Asal mula sejarah jalan dago Bandung
Asal mula Jalan Dago di Bandung cukup menarik dalam sejarah dan budaya Sunda. Kata "Dago" berasal dari bahasa Sunda, yang artinya "menunggu" atau "menantikan." Dahulu, wilayah ini menjadi tempat persinggahan dan pertemuan orang-orang dari daerah yang lebih tinggi di sekitar Lembang, Ciumbuleuit, dan sekitarnya sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke pusat kota Bandung.
Di daerah ini, orang-orang sering "ngadagoan" (menunggu) satu sama lain untuk berkumpul sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya. Oleh karena itu, nama "Dago" melekat pada jalan ini, mengingat banyaknya orang yang menggunakan tempat tersebut sebagai titik temu. Seiring waktu, Dago berkembang menjadi kawasan yang ramai dan populer, terkenal dengan pusat perbelanjaan, tempat kuliner, dan tempat wisata yang menarik banyak pengunjung, baik dari Bandung maupun dari luar kota, yang sekarang dikenal dengan Jl. Ir. H Djuanda.
Sejarah singkat yang dipercaya oleh masyarakat Bandung terkait jalan dago adalah..
Pada masa kolonial, kawasan Bandung bagian utara masih berupa hutan lebat dan jalan setapak yang menghubungkan desa-desa di daerah pegunungan dengan kota Bandung. Masyarakat di kawasan ini harus menempuh perjalanan melewati hutan yang masih liar untuk mencapai pasar di pusat kota. Perjalanan tersebut penuh tantangan dan risiko, terutama karena wilayah ini masih dikuasai oleh binatang buas, seperti harimau dan badak, serta sering dijadikan tempat persembunyian para perampok.
Sejumlah sumber literatur mencatat bahwa pada masa itu, kawasan Bandung memang merupakan habitat bagi berbagai satwa liar, termasuk harimau dan badak Jawa. Kawasan hutan yang kini dikenal sebagai Terminal Dago adalah salah satu area yang sangat rawan, sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi warga yang hendak beraktivitas di luar kampungnya.
Untuk menghindari ancaman dari binatang buas dan perampok, warga setempat kemudian membiasakan diri untuk bepergian secara berkelompok. Mereka tidak berani melakukan perjalanan sendirian, sehingga apabila kelompok belum terbentuk, mereka akan menunggu hingga ada cukup orang untuk berjalan bersama. Proses "menunggu" atau "dagoan" dalam bahasa Sunda ini akhirnya menjadi kebiasaan yang melekat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H