Mohon tunggu...
Elvi Anita Afandi
Elvi Anita Afandi Mohon Tunggu... Lainnya - FAIRNESS LOVER

Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kasih Sayang yang Tak Pernah Berkurang

3 September 2024   14:46 Diperbarui: 3 September 2024   18:15 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi betah di pesantren. Dokpri

Semenjak anak-anak satu- persatu harus meninggalkan rumah, pergi jauh merajut masa depan mereka masing-masing, rumah ini terasa sunyi. Sepi oleh rindu terasa pekat, menciptakan lorong-lorong bagi pikiran untuk beterbangan tak tentu arah, sulit untuk benar-benar fokus. Puncak kondisi ini saat si bungsu akhirnya harus tidak tinggal di rumah, sekolah di sebuah pesantren.

Akhir-akhir ini, setiap kali mencoba menulis, sering gagal. Aku hanya menjalankan rutinitas di laptopku sebatas tugas-tugas dan kewajiban tanggung jawab sebagai PNS ataupun pimpinan organisasi. Banyak ide di kepalaku, namun setiap akan memulai menulis, yang muncul suasana seakan anak-anak di rumah. Mungkin inilah kangen sekaligus kenangan:  canda tawa, keindahan keributan kecil, rewel soal makanan, usulan mengunjungi  ini dan itu, celotehan angan-angan masa depan, dan hal lain saat mereka masih di dekatku, mengisi hari-hari dengan cerita, kadang dengan adegan-adegan kekeluargaan yang amat manis, kadang juga adegan tegang dan emosi karena perbedaan pemahaman atau sudut pandang antara ibu dan anak-anaknya. 

Kesadaran bahwa "kebanyakan orang lebih mudah mengungkapkan pemikirannya secara lisan daripada menuliskannya dan bahwa dengan menulis, katakanlah sebuah esai, selain kita mewariskan dan melestarikan wawasan serta ilmu pengetahuan yang kita peroleh pada generasi selanjutnya, lebih dari kita juga menghasilkan suatu kesenian yakni karya sastra" seakan luruh. Tangan terasa berat untuk menuliskan kata- demi kata, seakan-akan produktivitas ikut terbang bersama mereka. Rasanya seperti ada bagian dari diri ini yang ikut pergi bersama mereka. Ada yang hilang....

Si Sulung puteriku yang cerdas dan sangat mandiri, dari lepas SD sudah merantau, kami tinggal di NTT, dia di Jawa Timur, menempuh pendidikan di sebuah pondok pesantren besar dan kesohor. Selama enam tahun hanya bertemu saat liburan. Lulus dari pesantren ini, dia kuliah di Bandung di mana kala itu kami pindah tugas dan tinggal di Bogor. Aku kerap mendengar dia mendapatkan prestasi di jenjang pendidikannya, hanya mendengar dan kemudian melihat penghargaan itu, namun hampir tak pernah menghadiri karena jarak tempuh. Sejak kecil selalu membanggakan, wajah manisnya yang orietal selalu tersimpan di balik pelupuk mataku. Pekerjaannnya sebagai konsultan, membuatnya akhir-akhir ini kerap keluar negeri, menjadikan kami sangat jarang bertemu. Semoga ia selalu dalam lindungan Allah, bertemu dengan hal-hal baik saja.

Ilustrasi betah di pesantren. Dokpri
Ilustrasi betah di pesantren. Dokpri

Si tengah Abang yang tadinya tidak mau sekolah di pesantren, lepas SMK akhirnya mesantren juga di Jawa Tengah. Pulang hanya pada saat liburan. Dua tahun dia di pesantren Klaten ini, akhirnya 2,5 tahun ini merantau ke Mesir. Sama seperti kakaknya, si Abang juga tak pernah merepotkan. Senang pada kesederhanaan, jiwa sosialnya tinggi, ga enakan kalau melihatku sibuk pekerjaan rumah dan ingin turun tangan... Bila libur,  Abang kerap mengajak kawan-kawannya makan bersama di rumah.

Bungsuku,   sosoknya tak sebanding dengan usianya yang kelas enam Sekolah Dasar kala itu, badannya bongsor. Kesehariannya selalu manis, selalu so sweet. Dia kerap mengukur tingginya denganku. Tinggiku pas di bawah telinganya, sehingga kalau berbicara denganku kerap menempelkan kedua telapak tangannya dikedua pipiku, dan memposisikan wajahku tengadah tepat di bawah wajahnya.   Menggondongku dari ruang TV ke dapur atau sekedar mengangkat-angkat tubuhku itu hal yang lumrah, terlebih saat aku masih mengenakan mukenah selepas berjamaah dengannya waktu maghrib atau isya'.  

Dua bulan ini dia masuk pesantren, dekat, hanya sekitar 30 menit berkendara dari rumah. Kami sengaja mengarahkan ke pesantren yang tidak jauh dari rumah agar bisa lebih sering mengunjunginya. Belajar dari pengalaman saat menyekolahkan kakak dan abangnya yang cukup jauh.

Beberapa waktu sebelum masuk pesantren dia kerap menggodaku, "Serius nih aku ke pesantren? Nanti Mama sering sendiri bagaimana, Abi kan sering dinas ke luar kota" tatapnya santai sambil mempermainkan hidungku dengan telunjuknya.

"Makanya Mama sekolahkan adik di Al Kahfi saja, ga terlalu jauh." kucubit hidungnya.

"Kalau ada pesantren depan rumah, disitu saja aku mesantren ya Ma, ha ha haa..... biar Mama ga ribet cari-cari aku. Kalau mama kangen, tinggal nyebrang. Kalau aku siih mesantren santai-santai saja mau dimana juga, cuma aku mikirin mama," sambil mengelus-elus kedua pipiku. Begitulah dia memposisikan, bahwa jika dia mesantren nanti yang sedih bukan dia tapi aku dan Abinya.

Acapkali juga dia merengkuh kepalaku, "Eeeuh tayaang, sini uum-uum (maksudnya: sayaang, sini cium-cium), jangan sedih, nanti cepat tua..."  Kalimat-kalimat sejenis ini sering dihujaninya untukku. Pulang dari manapun aku, entah dengan mobil atau motor, dia paling sigap membukakan pagar, dan tak pernah terlewatkan selalu keluar dari mulutnya, "Mamaa, mamaa," enyumnya merekah manis dengan gingsulnya. Dia segera menghampiriku, dan menciumiku, kadang menggendongku sambil berkata, "Capek ya?" atau "Beli apa Mamaa?" Biasanya sebelum melepas rutinitas ini, tangannya menghampiri perutku, menggelitik sambil berujar, "Eeung enduut, pelutnya enduuut, ga papa yang penting tehat. Olah laga atuh Mah," dengan cedal yang dibuat-buat, dan banyak lagi inventaris kalimat-kalimat dan adegan so sweetnya di kepalaku dan hatiku.

 Hampir dua bulan si Bungsu di pesantren. Abi-nya kadang tampak rapuh, beberapa kali tampak meneteskan air mata, bahkan pernah tersedu. Mungkin berat merelakan anak-anak terutama si Bungsu pergi. Bukan karena bungsu, tengah atau sulunya., tapi lebih karena benar-benar habis. Kala sulung pergi, masih ada abang dan bungsu, kala abang-pun pergi masih ada si bungsu. Taapi begitu bungsu pergi, rasanya benar-benar habis. 

Bersyukurnya, setiap kesempatan kunjungan, Bungsu selalu membesarkan hati Abinya. "Abi jangan sedih, ga usah banyak pikiran, ga perlu mikirin aku Bi." Kadang juga sambil memeluk erat Abinya dia menghibur "Aku betah banget dan happy disini. Pokoknya Al Kahfi is the best," Lalu memelukku  bergantian. Kata-kata ini seperti obat mujarab, sejuk seperti embun. Air mataku hampir meleleh menatap ketulusannya.

"Adik suka apanya dari Pesantren ini Nak?" tanyaku.

"Pokoknya semuanya, suasananya, guru-gurunya, suasana kelasnya, asramanya, kawan-kawannya. Terutama kakak kelas - kakak kelasnya Ma, keren banget dah pokoknya." penjelasannya panjang memerinci pokok-pokok itu.

Kalimat penilaiannya itu terasa tulus, tidak dibuat-buat, bercerita sepenuh hati sepenuh  semangat. Ini benar-benar menjadi obat. Melepas anak dalam suasana yang dia suka, dia berkenan, dia ridho. Semoga hasilnya adalah keberkahan kebaikan demi kebaikan.

Sebagai orang tua, kami sadar bahwa ini adalah takdir yang kami juga turut merencanakan, yang harus diterima dengan ketegaran dan keikhlasan. Anak-anak harus dipersiapkan menghadapi jamannya, kini dan kelak. Dan orang tua siap merelakan mereka pergi mempersiapkan hari-hari yang akan dihadapinya, meski hati ini tak sepenuhnya siap.

Kadang dada benar-benar sesak, berat, air mata tak bisa ditahan lagi. Alhamdulillah-nya hati tetap bersyukur setidaknya selalu teguh untuk meridhoi mereka menempuh kehidupannya, memperjuangkan masa depannya agar bermanfaat buat dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Aku memilih untuk tetap kuat. Karena keyakinan, keteguhan hati orang tua, akan memberikan mereka kekuatan yang sama. Doa-doa menjadi pertemuan non fisik di alam doa, doa ibu, doa ayah dan doa anak-anak memohonkan keselamatan, tercapainya cita-cita hakiki, kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Doa-doa itu saling bertemu, bersama membuka pintu arasy agar Allah berkenan mengabulkan.

Cinta seorang ibu atau ayah tak hanya tentang menjaga mereka di dekat kita, tetapi juga tentang melepaskan dengan penuh keyakinan dan keikhlasan bahwa mereka akan baik-baik saja di perantauannya. Setiap malam yang sunyi adalah kesempatan bagiku untuk mengingat betapa beruntungnya aku memiliki mereka, dan setiap hari adalah perjuangan untuk tetap kuat, karena aku tahu, mereka juga sedang berjuang di sana.  Karena meski jarak memisahkan, kasih sayang ini tak pernah berkurang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun