Setiap  kaki melangkah pasti meninggalkan jejak, saat angin berhembus pasti menerbangkan butiran debu. Ada sebab pasti ada akibat , ada aksi pasti pula akan ada reaksi.
Begitu juga dengan setiap peristiwa yang terjadi pada dunia pendidikan kita, setiap perubahan akan memberikan dampak, entah postitf ataupun negatif, bukan darimana sudut pandang penilaiannya, namun memang realita apa adanya.Â
Pendidikan merupakan toggak kemajuan suatu peradaban. Bagaimana suatu peradaban akan maju jika tak memiliki pendidikan yang baik. Bukan hanya intelektualitasnya saja yang terbangun namun pendidikan merupakan sistem implisit. Dimana didalamnya terkandung nilai-nilai moralitas dan juga nilai-nilai sosial, bukan hanya tentang cara menyelesaikan penjumlahan namun juga cara menyelesaikan pertikaian, banyak negara maju yang dimana pendidikannya tak hanya terpacu untuk memintarkan siswanya. Namun mereka juga memastikan siswanya juga mampu cerdas, dalam artian memiliki sikap-sikap sempurna. Baik dalam kehidupan profesional, maupun kehidupan sosial. Bagaimana tenggang  rasa masih terpelihara. Toleransi semakin utuh dalam diri, kesopanan di junjung tinggi , semua itu bukan hanya sekedar nilai. Namun budi pekerti.
Siapa yang tak sadar bahwa  negara kita tengah terpuruk pendidikannya, bukan terpuruk dalam hal intelektualitas, tapi terpuruk dalam hal akhlak dan budi pekerti. Yang masih kuat dalam ingatan, tentang guru kesenian yang tewas usai berseteru dengan siswanya.
Siapa sangka seorang guru, orang mulia yang rela membagi pengetahuan demi masa depan  bangsa akhirnya meregang nyawa di tangan siswanya, hati mana yang tak terenyuh Jika mendengar berita itu, entah apa yang ada di benak siswa tersebut, entah sengaja atau tidak, namun tindakan perlawanan terhadap gurunya itu merupakan hal yang tak sedikitpun bisa untuk di tolerir. Sebuah tamparan keras untuk sistem pendidikan di negara kita, bagaimana tidak. Jika hal ini hingga berlarut-larut mungkin akan muncul lagi pak budi lain yang akan meregang nyawa ditangan siswanya, sebuah pembaharuan harus dilakukan, setidaknya pembenahan pada bagian fokus  pendidikan yang hanya memikirkan kuantitas, pendidikan yang hanya mementingkan akreditas, hasilnya  pendidikan yang hanya membuat batas kreativitas.
Pendidikankah jika didalalamnya tak mencerdaskan, tapi malah mebinasakan impian. Hal yang semula diharapkan malah menjadi racun mematikan yang terpaksa ditelan, Â pendidikan yang fitrahnya mencerdaskan awalnya, kini bertransformasi menjadi ajang pengangkat gengsi. Dalam pandangan bahwa pendidikan hanyalah topeng dari perbudakan yang beradab.
Apa yang terjadi saat ini bisa disebabkan karena rancunya sistem pendidikan kita saat ini. Bukankah dahulu kala kita mendengar mengenai moral dan budi pekerti bukan hanya dari pelajaran namun juga kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai kebaikan bisa masuk sempurna pada jiwa para siswa zaman dahulu. Berbeda jauh dengan masa kini. Semua anak berlomba menjadi yang paling terdepan mengenai gaya hidup namun tak pernah beranggapan tentang bagaimana besok aku akan bersikap. Mereka tak tau bagaimana akan hidup, dalam posisi apa mereka akan berinteraksi. Pasti mereka tak sadar hal itu, yang mereka tau hanya bagImana mengikuti apa yang ada, tanpa tau batasan mana yang mereka harus anut, pendidikan seperti apa yang akan membiarkan siswanya melakukan kekerasan. Pastinya tak ada tujuan pendidikan yang akan merusak, pasti tak ada dalam kurikulum pendidikan perintah untuk saling membunuh, menyakiti, menghina pasti tak ada tujuan pendidikan seperti itu, namun apa yang terjadi di madura seakan menyadarkan bahwa pendidikan kita butuh penguatan. Baik pada sisi pengelolaan sistem, hingga penerapanya.
Pendidikan yang tak lagi hanya sibuk berganti kurikulum dan peraturan. Namun pendidikan yang mampu mencetak manusia unggul. Pendidikan tak dibatasi oleh urusan bersifat administratif, penanaman moral jadi yang utama dalam prosesnya, pendidikan yang membangun karakter utuh, yang tak mudah rapuh.
Dimana letak kesalahan, ataupun kekurangan dari pendidikan kita, apa mungkin dalam pembelajarannya, atau mungkin dalam motivasi belajarnya, atau mungkin pada lembaganya, dimana kekurangannya hingga terjadi fenomena seperti ini, siswa tak lagi malu berhubungan dengan lawan jenis, siswa tak lagi malu dengan pelanggaran yang dilakukannya, siswa malah bangga bisa mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang tak semestinya dilakukan.
Kita diberi kurikulum berbasis sikap, kita menjalankan sistem pendidikan berbasis sikap, semua materi yang di unggulkan adalah sikap, namun nyatanya apa? Apa mungkin ini karena pesatnya perkembangan teknologi, hingga tak ada batasan dalam serapan informasi, mulai tentang rahasia diri hingga semuanya yang tak ditutupi lagi, mereka para siswa berusia belia mana mungkin memiliki filter diri, jangankan pengendalian diri, untuk mengerti apa tujuan hidup mereka pun pasti belum mengerti, tak mengenal istilah jati diri, tapi sering mengonsumsi informasi yang tak pasti. Lalu berdampak apa?.
Manusia diciptakan untuk mampu beradaptasi, manusia diciptakan untuk mampu merekondisi, manusia diciptakan untuk mampu mengendalikan diri, namun itu semua membutuhkan proses untuk mengembangkan. Tak serta merta manusia memiliki itu semua, faktor pembentukan sifat-sifat tersebut dipengaruhi banyak hal, seperti usia, lingkungan, keuarga, dan lainya, termasuk pendidkan yang di tempuhnya, semua memiliki bagian dalam pembentukan diri, yang intinya saat usia masih dasar yang belum matang secara mental, mereka dapat dipastikan belum mampu menerima informasi yang bersifat umum, dimana perlu adanya filter diri untuk dapat mengetahui mana yang disebut dengan informasi, bukan malah menjadi hiburan, bahkan gaya hidup saat ini, nah usia-usia dasar itulah yang tentunya menjadi korban dari keadaan.