Mohon tunggu...
Elvin Miradi
Elvin Miradi Mohon Tunggu... -

Seorang blogger, suami untuk seorang bidadari dan bapak untuk tiga laki-laki. Simak tulisan lainnya di www.ElvinMiradi.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Seminar Motivasi Dengan Pembicara Seorang Penjual Buah Tala

17 November 2011   01:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:34 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semalam sehabis nonton film King's Speech bareng mantan pacar (istri saya maksudnya, bukan mantan pacar yang benar-benar mantan pacar lho ya!), kami mampir ke mini market. Di sana istri saya membeli beberapa cemilan. Dan saya yang sudah mencanangkan program berhenti merokok (lagi-lagi) terpaksa membeli sebungkus rokok. Pembenaran untuk pengingkaran janji berhenti merokok kali ini adalah karena tadi malam itu saya kedinginan dalam ruang bioskop. Dan kalo misalnya alasan di atas masih kurang benar saya toh sudah menyiapkan pembenaran lainnya: karena saya ini mudah terinspirasi oleh karya-karya besar sineas Hollywood dimana dalam film King's Speech yang semalam saya tonton banyak sekali adegan aktor-aktornya merokok di jalanan kota London yang sejuk.

Istri saya sibuk memilih cemilan. Dia selalu menghabiskan waktu yang lama dalam memilih cemilan. Memang tidak pernah mudah ketika kita harus mencari cemilan enak yang kemasannya berukuran kecil (kalo perlu super kecil) supaya gampang disembunyikan di tempat-tempat tak terduga di dalam rumah. Tapi tenang, saya selalu bisa mengendus aroma cemilan itu di manapun dia menyembunyikannya. Hidung saya sangat peka. Satu-satunya persyaratan yang tidak bisa saya penuhi untuk menjadi anjing pelacak adalah karena saya manusia.

Astaga, sori. Saya terlalu melebar.

Akhirnya saya memutuskan untuk membayar rokok saya trus keluar mencari api. Di depan mini market itu berdiri seorang penjual buah lontar. Kalo kami di sini di Makassar menyebutnya buah tala (selanjutnya kita sebut saja buah tala ya). Sebelum saya sempat berkata-kata untuk meminjam koreknya dia sudah duluan maju menawarkan dagangannya.

"Pak, buah tala pak..."

Saya tidak suka buah tala. Saya ini pemakan daging dan kurang suka buah. Satu-satunya buah yang saya suka ya buah berbentuk daging. Halah!

"Makasih, Daeng... Nda ji," kata saya sehalus mungkin. Daeng dalam bahasa Makassar berarti kakak. Kita memanggil Daeng untuk orang yang kita tuakan.

Si Daeng cuma cuma senyum lirih mendengar penolakan saya.

Saya meliat ke jam tangan saya dan ternyata waktu sudah menunjukkan lewat jam 11 malam. Di waktu yang sudah selarut ini si Daeng penjual tala masih menawarkan dagangannya. Buah yang belum terjual juga masih banyak, kira-kira masih ada sekitar 20-an kantong plastik.

Si Daeng itu perawakannya pendek dan ringkih. Raut-raut di wajahnya sudah cukup untuk menceritakan getir hidupnya. Sebagian rambutnya sudah putih dan saya yakin itu uban, bukan hasil bleaching salon. Badannya yang mungil masih harus memikul bambu tempat kantong-kantong plastik buah tala di tengah malam yang dingin di waktu kebanyakan orang sudah hampir tertidur di depan tivi di dalam rumah mereka yang hangat. Jujur saya merasa iba dengan kondisi si Daeng. Saya jadi nda enak mau pinjam korek. Saya malah terbersit untuk kasih duit. Tapi ada juga pikiran saya yang lain yang muncul secepat kilat, "Kasih duit? Kenapa kamu mesti kasih duit? Lebay ah kamu, wahai Elvin Miradi..."

Tapi saya langsung ingat kata-kata guru saya Pak Ary Ginandjar yang bilang, "Pikiran yang muncul pertama kali ketika kita melihat penderitaan orang lain adalah kata hati, pikiran yang menyusul sesudahnya seringkali kata-kata setan,"

Ya udah, saya ikuti kata hati saja. Sekelebat saya merogoh dompet dan tanpa milih-milih saya menarik selembar duit yang mungkin bisa membeli semua tala yang masih terikat di bambu yang dipikul si Daeng.

"Ini, pak. Buat anak istri di rumah," saya bilang.

"Oh, makasih banyak pak!" si Daeng keliatan gembira sekali. Dia senyum-senyum menatap selembar duit yang barusan saya kasih. Saya bisa meliat gigi-gigi depannya yang kebanyakan sudah rusak.

"Kenapa belum pulang, Daeng? Jam segini masih menjual?"

"Iya pak. Saya baru pulang kalo tala saya habis,"

"Tapi itu talanya masih banyak, Daeng"

"Ya kadang-kadang saya menjual sampe subuh,"

"Oh begitu... Tinggalnya di daerah mana, Daeng?

"Di Jeneponto, pak!"

Eng...ing...eng!!!! Jeneponto itu jauh dari Makassar, coy! Kurang lebih 90-an kilo!

"Wah jauh sekali! Jadi tiap hari bolak-balik ke sini?"

"Nda juga, kadang dua hari saya di sini,"

"Terus nginapnya di mana?"

"Kadang di pinggir jalan. Tapi seringnya di kantor polisi,"

Luar biasa! Kantor polisi adalah pilihan terakhir di bumi ini untuk saya tempati tidur!

"Kenapa nda cari kerja di Jeneponto saja, Daeng?

"Di sana tala saya kurang laku. Di sini banyak orang,"

Saya mengambil kesimpulan si Daeng ini sudah nda memikirkan alternatif lain selain berjualan buah tala. Jadi saya tanya lagi, "Memangnya sudah berapa lama jual tala, Daeng?"

Dia perlu beberapa detik untuk berpikir sambil menerawang ke sana ke mari. "Dari sejak saya masih anak muda, pak"

Wah lama juga ternyata. Soalnya sekarang sudah tuir begini.

"Anak ada berapa, Daeng?"

"Satu, pak. Saya sama istri ikut KB. Takut banyak anak. Nda bisa kasih makan,"

Saya jadi ingat anak-anak saya di rumah. Anak yang pertama sudah masuk sekolah dan yang kedua yang masih umur setahun lebih dan dia (maaf ya, nak) kuat sekali makan. Tiba-tiba sedih rasanya membayangkan kalo saya nda sanggup memberi mereka makan....

"Pak, kenapa menitikkan air mata? Bapak menangis ya?"

"Daeng, plis deh, jangan mengucapkan dialog yang tidak pernah ada dalam percakapan kita semalam!"

"Oh oke, pak"

Daeng harus meninggalkan anak istrinya di Jeneponto untuk berjualan di Makassar. Produk yang dia tawarkan pun bukan buah yang populer bagi kota secanggih Makassar. Dia harus berjualan sampe subuh dan numpang tidur di kantor polisi. Hasil yang didapat pun tidak seberapa.

Alhamdulillah Daeng bukanlah manusia paling menderita di Indonesia. Saya yakin masih banyak sekali yang lebih miris kondisinya dari Daeng.

Saya cuma berbincang dengan Daeng penjual tala selama belasan menit tapi saya mendapat pelajaran hidup yang lebih dalam dibanding seabrek seminar motivasi yang pernah saya ikuti. Diberi pelajaran oleh orang seperti Tung Desem Waringin yang tanpa berbicara pun sudah membuat kita kagum dengan gerak tubuhnya yang penuh semangat sangatlah berbeda dengan ketika kita mendapat pelajaran dari seorang penjual tala renta di sebuah tengah malam. Bahwa sebenarnya kita harus mensyukuri kondisi kita dan terus berjuang dalam hidup yang sangat singkat. Berjuanglah sekeras mungkin di bidang kita masing-masing dan jangan pernah mengeluh, karena sekeras apapun perjuangan kita selalu saja ada orang lain yang menjalani perjuangan yang lebih berat. Jangan mewek!

Seminar motivasi dengan pembicara Daeng penjual tala harus berakhir ketika istri saya keluar dari mini market sambil mengunyah coklat. Setau dia saya cuma sedang berbasa basi dengan penjual tala karena mau minjam korek. Dia tidak tau saya sudah mendapat pelajaran berharga yang harganya berkali-kali lipat dari selembar duit yang sudah saya berikan.

Makasih, Daeng! Mari terus berjuang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun