Mohon tunggu...
Elvrida Lady Angel Purba
Elvrida Lady Angel Purba Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menuangkan isi pikiran

Mengalir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dia yang Memberi Kesan

12 Maret 2024   21:31 Diperbarui: 12 Maret 2024   21:39 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jadi?" Panalangkup bertanya.

"Aku tidak mau membantumu. Tidak, sebelum aku mengetahui sifat asli dari dirinya. Aku masih menunggu." Kucoba mendominasi.

"Kalau begitu, aku undur diri. Tuan, kau akan menyesali keputusanmu." Ucapnya seraya mencoba berdiri dengan tongkat sebagai penopang dan secepat mungkin bergerak keluar, Terlihat raut wajahnya menunjukkan kekesalan terhadap jawabanku.

Berselang beberapa hari setelah kedatangan Raja Panalangkup, kesibukan terjadi di sekitaran Silindung. Mataku tertuju pada ramainya manusia yang berkumpul di sidang desa. Rasa penasaraan akhirnya melangkahkanku dekat pada keramaian.

Sebuah persiapan besar. Entah kenapa diriku bisa lupa bahwa besok adalah hari untuk martonggo pada sembahan Siatas Barita, ilah yang diagungkan oleh rakyat kampung. Kejanggalan mulai terasa karena tak melihat kurban persembahan untuk upacara. Sudah kutanya, namun tak seorangpun bisa memberi kepastian.

"Tunggulah sampai besok. Semuanya akan terlihat jelas di Onan Sitahuru." Jawaban ini membuatku kembali, menunggu waktu menjawabnya.

Matahari kian menunjukkan wajah di hari pelaksanaan upacara. Ribuan orang datang ke Onan Sitahuru, tempat partonggoan. Masih sama, tetap tidak menemukan yang kucari. Perlahan, suara dari gondang sabangunan kian menggema, pertanda upacara akan dimulai. Semua sudah siap pada posisinya, mengitari pohon hariara di tengah Sitahuru.

"Horas!" Sekumpulan pria berteriak, bergerak seirama dengan musik gondang.

Terdiam. Kurbannya bukan kambing, lembu, ataupun kerbau. Seorang pria tampak diseret masuk dengan posisi terikat layaknya binatang. Itu Si Bontar Mata. Setelah sekian lama, hari ini kurban luar biasa diberikan lagi pada sembahan kami. Pria itu diikat pada pohon besar, di tengah masyarakat yang siap berdoa. Nahas nasib yang diterima Si Bontar Mata ini. Pikirku ini akan menjadi akhir kisahnya.

"Sembah kami pada Ompu yang maha kuasa. Dengarlah doa kami, kabulkanlah hajat kami." Ucap pemimpin ritual memulai partonggoan.

"Terimalah persembahan kami!" Pemimpin itu menyambung dengan mengeluarkan sebilah parang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun