Siang ini saya saya berkunjung ke situs Anging Mammiri - Tempat Kumpulna Blogger Makassar dan saya tertarik untuk ikut berpartisipasi dalam lomba nge-blog yang diadakan Anging Mammiri bekerjasama dengan Blogdetik. Yang dilombakan adalah artikel yang bertema Makassar Tidak Kasar.
Mudah saja untuk saya menjelaskan bagaimana tidak kasarnya Makassar karena saya memang tinggal di Makassar. Saya bisa jelaskan bagaimana media sangat melebih-lebihkan Makassar dengan berita demo mahasiswa yang kesannya sangat anarkis sampai berita kriminal yang sepertinya sangat sadis. Tapi semuanya berubah menjadi sulit untuk saya, gara-gara baca koran lokal pagi tadi.
Headline di koran itu: "Dosen Unhas Pukul Dosen Unhas".
Di bawah kolom headline ada foto berita lainnya. Keterangan foto: "Suasana tawuran antara Fakultas Teknik Unhas melawan 7 fakultas lainnya".
Dan sekarang saya harus bicara tentang Makassar Tidak Kasar? OMG...
Seandainya saya menulis artikel tentang Makassar Tidak Kasar ini sebelum saya membaca koran pagi tadi, segalanya tentu bakal jauh lebih mudah...
Tapi saya akan tetap mencoba semampu saya untuk meyakinkan Anda semua bahwa Makassar Tidak Kasar. Demi kota yang saya banggakan! Demi warga kota yang saya cintai! Demi anak-anak kita! Termasuk anak-anak saya yang sudah mupeng mau ke Trans Studio!
"Ayo Papa! Go Go Go, Papa! Tulis yang bagus-bagus, Papa! Trans Studio yeaahhh!!!"
Buat Anda yang kebingungan, sekedar informasi, artikel ini dilombakan. Kalau menang, saya bakal dapat tiket jalan-jalan ke Trans Studio Makassar. Amiiiiiin....
Doakan kami yah!
Haikkk!!!
Baiklah, kita mulai dialog satu arah ini dengan sebuah pertanyaan: apa kira-kira sebabnya orang Makassar dianggap kasar?
Hampir semua jiwa dalam kota Makassar sepakat bahwa media massa sangat 'berjasa' dalam menciptakan dan menumbuhkembangkan imej kasar kota ini. Pendapat ini berangkat dari fakta bahwa beberapa tahun belakangan ini berita-berita negatif di Makassar mendominasi program acara berita di televisi. Paling sering adalah tentang demo mahasiswa yang berakhir ricuh. Belum lagi berita kriminal yang kebanyakan dari Makassar. Seolah-olah kota ini seperti Texas di abad 19 dimana hukum rimba berlaku. Atau seperti Vietnam di awal 80-an dimana hukum Rambo berlaku.
Kita tidak bisa menyalahkan pers dalam hal ini, karena prinsip 'bad news is a good news' sudah mengalir dalam darah hampir semua insan pers di dunia. Hari gini siapa sih yang mau nonton berita tentang keberhasilan petani kita menanam padi sampai berhasil panen tanpa serangan hama wereng coklat? Coba tanyakan pada diri Anda sendiri, mana yang lebih menarik untuk Anda tonton: keberhasilan Nganjuk meraih piala Adipura 2011 atau tentang kisruh rumah tangga Peggy Melati Sukma?
Kita juga tidak bisa menyalahkan mahasiswa yang anarkis saat demonstrasi. Memang benar otak adalah pemberian Tuhan, tapi jangan lupa bahwa para mahasiswa anarkis itu juga punyak hak untuk tidak menggunakannya! Bahkan banyak diantara mereka yang kelihatannya benar-benar butuh bantuan donor otak!
Kita juga tidak bisa menyalahkan polisi yang berkelahi melawan mahasiswa karena polisi bukan malaikat yang punya kesabaran tiada batas. Mereka saban hari dilatih fisik. Dilatih berkelahi. Jadi pas berhadapan dengan mahasiswa kurus dekil yang banyak omong dan menjengkelkan, wajar dong kalo gemes!
Jadi begitulah... Terus terang saya selalu gagal dalam permainan salah-menyalahkan. Selain menghabiskan energi, juga tidak ada gunanya. Anda juga harusnya begitu, berhentilah menyalahkan. Contohlah PLN yang secara rutin berhenti menyalahkan lampu-lampu rumah kita.
Walaupun sebenarnya pasti ada elemen yang salah dalam mekanisme gembar-gembor imej kasar melalui media massa ini tapi saya tidak tertarik untuk mengkritik elemen tersebut. Saya yakin artikel-artikel lain dalam lomba nge-blog ini bakal beramai-ramai membahas masalah blow up media massa tersebut, mengkritik habis-habisan setiap elemen di dalamnya sampai harus menggunakan bahasa super intelek yang akhirnya sulit dimengerti pembaca blognya sendiri, tapi saya tidak pernah tertarik untuk menjadi 'sama'.
Menurut saya pribadi, salah satu faktor mendasar yang menyebabkan Makassar dicap kasar oleh banyak orang adalah faktor linguistik dari nama kota Makassar itu sendiri. Di sana ada dua suku kata kas- dan sar- yang secara tidak disadari akan merangsang alam bawah sadar kita untuk mengingat kata 'kasar' dalam bahasa Indonesia. Coba saja Anda bayangkan bagaimana seandainya kota ini bernama Mahalus, tentunya tidak akan pernah dibutuhkan sebuah jargon berbunyi "Mahalus Tidak Kasar", kan?
Kadang hal ini tidak dianggap penting, padahal apa yang berada di alam bawah sadar kita telah terbukti secara medis memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dalam mengendalikan pikiran kita dibanding alam sadar kita. Saya tidak sedang mengusulkan untuk mengganti nama kota ini dengan Mahalus, Malembut, Masopan atau bahkan Maasikasikajatuh. Saya cuma menganalisa dari sudut pandang saya sendiri. Mohon maaf bila sudut pandang saya dianggap sempit, karena memang mata saya agak sipit.
Terbukti ketika sejak tahun 1971 kota ini diberi nama Ujung Pandang, tidak ada opini yang mengatakan orang-orang di Ujung Pandang kasar-kasar. Suku Makassar pun dikenal sebagai suku yang keras dan punya adat istiadat yang kental. Setelah berganti nama kembali menjadi Makassar pada tahun 1999 dan nama kota Makassar digunakan secara resmi di mana-mana, barulah saudara-saudara kita di luar Makassar terstimulasi secara negatif akibat akibat penggalan kata 'kassar' tadi.
Jadi saya rasa saya perlu sedikit menjelaskan kepada Anda sesuatu yang sangat dibutuhkan banyak orang di luar sana, yaitu apa sebenarnya arti dari nama kota Makassar.
Makassar berasal dari kata sifat Mangkasara' yang berarti memiliki sifat yang mulia dan mencintai kejujuran. Seperti contohnya dalam ungkapan Akkana Mangkasara' (berkata-kata dengan sifat mangkasara') yang dimaknai sebagai tutur kata yang jujur. Nah, kalau saat ini Anda berkata dalam hati "Oooh.. gitu ya.." artinya kemungkinan besar Anda selama ini sangat mendewakan makna 'kasar' di balik nama kota ini.
Saya harus akkana mangkasara' bahwa memang karakter asli suku Bugis-Makassar adalah keras. Saya pernah menghabiskan waktu berjam-jam di warung kopi bersama seorang teman yang (sok) budayawan (tapi cukup mantap juga referensinya), dimana akhirnya saya mendapat kesimpulan bahwa karakter kami di sini banyak dipengaruhi oleh kondisi alam dan profesi nenek moyang kami. Nenek moyang kami kebanyakan adalah pelaut handal yang mau tidak mau harus bermental baja dan berkarakter keras kalau tidak mau masuk dalam menu makan malam ikan hiu. Tapi sekali lagi, keras tidaklah berarti kasar. Karakter kami bisa diibaratkan seperti emas: keras, kokoh, tapi halus dan bernilai tinggi.
Berhubung prosedur untuk mengubah nama sebuah kota tidaklah semudah membalik telapak gajah, maka tentu saja opsi untuk mengganti nama kota tidak perlu kita pikirkan. Lagian kami di sini sangat bangga menggunakan nama Makassar untuk kota kami karena kami paham betul akan arti namanya. Yang penting untuk dilakukan adalah bagaimana saudara-saudara kita se-Indonesia paham akan makna nama Makassar. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, maknanya justru sangat bertentangan dengan imej yang terbangun baik secara linguistik maupun lewat pencitraan negatif di media massa.
Ayolah kita berhenti menyimpulkan karakter sebuah kota hanya dari membaca namanya, terlebih lagi bila kita sama sekali tidak punya referensi tentang arti nama kota itu. Tidak perlu kita merepotkan saudara-saudara kita di kota-kota lain untuk membuat gerakan serupa misalnya "Malang Tidak Malang" atau "Bau-Bau Tidak Bau!"
Tentunya kami juga di sini wajib untuk bahu membahu membuktikan bahwa imej kasar yang terlanjur melekat itu salah. Contohnya gerakan Makassar Tidak Kasar yang sedang digalakkan sekarang ini, patut diberi acungan jempol. Kewajiban kita untuk mendukung penuh gerakan ini hingga tetes keringat terkecut!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H