Mohon tunggu...
Elwin Hilmansyah
Elwin Hilmansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - wiraswasta

Memberitakan berita, agama, sosial, politik, budaya, dll

Selanjutnya

Tutup

Bandung

Asal Mula Sejarah Jalan Dago Bandung

11 November 2024   13:56 Diperbarui: 11 November 2024   17:29 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Asal mula sejarah jalan dago Bandung

Asal mula Jalan Dago di Bandung cukup menarik dalam sejarah dan budaya Sunda. Kata "Dago" berasal dari bahasa Sunda, yang artinya "menunggu" atau "menantikan." Dahulu, wilayah ini menjadi tempat persinggahan dan pertemuan orang-orang dari daerah yang lebih tinggi di sekitar Lembang, Ciumbuleuit, dan sekitarnya sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke pusat kota Bandung.

Di daerah ini, orang-orang sering "ngadagoan" (menunggu) satu sama lain untuk berkumpul sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya. Oleh karena itu, nama "Dago" melekat pada jalan ini, mengingat banyaknya orang yang menggunakan tempat tersebut sebagai titik temu. Seiring waktu, Dago berkembang menjadi kawasan yang ramai dan populer, terkenal dengan pusat perbelanjaan, tempat kuliner, dan tempat wisata yang menarik banyak pengunjung, baik dari Bandung maupun dari luar kota, yang sekarang dikenal dengan Jl. Ir. H Djuanda.

"i"google

Sejarah singkat yang dipercaya oleh masyarakat Bandung terkait jalan dago adalah..

Pada masa kolonial, kawasan Bandung bagian utara masih berupa hutan lebat dan jalan setapak yang menghubungkan desa-desa di daerah pegunungan dengan kota Bandung. Masyarakat di kawasan ini harus menempuh perjalanan melewati hutan yang masih liar untuk mencapai pasar di pusat kota. Perjalanan tersebut penuh tantangan dan risiko, terutama karena wilayah ini masih dikuasai oleh binatang buas, seperti harimau dan badak, serta sering dijadikan tempat persembunyian para perampok.

Sejumlah sumber literatur mencatat bahwa pada masa itu, kawasan Bandung memang merupakan habitat bagi berbagai satwa liar, termasuk harimau dan badak Jawa. Kawasan hutan yang kini dikenal sebagai Terminal Dago adalah salah satu area yang sangat rawan, sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi warga yang hendak beraktivitas di luar kampungnya.

Untuk menghindari ancaman dari binatang buas dan perampok, warga setempat kemudian membiasakan diri untuk bepergian secara berkelompok. Mereka tidak berani melakukan perjalanan sendirian, sehingga apabila kelompok belum terbentuk, mereka akan menunggu hingga ada cukup orang untuk berjalan bersama. Proses "menunggu" atau "dagoan" dalam bahasa Sunda ini akhirnya menjadi kebiasaan yang melekat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bandung Selengkapnya
Lihat Bandung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun