Kantor Urusan Agama atau KUA adalah unit pelaksana teknis pada Kementerian Agama, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Secara operasional dibina oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota. KUA berkedudukan di Kecamatan dengan wilayah layanan berbasis wilayah administrasi pemerintahan kecamatan. KUA mempunyai tugas melaksanakan bimbingan masyarakat Islam dan layanan keagamaan sesuai peraturan perundang-undangan.
1. Sejarah KUA (Kantor Urusan Agama)
Secara historis, bangsa Indonesia sudah mempunyai lembaga kepenghuluan yaitu semenjak berdirinya Kesultanan Mataram, jauh sebelum bangsa Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada saat itu Kesultanan Mataram telah mengangkat seseorang yang diberi tugas dan wewenang khusus di bidang kepenghuluan.
Sejalan dengan itu, menurut sosiolog Belanda, Karl Steenbrink, KUA Kecamatan secara kelembagaan telah ada jauh sebelum Depertemen Agama itu sendiri berdiri secara resmi. Pada masa kolonial, unit kerja dengan tugas dan fungsi seperti KUA sekarang ini, telah diatur dan diurus  di bawah lembaga Kantor Voor Inslanche Zaken (Kantor Urusan Pribumi - bagi yang beragama Islam) yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pendirian unit kerja ini tak lain adalah untuk mengkoordinir tuntutan pelayanan masalah-masalah keperdataan yang menyangkut umat Islam yang merupakan produk pribumi. Kelembagaan ini kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Jepang melalui lembaga dengan bidang garap tugas dan fungsi yang sama, dimana lembaga tersebut disebut dengan Shumubu.
Pada masa pameritahan Kolonial Belanda tersebut, regulasi Huwelijk Ordonatie S. 1929 NO. 348 jo S. 1931 NO.467, Vorstenladsche Huwelijk Ordoatie S. 1933 NO. 98 dan Huwelijs Ordoatie Buetengewesten S. 1932 NO. 482 mengatur tentang Lembaga Kepenghuluan sebagai lembaga swasta.
Untuk Daerah Vortenlanden (satu istilah yang dipakai pada sejarah Jawa untuk menyebut daerah-daerah yang berada di bawah otoritas empat kerajaan asli Jawa pecahan kerajaan Mataram Islam yaitu Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, Kasunanan Surakarta, serta Kadipaten Pakualaman) dan selain dari itu diatur dengan Ordonansi tersendiri. Lembaga tersebut dibawah pengawasan para Bupati. Sementara gaji para karyawannya diperoleh dari pengumpulan biaya talak dan rujuk yang dihimpun dalam kas masjid.
Pada masa pemerintahan Pendudukan Jepang, tepatnya pada tahun 1943 inilah Pemerintah Jepang mendirikan  Kantor Shumubu (KUA) di Jakarta. Kepala Shumubu untuk wilayah Jawa dan Madura yang pertama adalah KH. Hasim Asy'ari pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan pendiri Jam'iyyah Nahdlatul Ulama. Kemudian KH. Hasyim Asy'ari menyerahkan pelaksananya kepada puteranya yaitu KH. Wahid Hasyim sampai akhir pendudukan Jepang pada bulan Agustus 1945. Orang Jawa Barat dulu secara umum menyebut tempat pernikahan  sebagai "Bale Nyungcung" yang lokasinya dekat dengan Masjid Besar.
Pada masa kemerdekaan, KUA Kecamatan dikukuhkan melalui Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR). Undang-undang ini diakui sebagai pijakan legal bagi berdirinya KUA Kecamatan. Kewenangan KUA  yang cukup luas berdasar UU ini (meliputi  Nikah Rujuk (NR), Talak dan Cerai), dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang diberlakukan dengan PP. No. 9 tahun 1975, berubah sebatas nikah dan rujuk sedangkan  masalah talak dan cerai  diserahkan kepada Pengadilan Agama.
KUA bisa dikatakan merupakan cikal bakal dari Departemen/Kementerian Agama yang pada awalnya merupakan lembaga swasta yang mengurusi kepenghuluan.
2. Sejarah KUA Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor
KUA Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat  merupakan salah satu KUA tertua dari 5.945 KUA Kecamatan di lingkungan Kantor Kementerian Agama  Republik Indonesia.  KUA Kecamatan Ciawi berdiri pada tahun 1918 (seribu sembilan ratus delapan belas), jauh sebelum Departemen atau Kementerian Agama itu sendiri berdiri  pada 3 Januari 1946.  Hanya saja, tidak atau belum didapatkan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan terkait apa sebutan atau nama KUA pada saat itu. Boleh jadi belum Bernama KUA, sebab pada jaman penjajahan Jepang saja, nama lembaga yang mengurusi agama dan seputar pernikahan atau lembaga kepenghuluan masih bernama Kantor Shumubu, sebagaimana dijelaskan sebelum ini.