Mohon tunggu...
Elvinakey
Elvinakey Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menjejak, supaya diingat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hajatan di Desa Gujarat: Sebuah Cerpen

7 April 2021   18:31 Diperbarui: 7 April 2021   18:37 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lagi-lagi Desa Gujarat gempar. Virus yang tidak lekas-lekasnya hengkang dari kehidupan masyarakat kini semakin meresahkan. Warga desa perlu bekerja, dan mau tak-mau, suka tidak suka pekerjaan masing-masing warga harus tetap berjalan. 

Hanya saja, kali ini diberlakukan peraturan ketat mengenai akses keluar masuk desa. Desa Gujarat tidak lagi memperbolehkan warga yang bekerja di kota untuk kembali ke desa selama beberapa waktu. 

Begitu pula dengan warga desa yang harus mengantarkan hasil tani, pengantaran diperketat dan diminimalisir. Para petani saling membantu memanen hasil tani, kemudian menyepakati seorang dua orang yang akan mengantarkan hasil tani seluruh desa. Sangat berbeda dengan keadaan yang dahulu, ketika para pemborong langsung datang dan mengambil sendiri keranjang-keranjang bambu berisi hasil tani.

Kedai kopi yang semula ramai kini kembali sepi. Hanya satu dua  orang bebal saja yang berkumpul tanpa mempedulikan dampak dari penyebaran virus yang kian lama kian menggila. Pun hajatan dalam berbagai jenisnya telah diberhentikan pula. Beberapa orang merasa rugi, beberapa lagi merasa lega karena tidak jadi bertemu dengan orang banyak. 

Masjid desa masih terbuka lebar, hanya saja, lebih banyak orang yang memilih beribadah di rumah. Virus tidak memandang rumah ibadah atau tidak, atau memandang iman serta jabatan pelayanan seseorang. 

Beberapa orang yang sejak jauh-jauh purnama merencanakan pernikahan mau tidak mau merayakan akad secara singkat di dalam Masjid. Katering yang telah dipesan, tidak dibatalkan, melainkan dibagi-bagikan dari rumah ke rumah oleh pengantin dan keluarganya. 

Beberapa orang menerimanya dengan tulus, beberapa menerimanya, lalu buru-buru meletakkan makanan tersebut di lantai, lalu melangkahinya sebanyak tiga kali sebelum memakannya. 

Harapannya, segala bala maupun virus menyingkir dari makanan tersebut setelah dilangkahi sebanyak tiga kali. Namun, beberapa warga bahkan tidak berani membuka pintu untuk sekadar menerima makanan, memilih membisu di balik jendela atau berteriak bahwa dirinya memiliki pasokan makanan yang cukup banyak, sehingga sungguh mubazir untuk menerima makanan catering. Sangat berbeda dengan hajatan yang dulu diadakan. 

Jika sekarang berkotak-kotak makanan menumpuk ditolak oleh setiap warga desa, dulu setiap orang berebut mengambil makanan yang disediakan oleh pemilik hajatan. Setelah virus menyergap seluruh aktivitas warga, terlalu banyak makanan yang terbuang sia-sia. Padahal, sebagian besar sudah pula disumbangkan kepada panti dan fakir miskin.    

Suasana Desa Gujarat berubah sepi. Semua terlalu sibuk menyelamatkan diri. Pada bulan-bulan pertama penyebaran virus, semua orang masih sangat betah berada di rumah, serasa memiliki libur panjang dan menyenangkan. Hanya beberapa petani yang rutin membajak sawah atau membatak tanah-tanah mereka. 

Semua arahan Pak Talib didengarkan, warga nyinyir tidak terkecuali. Bagi mereka, urusan nyawa berada di depan segala prahara kebencian. Beberapa warga mulai membeli perangkat elektronik. Ada yang membelinya untuk menyokong pekerjaan, ada yang membelinya untuk melancarkan proses pembelajaran si buah hati, ada pula yang sekadar ikut arus.

Pada bulan-bulan berikutnya, semua mulai merasa jenuh. Merindu suasana Gujarat yang dahulu. Warga nyinyir keluar dari pertapaannya, mulai beraksi dari pintu ke pintu mengajak orang-orang untuk kembali pada rutinitasnya.

"Virus itu hanya akal-akalan Pak Talib saja." Salah seorang dari warga nyinyir yang sangat rajin duduk di kedai kopi kendati sudah mendapat peringatan untuk menjaga jarak hari ini memulai aksi nyinyirnya.

"Virus itu tidak nyata. Hanya kebetulan saja ada beberapa dari warga desa yang sakit secara bersamaan. Logikanya nih ya, rumah sakit memang tidak pernah sepi, setiap hari memang ada yang akan mati. Datanya saja yang dimanipulasi." Seseorang lagi menimpali.

"Berarti untuk acara hajatan anak saya minggu depan, lebih baik kita gelar seperti biasa ya?" Pak Muklis, salah satu orang kaya desa (setelah Pak Talib tentunya) yang setiap waktu melakukan hajatan di Desa Kenduri tiba-tiba ikut terjun dalam percakapan.

 "Wah. Tentu saja Pak Muklis! Kami akan datang dengan sangat bersukacita! Jangan lupa untuk menyediakan saun sistem terbaik. Sudah gatal badan kami ingin berjoget!" Ujaran tersebut terlontar dari satu lagi warga nyinyir pengangguran.

Pak Muklis mengangguk-angguk. Tidak sabar dirinya menggelar hajatan kembali. Biasanya, hajatan yang digelarnya bukan hanya hajatan sunatan atau nikahan anak-anaknya. Dalam hal remeh-temeh seperti membeli burung peliharaan baru, pemberian nama peliharaan, sampai hajatan membeli lima tanaman hias pernah digelarnya. 

Tentu saja warga Desa Gujarat sangat menyenangi hajatan-hajatan aneh yang diadakan Pak Muklis. Tentu saja, mereka tidak peduli dengan hajatan lagi yang sedang direncanakan Pak Muklis, warga hanya menyenangi catering dan dangdutan yang selalu tersedia pada saat hajatan tersebut terlaksana.

Hari hajatan pun datang, berkat berita yang disampaikan dari mulut ke mulut, acara hajatan tersebut dipadati oleh warga. Sound system sudah terpasang dengan mantap, biduanita sedang mengambil pemanasan sebelum nantinya akan membawakan tembang. Dirinya sedikit demam panggung akibat berbulan-bulan tidak ngedangdut lagi. Warga sudah asik berebut makanan yang disediakan prasmanan. Beberapa sibuk tertawa-tawa, beberapa sudah mulai menyantap hidangan, semua berlaku sebagaimana bahaya virus tidak pernah singgah di pikiran mereka.

Satu lagu mulai dinyanyikan, dua lagu, tiga lagu, semua bergembira. Hingga secara tiba-tiba muncullah mobil patroli polisi pamong praja (Pol-PP). kocar-kacir seluruh warga ketika aparat keamanan tersebut mulai meringkus penyanyi, pemain musik, serta orang-orang lain secara acak. Pak Muklis sudah lari entah ke mana, semua orang tercerai berai antara melindungi diri atau mengamankan makanan catering yang masih disantap satu suapan.  Dalam kegaduhan yang terjadi, seorang warga nyinyir berceletuk, " ini pasti ulah Pak Talib. Dirinya iri karena tidak diundang hajatan!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun