Suatu hari, ketika Covid-19 belum mengganggu kehidupan manusia, saya menjemput keponakan saya di sekolahnya. Hari itu, kakak saya ada urusan dinas luar dari kantornya, sementara suaminya baru pulang dari kantor sore hari.Â
Sambil menunggu keponakan keluar dari kelas, saya mendengar percakapan antara seorang guru dengan muridnya. Guru tersebut berbicara hanya dengan satu orang siswa, tapi selalu menggunakan kata  antum sebagai kata ganti orang  kedua tunggal. "Antum darimana?" Atau "antum sedang ngapain?"
Bukan campuran bahasa Arabnya yang jadi masalah buat saya. Tapi, dalam bahasa Arab kata  antum merujuk pada kata orang kedua jamak. Seharusnya, Si Guru  menggunakan kata anta bukan antum.
Di rumah, saat keponakan menerima telepon dari gurunya, Si Guru tetap menggunakan kata antum kepada keponakan saya. Karena merasa janggal, akhirnya saya ungkit juga ke kakak. "Kenapa guru Adek memanggil Adek dengan kata antum, padahal Adek cuma sendirian? Yang benar itu harusnya anta. Kecuali gurunya ngomong dengan murid sekelas, baru benar menggunakan kata antum."Â
"Ya nggak mungkinlah guru ngajarin yang salah. Memang begitu panggilan mereka di sekolah." Jawab kakak saya.Â
"Guru juga manusia, bisa salah. Dan panggilan antum kepada satu orang itu memang salah. Jangan-jangan gurunya malah nggak hapal Isim dhomir."Â Jawab saya. "Atau lebih kacau lagi, gurunya nggak tahu Isim dhomir itu apa? Cuma latah aja dengan panggilan ana, anta, antum dan antunna."Â
Tapi kakak saya tetap pada pandangannya, tidak mungkin guru mengajari yang salah. Dan keponakan saya protes karena saya menyalahkan ustadzahnya. Soal panggilan ustadzah ini juga, keponakan saya selalu meralat dengan kalimat, "bukan guru, Tante. Tapi ustadzah."
Meski berkali-kali saya menjelaskan bahwa dalam bahasa Indonesia, ustadzah itu artinya guru. Untuk kali ini saya menyerah dengan kakak dan keponakan saya soal perdebatan kata anta, antum, dan ustadzah. Semoga suatu hari mereka mendapat hidayah soal kata-kata tersebut, he he.Â
Lain waktu, saya pergi acara cukuran anak seorang teman. Acara tersebut cukup meriah, ditambah lagi dengan hiburan organ tunggal dan penyanyinya. Beberapa lagu yang dinyanyikan biduan cukup menghibur karena suaranya memang bagus. Puncaknya ketika Sang Biduan menyanyikan lagu "Ummi" yang pernah dipopulerkan Haddad Alwi. Lagu yang menceritakan bagaimana seorang anak memuja dan memuji sosok seorang ibu.
Saya tercekat di bagian syair,Â
Ummi yaa lahnan a'syaqohu
wanasyidan dauman ansyuduhu
Fikulli makanin adzkuruhu
wa-azhollu azhollu uroddiduhu
Saya berusaha memasang telinga baik-baik, meyakinkan diri bahwa saya tidak salah dengar. Kata adzkuruhu  terdengar seperti ankuruhu!Â
Jika kalimat "Fikulli makanin adzkuruhu"  artinya adalah setiap tempat aku selalu mengingatnya." Sementara arti kalimat "Fikulli makanin ankuruhu" adalah "di setiap tempat aku mengingkarinya."Â
Bayangkan, gara-gara salah satu huruf, huruf "dza" diganti "nun" artinya jadi beda jauh, dari anak yang berbakti, malah jadi anak durhaka.Â
"Yah...namanya juga orang baru belajar, dimaklumi ajalah." Ucap seorang teman. Kalo orang baru belajar, seharusnya mau menerima masukan dari orang lain, apalagi kalo benar-benar terpampang nyata salah, di sebuah lembaga pendidikan pula.
"Jadi, mau antum apa sekarang?" Teriak teman saya membalas protes saya.Â
"Nah, kan? Masih pake antum, kalo kamu ke aku itu pake bahasa arabnya "anti" bukan  "antum." ***
Elvidayanty Darkasih, Jambi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI