Di Makkah, sehabis shalat subuh di Masjidil Haram, jarang sekali aku langsung kembali ke hotel. Biasanya bersama suamiku duduk-duduk sejenak di lantai pelataran seputar masjid menikmati hangatnya teh syai haleeb -  minuman teh  susu khas Arab - sambil berbincang santai dalam suasana  lalu-lalang jamaah haji dengan beraneka mimik, postur, gestur, bangsa, ras dan bahasa manusia dari berbagai penjuru dunia.
Seperti saat itu, sambil menikmati teh haleeb dan kebab Arab, beberapa saat setelah  shalat subuh, langit biru mulai terang, cerah, udara  belum terik, masih lumayan sejuk. Kami duduk-duduk di pelataran masjid bersama jamaah lain dari berbagai negara. Di samping kananku, suamiku tampaknya sudah menemukan teman. Ia asyik bercakap-cakap berbahasa Arab dengan seorang lelaki asing. Entah apa yang dibahasnya.
Sementara aku mengamati seorang bocah lelaki bule mungkin 5 atau 7 Â tahunan yang asyik bermain dengan ratusan burung dara di sekeliling kami. Wajah tampannya sumringah. Berulang kali tawanya berderai saat merpati berhambur terbang menjauh kala didekatinya, dan mendekat serempak kala ditaburkan beberapa biji makanan olehnya. Berulang juga dia berteriak memperlihatkan keriangan dan kekaguman ke arah seorang pria muda yang wajahnya mirip sekali dengan bocah ini. Dia duduk tidak terlalu jauh di sisi kiriku. Tampak dia selalu memberikan respon positif dan mengabadikan beberapa part moment keriangan bocah itu dengan gawainya.Â
"So handsome, your son?" tanyaku memberanikan diri membuka percakapan. Benar saja. Ayah muda ini mengangguk-angguk menoleh ke arahku, tersenyum sambil menyampaikan terima kasih. Anak semata wayangnya ini bernama Bopsy, berusia lima tahun. Mereka warga muslim Amerika.Â
Percakapan ringanpun berlangsung.
Belum lama berselang, sambil melihat jam tangannya lelaki itu memanggil puteranya dan mengajaknya kembali (mungkin ke hotel). Dengan wajah memelas dan sedikit merengek Bopsy memohon, "Five more minutes okay, just five minutes, Â ok Dad?" Ayahnya tersenyum, mengangguk mengijinkan. Bopsy girang. Kembali berceloteh sendiri di antara burung-burung itu.
Lima menit berlalu, sambil bangkit dari duduknya, ayah Bobsy kembali memanggil, mengingatkan agar segera kembali ke penginapan untuk sarapan. Lagi-lagi Bobsy memohon, "Add another five minutes  okey...  Please just five minutes, come on Daaad....!"
Seperti tadi, pria itu tersenyum dan mengangguk. Beberapa kali gawainya masih difokuskan ke  arah puteranya. Betapa sayang dan carenya pria muda ini pikirku.Â
Beberapa kali Bobsy menyampaikan betapa senangnya dia dengan burung-burung itu. Ayahnya selalu merespon positif dengan penjelasan-penjelasan ringan tentang kehidupan burung-burung itu.
"You must be a patient father, you look painstaking to take care of your son," pujiku tentang kesabaran dan ketelatenannya  menghadapi putera kecilnya dengan bahasa Inggris ala aku.
Tiba-tiba saja ia mundur bebera langkah, kembali duduk seperti semula tidak terlalu  jauh di samping kiriku. Ia tampak murung dan berubah serius, mengusap rambut dengan tangan kirinya dan menarik nafas dalam.
 Tanpa memandang ke arahku, dia berkata seakan pada dirinya sendiri bahwa dia tidak ingin menyesal untuk kedua kalinya. Keningku mengernyit, penasaran.Â
Dia bertutur setengah bergumam bahwa kakak Bobsy, Ameer namanya, meninggal setahun yang lalu tepat di depan rumah mereka akibat suatu kecelakaan tak terduga. Beberapa menit dan detik sebelum kecelakaan itu terjadi, berulang kali Ameer memanggilnya untuk memperlihatkan kelihaiannya bermain sepeda. Berulang kali juga dia mengabaikannya, dan justru sibuk menanggapi kolega bisnis di gawainya.
Aku tercekat. "Ooh, so sory".
Lelaki ini menatap Bobsy, kosong. Mungkin dejavu, Â tergambar kenangan masa silam yang dramatis dan pilu. Ia melanjutkan kisahnya, meski lebih tepat disebut berkisah pada diri sendiri. Â Tatapan matanya masih kosong, sesekali menunduk dan mengusap sudut matanya.Â
Aku terhanyut mencerna tutur kisah dengan bahasa Inggrisnya. Jelas sekali beban penyesalan yang luar biasa. Dia menyesal, nyaris  tidak pernah memberi cukup waktu untuk membersamai Ameer. Kadang Ameer menangis, berteriak kesal, hanya sekedar ingin dilihat atau dikomentari mainannya  oleh ayahnya. Sampai Ameer tak pernah merengek lagi. Tepat saat kejadian naas yang merenggut nyawa puteranya terjadi.
Sekarang hanya ada Bobsy. Dia ingin selalu ada buat Bobsy. Seperti yang diminta Bobsy kali ini, lima menit lagi. Bobsy pasti mengira bahwa tambahan waktu ekstra lima menit itu untuk perpanjangan waktu dirinya. Bobsy mengira lima menit lagi untuknya bermain bersama burung-burung dara yang belum pernah dirasakannya selama di Amerika. Lima menit lagi untuk memberinya makanan. Lima menit lagi untuk menerima kejutan dari burung-burung itu. Â Padahal sesungguhnya lima menit itu adalah waktu "milik" ayahnya.
"Realy, the five minutes 're for me." Ayahnya merasa memperoleh tambahan waktu menemaninya, tambahan waktu memandangi gerak-geriknya, tawa dan rengekannya, tambahan waktu mengabadikan puteranya dalam foto dan video di ponselnya, yang nyaris tidak pernah dia lakukan untuk Ameer, kakak Bobsy. Â
Dia ingin menebus kesalahannya. Dan tidak ingin menyesal untuk kedua kalinya. Â
Sesaat Bobsy mengampiri ayahnya mengajaknya kembali ke hotel. Ayah Bobsy memamitiku, "Thank you, see you Mom"....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H