Anak penyandang disabilitas seringkali menghadapi berbagai tantangan di lingkungan sekolah. Misalnya sekolah belum sepenuhnya memahami kebutuhan dan hak-hak mereka, terutama dalam pengembangan diri serta minat bakat. Beberapa sekolah bahkan membeda-bedakan antara anak penyandang disabilitas dengan anak yang lain. Akibat dari perilaku tersebut, banyak anak yang jadi ikut membedakan anak penyandang disabilitas. Sekolah-sekolah ini kurang-lebih sama dengan sekolah lama Totto-Chan, mereka kurang tahu bagaimana cara mengatasi anak penyandang disabilitas.
Di sekolah lamanya, Totto-Chan yang masih kelas 1 SD dikeluarkan karena dianggap terlalu cerewet dan mengganggu. Padahal, anak umur 7 tahun itu hanya memiliki rasa ingin tahu yang berlebih. Karena sudah tidak tahu bagaimana caranya mengurus Totto-Chan, sekolah memutuskan untuk mengeluarkan anak itu. Mamanya yang tak punya pilihan lain pun terpaksa mendaftarkannya di sekolah baru, Tomoe Gakuen.
Tomoe Gakuen bukan sekolah mahal dan bergengsi, melainkan sekolah konvensional yang ruang kelasnya terdiri dari deretan gerbong kereta api. Sekolah unik ini dengan 50 anak murid ini dikepalai oleh Sosaku Kobayashi. Melalui ilmu yang dipelajari dari Dalcroze, kepala sekolah mengupayakan semua anak mendapatkan perlakuan yang sama, baik penyandang disabilitas maupun bukan. Tak hanya itu, Ia juga berupaya sangat keras untuk meningkatkan kepercayaan diri anak penyandang disabilitas agar mereka tidak merasa dikucilkan.
Melalui kisah Totto-Chan yang menderita ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder), kepala sekolah selalu mendengarkan cerita yang seringkali dianggap "cerewet dan mengganggu" oleh guru di sekolah lama Totto-Chan. Kepala sekolah selalu memercayai apa yang dilakukan Totto-Chan dan mensupport apapun yang dilakukannya. Meskipun seringkali perilaku Totto-Chan dianggap aneh oleh orang dewasa pada umumnya. Karena menurut kepala sekolah, semua anak termasuk Totto-Chan adalah anak yang baik. Ia hanya harus mengarahkan Totto-Chan dan teman-temannya agar tidak salah langkah.
Melalui kurikulum pendidikannya, kepala sekolah membiarkan anak-anak berenang di kolam renang tanpa busana. Mungkin terdengar kontroversial, mengingat negara kita menganut sistem ketimuran. Namun, kegiatan ini hanya untuk anak SD, yang sebagian besar anak belum baligh. Setelahnya bisa diajarkan bagian tubuh mana saja yang boleh dan tidak boleh dilihat apalagi dipegang orang lain. Tujuan dari kegiatan ini adalah supaya mereka tahu bahwa semua tubuh itu indah, bagaimanapun bentuknya. Salah satu contohnya adalah Yasuaki-Chan yang menderita polio.Â
Pada awalnya Yasuaki-Chan akan merasa malu untuk menunjukkan tubuhnya, namun lama kelamaan perasaan itu segera hilang. Kepala Sekolah berpendapat jika anak-anak bertelanjang dan bermain bersama, rasa malu mereka akan hilang dan itu akan membantu menghilangkan rasa rendah diri. Sayang, Yasuaki-Chan meninggal dunia di tahun kedua ia bersekolah di Tomoe Gakuen.
Contoh lain upaya kepala sekolah untuk meningkatkan kepercayaan diri anak penyandang disabilitas adalah melalui Takahashi. Ia adalah anak yang memiliki badan yang sangat kecil karena pertumbuhan badannya sudah terhenti. Di hari olahraga, kepala sekolah menyesuaikan permainan dengan kemampuan Takahashi supaya anak tersebut percaya akan kemampuan dirinya. Supaya ia tidak merasa tertinggal dari teman-temannya. Setiap tahun, Takahashi selalu memenangkan hadiah di hari olahraga. Atas semangat dan motivasi "Kau bisa melakukannya!" yang selalu dikumandangkan kepala sekolah, Takahashi menjadi siswa SMU, kemudian mahasiswa Universitas Meiji, meraih gelar Insinyur listrik, bahkan menjadi manajer personalia di perusahaan elektronik besar. Cara kepala sekolah selalu menyemangatinya, menanamkan rasa percaya diri dan selalu berpikir positif menjadi peran penting dalam membentuk pribadinya yang saat ini.Â
Sama seperti Yasuaki-Chan, Takahashi sempat malu ketika disuruh berenang telanjang di kolam, namun setelah melepas pakaiannya satu per satu, rasa malunya perlahan lenyap. Sejak saat itu dia tidak punya perasaan tidak enak atau tidak percaya diri menunjukkan kekurangannya. Ia bahkan sangat menikmati setiap hari di sekolah itu hingga tak pernah ingin pulang. Takahashi juga tidak malu lagi ketika mendapat giliran berdiri di depan murid lain ketika makan siang untuk berpidato.Â
Berpidato waktu makan siang juga merupakan ide kepala sekolah agar murid-murid bisa belajar berbicara lebih baik. Kepala sekolah meminta salah satu dari mereka bergantian bercerita tentang apapun ketika makan siang berlangsung. Tentu bukan hal yang mudah, mengingat banyak orang dewasa yang masih takut untuk berbicara di depan publik. Maka dari itu, kepala sekolah merasa penting bagi mereka untuk berlatih berdiri di depan orang banyak dan mengungkapkan gagasan dengan jelas dan bebas, tanpa merasa malu. Dari situ pula dapat diambil kesimpulan bahwa semua anak memiliki hak yang sama untuk berbicara dan didengar, baik disabilitas maupun tidak. Seperti kata Totto-Chan kepada Yasuaki, bahwa "kita semua sama". Totto-Chan mengajarkan kepada kita untuk melempar jauh-jauh stigma buruk terhadap orang lain.
Stigma buruk ini sering dianggap bahan bercandaan bagi sebagian orang. Misalnya ketika seorang guru di Tomoe sedang menjelaskan bahwa sebenarnya semua manusia punya ekor. Murid lain bertanya-tanya dimana sisa ekor mereka? Guru tersebut dengan niat bercanda berkata, "mungkin seseorang disini masih punya ekor! Bagaimana denganmu Takahashi?" Mungkin bagi sebagian pembaca tak keberatan jika ditanya seperti itu karena bukan penyandang disabilitas. Namun bagi murid yang pertumbuhannya terhenti? Sungguh bukan hal yang pantas ditanyakan.Â
Atas "candaan" guru tersebut, ia dimarahi oleh kepala sekolah. Ia juga harus meminta maaf kepada Takahashi dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Kepala sekolah susah payah menanamkan rasa percaya diri kepada muridnya setiap hari. Namun kerja kerasnya bisa hancur karena pertanyaan seperti itu. Tapi tetap saja, selain peduli kepada muridnya, kepala sekolah juga peduli pada sang guru. Maka dari itu, kepala sekolah memarahinya di ruang tertutup agar tak ada orang lain yang mendengar percakapan mereka.Â
Dari kegigihan dan kesabaran kepala sekolah mendidik, Totto-Chan atau Tetsuko Kuroyanagi tumbuh menjadi aktris terkenal, penulis buku terlaris, dan menjadi salah satu tokoh televisi ikonik di Jepang. Ia juga menjadi Duta Persahabatan untuk UNICEF yang juga dikenal karena amalnya. Dalam catatan akhir bukunya, Totto-Chan mengungkapkan bahwa betapa ia sangat tertolong oleh cara kepala sekolah mengajar. Bahwa Seandainya ia tidak bersekolah di Tomoe dan tidak pernah bertemu Mr. Kobayashi, mungkin Totto-Chan akan selalu dicap sebagai "anak nakal", tumbuh tanpa rasa percaya diri, menderita kelainan jiwa, dan bingung.
Demikian cerita Totto-Chan bersekolah di Tomoe Gakuen. Memang tidak lama, karena sekolah menakjubkan ini hancur akibat terkena bom perang dunia kedua di Jepang pada tahun 1945. Namun, perlu diingat bahwa ini adalah kisah nyata penulis. Maka dari itu, semoga kisah ini dapat menjadi pelajaran bagi seluruh tenaga pendidik di Indonesia untuk bersikap adil kepada seluruh anak muridnya, baik penyandang disabilitas maupun bukan.
Apalagi sama seperti anak pada umumnya, anak penyandang disabilitas juga mengalami masa pertumbuhan. Mungkin bukan fisik seperti yang dialami Takahashi, melainkan bahasa, pikiran, dan emosi yang terjadi pada diri anak sejak lahir hingga dewasa. Pertumbuhan dan perkembangan anak juga sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor lingkungan, hingga berbagai kejadian yang terjadi saat anak bertumbuh. Oleh karena itu, pendidikan dan lingkungan anak penyandang disabilitas sangat penting untuk membentuk pribadinya di masa depan.
Sebagai mahasiswa yang terjun langsung pada isu disabilitas melalui organisasi kemasyarakatan, harapan penulis adalah; semoga semakin banyak sekolah dan masyarakat yang sadar akan hak penyandang disabilitas. Bahwa seperti manusia pada umumnya, mereka berhak untuk tidak dipandang sebelah mata, tidak dibeda-bedakan, dan tidak dianggap sebagai kelompok lemah. Mereka juga berhak mendapatkan apa yang tertulis dalam undang-undang nomor 19 tahun 2011, yakni;
Hak Kesetaraan dan Non-Diskriminasi
Hak Aksesibilitas
Hak untuk Hidup
Hak Peningkatan Kesadaran, dan
Hak Kebebasan dari Eksploitasi dan Kekerasan
Walau sudah berada di penghujung artikel, namun masih banyak cerita dan pembelajaran menarik yang dapat dipetik dari kisah Totto-Chan. Untuk pengalaman yang lebih menyenangkan, diharapkan pembaca artikel ini dapat membaca buku "Totto-Chan: gadis cilik jendela" dengan meminjamnya di perpustakaan terdekat.Â
sumber:
Ara Aqiela, 2024, "Film 'Totto-chan: Gadis Kecil di Jendela' Refleksikan Pentingnya Pendidikan Inklusif", Konde.co, diakses pada 23 Mei 2024, dari:
Dr. Fadhli Rizal Makarim, 2022, "Pertumbuhan Anak", diakses pada 6 Juni 2024, dari:
https://www.halodoc.com/kesehatan/pertumbuhan-anak
Gaidam Nuril, 2022, "Penyandang Disabilitas, Sudahkah Terpenuhi Haknya?", Kompasiana.com, diakses pada 6 Juni 2024, dari:
Pemerintah kabupaten Bantul, 2023, "5 Hak Penyayang Disabilitas Sesuai Undang-Undang yang Berlaku", diakses pada 6 Juni 2024, dari:
https://dp3appkb.bantulkab.go.id/news/5-hak-penyandan
g-disabilitas-sesuai-undang-undang-yang-berlaku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H