Mohon tunggu...
Elvi Anita Afandi
Elvi Anita Afandi Mohon Tunggu... Lainnya - FAIRNESS LOVER

Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Hikmah: "Duplikasi"

24 Mei 2023   22:14 Diperbarui: 24 Mei 2023   22:18 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi memarahi anak. Sumber: IslamToday

Riuh-rendah suara para siswa-siswi, orang tua wali murid, guru dan hadirin di auditorium sekolah dasar internasional dimana Alvin, anakku, sekolah. Sesi lomba dengan aneka cabang lomba ini tak dapat dipungkiri juga menjadi ajang persaingan para orang tua untuk saling membanggakan anaknya masing-masing. Rivalitasnya melebihi anak-anak yang berlomba dalam ajang yang sesungguhnya. Jor-joran para orang tua untuk bisa memberi fasilitas persiapan lomba dengan biaya fantastis  untuk ukuran umum menjadi hal yang lumrah meskipun ini hanya sekedar lomba tingkat sekolah.

Kali ini Alvin mengikuti lomba berenang dan bermain drama. Sampai duduk di kelas tiga ini, belum sekalipun ia mendapat juara. Jelas aku ingin sekali anakku dapat juara. Sayang, Alvin benar-benar menolak berlatih secara khusus meski dengan susah payah aku dan ibunya merayu dan menyuruhnya.

Hingar bingar suasana auditorium mulai hening seiring dengan lighting panggung yang dipadamkan. Suasana temaram. Pementasan lomba drama dilaksanakan paling akhir, bersamaan pada hari  pengumuman para juara. Suara monolog pengantar cerita drama dimulai. Semua mata fokus pada panggung.

Lakon drama berjalan sempurna. Siswa-siswi tampil maksimal. Ada yang berperan sebagai petani dengan kostum petani: caping dan cangkul. Ada sebagai nelayan dengan jala tersampir di pundak dan meneteng ember. Ada yang berperan sebagai  orang yang selalu murung, berperan sebagai rakyat miskin, polisi dan ada juga yang perperan sebagai sosok yang berwajah garang,  mudah marah dan semaunya sendiri. 

Tepuk tangan riuh rendah kerap terdengar dari segala sisi panggung, acap kali juga menjadi hening penuh keharuan. Permainan cahaya lampu melengkapi keindahan sekaligus keharuan suasana alur cerita di panggung.

Akhirnya.... Byar!!!... seisi auditorium terang benderang, tepuk tangan gemuruh panjang, usai sudah drama itu dipentaskan. SElang kemudian, terdengar suara pembawa acara memberikan pengantar bahwa pemenang lomba akan segera diumumkan. Seorang Bapak Guru tampil ke panggung, satu persatu setiap cabang lomba diumumkan pemenangnya. Tak ada nama Alvin disebut. 

Puncaknya adalah pengumuman lomba bermain drama. Anak-anak tampak cemas, berharap  namanya dipanggil dan tampil di panggung menerima hadiah ditemani orang tua dengan penuh kebanggaan. Beberapa  ibu-ibu tampak menempelkan kedua telapak tangannya di kedua pipinya, seperti harap-harap cemas atau mungkin berdoa, berharap putera-puterinya menjadi juara.

Sejenak kemudian suara lantang dari panggung, "Juara pertama lomba bermain drama diraih oleh ...... Alviiiiin.....", 

"Hah benarkah?" pekikku hanya dalam hati. Ingin jingkrak-jingkrak tapi gengsi kawatir tampak norak kelewat bahagia.  Langsung terbayang wajah seorang lelaki yang selalu membanggakan anaknya dengan sombong dihadapanku. Mungkin sekarang dia mendadak kesal kecewa anaknya tidak mendapatkan juara apapun. 

Aku menengok kanan -- kiri mencari penguatan atas kebenaran pendengaranku. "Ayah ayoo kita ke panggung bertiga..." seru isteriku. Kulihat wajah Alvin biasa-biasa saja, berbeda dengan isteriku yang berbinar girang. Kutatap sekeliling panggung dengan penuh kebanggaan, kami bertiga menuju panggung, gemuruh tepuk tangan kembali riuh mengiringi kami yang menuju ke panggung untuk menerima hadiah dan berfoto. 

Di panggung, aku, bersama isteriku yang cantik merasa sebagai pasangan orang tua yang bukan hanya mapan, tetapi juga berhasil mengurus anak. Sambil menyerahkan piala dan hadiah lainnya, Pak Guru berujar "Kamu memang hebat, kamu pantas mendapatkannya. Boleh dong berbagi tips untuk kawan-kawan bagaimana kamu bisa berperan apik dan alami sekali menjadi orang yang galak dan pemarah, pasti rajin berlatih ya, coba ceritakan?"  

Sembari tersenyum datar Alvin menyampaikan, "Terima kasih hadiahnya Pak. Sebenarnya saya harus berterima kasih pada ayah saya. Dari ayahlah saya belajar berteriak dan marah-marah. Saya tidak perlu berlatih keras memerankan tokoh pemarah karena saya sering melihat ayah saya seperti itu, jadi tinggal menirukan saja." 

Aku benar-benar tercenung, rasa ditampar hingga gigiku rontok, nanar ...  

Alvin masih melanjutkan, "Ayah biasa melakukan itu di rumah, jadi peran ini adalah peran yang mudah bagi saya."

Senyap, bibir-bibir terkatup. Aku dan isteriku yang tadinya bangga, tertunduk lemas. Malu. Aku merasa menjadi terdakwa di sebuah pengadilan. Apa aku harus marah dengan kepolosan Alvin? 

Kenyataannya aku, dan mungkin juga anda memang harus diluruskan.....(untuk para ayah dan ibu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun