Pandemi segeralah berlalu, sudah sejak satu tahun yang lalu saya ingin menjelajah negeri yang dikenal dengan sebutan sejuta kolong. Mungkin agak terdengar asing. Pulau Bangka Belitung selain dikenal dengan negeri laskar pelangi, juga terdapat sejuta kolong yang terhampar luas di sudut-sudut pulau.Â
Kolong merupakan bahasa lokal yang menyebut bekas galian lubang tambang timah yang tertinggal. Kolong ini merupakan saksi sejarah bagaimana kerukan itu dulu menjadi sumber penghidupan masyarakat Belitung.Â
Perjalanan gegap gempita timah di  Belitung sudah sejak lama, bahkan berbagai sumber menyebutkan sejak abad ke-8, di kerajaan Sriwijaya dan berlanjut terus hingga sekarang. Meski sudah mulai redup dan meninggalkan kolong-kolong tersebut sebagai luka sekaligus pengingat.Â
Meski alamnya telah rusak, karena masifnya eksplotasi timah di Bangka Belitung, namun kemudian menghadirkan danau-danau kaolin yang indah. Warnanya yang biru, menjadi daya tarik untuk tidak ketinggalan mengunjungi, sesampai di Bangka. Saya menjelajahi beberapa rekomendasi tempat menginap yang nyaman, bersih dan harga terjangkau.Â
Bagi saya, sebagai seorang ibu dengan empat orang anak, pilihan penginapan menjadi sangat penting. Agar libur tak menjadi kacau gara-gara hotel yang tak ramah anak dan juga harga yang mahal.Â
Pilihan saya jatuh pada Cordela Hotel Pangkal Pinang, yang beralamat di Jl. Hamidah No. 39, Batin Tikal Taman Sari Kota Pangkal Pinang dengan link http://omegahotelmanagement.com/cordelahotels/pangkalpinang/ Â
Selain menikmati birunya danau kaolin, destinasi yang ingin saya tuju adalah Museum Timah Indonesia. Di sini terpapar secara detail bagaimana sejarah pertimahan di Indonesia, jejak Bangsa Belanda yang tertinggal di pulau timah ini.Â
Saya ingin memperlihatkan kepada anak-anak betapa kayanya Indonesia. Betapa banyak negeri lain yang ingin mengeruk sumber daya alamnya. Sejarah adalah catatan, jejak yang akan menjadi pijakan agar kita tidak lagi salah melangkah.Â
Selain kaya akan sejarah, Bangka Belitung juga memiliki pantai yang indah. Ada beberapa rekomendasi pantai yang menarik, diantaranya Pantai Tikus, Pantai Parai Tenggiri, Pantai Matras, Pantai penyusuk, Pantai Dinding Batu Belinyu  dan masih banyak lagi terhampar pantai di kepulauan ini.
Satu pantai yang membuat saya sedikit penasaran adalah, Pantai Dinding Batu Beliyu. Beberapa dari teman saya pernah mengunjunginya, dan memposting beberapa foto yang menurut saya unik. Pantai itu terdapat batuan batu besar setinggi 15 meter yang berbentuk dinding. Sementara di sekitanya banyak tersebar batu lain yang lebih kecil.Â
Sebuah tempat berswafoto yang saya idamkan. Akses menuju Pantai Dinding Batu Beliyu juga cukup dekat dari kota Pangkalpinang, sekitar kurang dari dua jam. Akses jalan  bisa ditempuh dengan kendaran mobil atau motor.
Selain, museum, danau dan pantai, ada satu tempat yang saya cari dengan mesin pencari daring adalah Hutan Adat Rimba Keratung. Saya penasaran, di tengah rusaknya hutan akibat pertambangan timah ada sebuah harapan di rimbunnya Hutan Adat Rimba Keratung. Tak banyak informasi terkait keberadaan hutan ini, namun ini tidak menghentikan rasa ingin tahu dan melihatnya secara langsung.Â
Tapi mungkin tidak untuk berlibur bersama anak-anak. Karena agak riskan mengajak seorang bayi mengelilingi hutan yang saya belum observasi dulu. Meski semua anak saya sudah terbiasa menjelajahi hutan.Â
Selain sejarah, yang ingin saya ajarkan kepada anak-anak adalah bagaimana mencintai hutan, menghargai nikmat Tuhan untuk oksigen yang dihasilkannya, bagi air yang terus mengalir sampai saat ini, dan juga untuk menjaga kita dari segala bencana dan musibah.Â
Termasuk pandemi ini, merupakan cara Tuhan menegur kita untuk arif pada alam. Tidak serakah pada apa yang diciptakannya, termasuk hutan dan seisinya. Selain tempat-tempat yang eksotis tersebut, tak lengkap rasanya tak memanjakan lidah dengan kuliner khas Bangka.Â
Saya sebagai penyuka tahu dan mie , tergoda sekali untuk mencicipi mie khas bangka. Pernah mencoba mengikuti resep yang bertebaran di internet, namun saya pikir rasanya pasti jauh lebih nikmat jika mencicipinya langsung di sana.
Mie Bangka terdiri dari taburan ayam, bakso ikan dan juga tahu khas bangka. Kuliner khas Bangka Belitung dipengaruhi kebudayaan Tiongkok. Mungkin mirip dengan Sumatera Selatan dan juga Jambi. Berbagai kulinernya dipengaruhi kehadiran orang Hakka atau Khek yang menetap.
Kenapa Bangka Belitung menjadi tujuan wisata yang sangat ingin saya kunjungi setelah wabah covid 19 ini usai? Agar saya dan anak-anak belajar, bagaimana kerusakan, wabah, dan musibah akan menjadi daya tarik tersendiri ketika kita sudah melaluinya dengan sabar dan ikhlas. Seperti Bangka Belitung yang cantik karena goresan luka yang ditempa sejak dulu dari aktifitas tambang yang tak juga berhenti sampai saat ini.Â
Saya pun berharap kita semua bisa mengambil hikmah dari pandemi yang sudah dilalui. Bagaimana kita belajar untuk lebih menghargai alam, menghargai kebersihan, menghargai keluarga, yang mungkin selama sebelum Pandemi kita terlalu banyak menghabiskan waktu bagi teman-teman dan kenalan.
Menjaga jarak yang kita lakukan, bagian dari mengenal diri sendiri, mengenal Tuhan dan mengenal alam. Semoga Pandemi berakhir, seperti Bangka Belitung yang indah dengan sejuta kolongnya. Kita juga akan menjadi indah dan kuat dengan pengalaman menghadapi musibah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H