penulis buku, editor, aktif di twitter dan facebook.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Upiak Angguak-angguak: Gadis Minang Yang Malang

21 September 2013   16:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:35 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kahlil Gibran pernah menulis "kenangan adalah anugrah
Tuhan yang tak dapat dihancurkan oleh maut". Malam ini, tiba tiba
saya terkenang kepada seorang wanita. Ingatan saya melayang ke
kampung, nun jauh ke masa silam, tigapuluh sekian tahun lalu. Waktu itu
saya berusia menjelang dua belas tahun, sedang wanita itu mungkin
tujuh tahun lebih tua dari saya.

Konon ia lahir sekitar tahun 1955 dan tinggal di Desa Balun,
Muaralabuh, seratus dua puluh kilometer dari Padang. Sekali dalam
seminggu, ia pergi berjalan kaki melewati desa desa Muara Labuh
sampai ke Pakan Salasa, sesekali bahkan sampai ke Lubuak Gadang,
menjalankan pekerjaannya; meminta sedekah dari orang kampung.
Perjalanan panjang sejauh 40 Km itu ditempuhnya seharian penuh.
Begitu rutinnya ia datang sehingga namanya terkenal seluruh
kampung. Orang kampung memanggilnya " Upiak angguak angguak".

Di kampung waktu itu `bersedekah' diyakini sebagai perbuatan mulia
dan dibalas Allah berlipat ganda. Karenanya Upiak tak terlalu sulit
mendapatkan `sedekah' orang lain, meski hidup mereka juga pahit.
Kala itu menjadi peminta, atau pengemis istilah kini, dipandang
sebagai pekerjaan hina. Jangankan jadi penerima `sedekah', beberapa
desa bahkan melarang warganya bekerja yang sifatnya melayani orang
lain seperti pekerjaan pembantu sekarang, karena dianggap merendahkan
derajat kampung. Upiak, merupakan pengecualian waktu itu.

Sebagai gadis yang masih belasan tahun, wajah Upiak memang tidak
cantik, raut mukanya agak seram, terkesan pemarah, badan tak
terurus, rambut panjang sampai ke pinggang, tapi yang menakutkan
anak anak ialah kepalanya yang terus menggangguk-angguk. Itulah
sebabnya orang menyebutnya upiak angguak angguak. Tak ada waktu yang
terlewatkan tanpa anggukan kepalanya, lagi mandi, lagi makan, lagi
bicara bahkan saat sedang sholatpun ia mengangguk. Konon, ia hanya
berhenti mengangguk kalau tidur. Tidurpun tak bisa lama, begitu
bangun kepalanya otomatis mengangguk. Sampai saat ini saya tak tahu
apa nama penyakit Upiak, dan belum pernah bertemu orang yang punya
penyakit sepertinya.

Dari raut mukanya saya tahu Upiak tersiksa dengan nasibnya.
Konon, ia hidup sebatang-kara, kedua orang-tuanya sudah meninggal,
tak punya keluarga. Ada keluarga jauh tapi tak mau mengakuinya karena
malu atas penyakitnya. Ada yang bilang Upiak sudah begitu sejak
kecil, tapi sebagian lagi berkata karena kutukan sebab ia durhaka
menyakiti ibunya. Saya tak percaya Upiak durhaka dan dikutuk Tuhan.
Hati kecil saya mengatakan Upiak orang baik. Tuhan tidak kejam, Tuhan
maha pengasih dan penyayang. Saya yakin itu cuma penyakit.

Jika melewati desa desa sepanjang Muara Labuh, Upiak sudah faham
betul mana rumah yang ia singgahi, mana rumah yang ia abaikan. Dari
Balun, Pakan Rabaa, sungai Aro, Lundang, laweh, Rawang saya tahu
betul penduduk yang berbaik hati pada si upiak dan mana yang menutup
pintu bila Upiak datang. Beberapa ibu ibu di Batang Laweh bersikap
ramah setiap kali Upiak lewat, mempersilahkannya masuk, memberinya
minum dan bahkan ada yang memberi makan disamping sedekah.

Biasanya ia singgah tak lama, paling lima menit lalu pergi ke rumah
yang lain. Yang pasti setiap kali Upiak datang ia menjadi tontonan
anak anak dari jauh, dan setiap kali pula selalu bersikap menghina.
Betapapun Upiak mencoba bersikap ramah anak anak tetap menjauh.

Setiap kali ia datang anak anak se-usia saya berlari ketakutan
menjauh darinya, tak ada yang berani mendekat. Dari jauh mereka
meneriaki Upiak dengan kata menyakitkan ` upiak padusi gilo lewe,
Upiak angguak angguak datang" kata mereka bersorak seperti mendapat
hiburan, dan berkerumun mengikutinya.

Meski demikian Upiak mencoba bersikap baik kepada kami. Bahasa
tubuhnya menampakkan sikap bersahabat dan ramah, tapi anak anak sudah
kepalang takut melihat wajahnya. Seiring berjalannya waktu toh Upiak
terbiasa dengan sikap yang menyakitkan itu, dan menerimanya sebagai
perjalanan hidup yang harus dilaluinya.

Berbeda dengan anak anak lain, saya tidak takut pada Upiak.
Saya tak pernah mengejeknya, dan bahkan selalu bersikap hormat dan
bersahabat padanya. Saya sering memarahi teman yang mengejeknya.
Setiap berpandangan saya selalu tersenyum ramah. Dibalik wajahnya
yang menakutkan, saya tahu Upiak orang baik, dan dia ingin
diperlakukan sama seperti yang lain. Lama lama Upiak nampaknya tahu
saya berbeda dengan anak yang lain. Ia tahu bahwa saya bersahabat
kepadanya dan tak suka ia diperlakukan seperti itu.

Suatu saat, musim semi tahun 1974, saat Jakarta baru saja
dilanda huru-hara Malari, saya kepergok dalam jarak tak sampai dua
meter dari si Upiak di desa Batang-laweh, waktu itu ia baru keluar
rumah seseorang penduduk. Awalnya saya terkejut, sedikit gugup tapi
berusaha bersikap tenang dan tidak lari seperti anak anak lainnya.
Saya tidak menampakkan wajah yang takut, karena saya memang tidak
takut padanya. Meski pun demikian saya gugup juga ketika ia
mendekat dan menatap saya dengan tajam. " Dari mano diak", katanya
menyapa ramah. " Pulang menjual ikan ", kata saya agak gugup sambil
memperlihatkan ember yang sudah kosong. Kadang kadang kalau lagi
butuh uang saya mengambil ikan di kolam dan menjualnya keliling
kampung sambil berteriak "Lawuuaak...ikaan..ikaaan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun