Riuh-rendah suara para siswa-siswi, orang tua wali murid, guru dan hadirin di auditorium sekolah dasar internasional dimana Alvin, anakku, sekolah. Sesi lomba dengan aneka cabang lomba ini tak dapat dipungkiri juga menjadi ajang persaingan para orang tua untuk saling membanggakan anaknya masing-masing. Rivalitasnya melebihi anak-anak yang berlomba dalam ajang yang sesungguhnya. Jor-joran para orang tua untuk bisa memberi fasilitas persiapan lomba dengan biaya fantastis  untuk ukuran umum menjadi hal yang lumrah meskipun ini hanya sekedar lomba tingkat sekolah.
Kali ini Alvin mengikuti lomba berenang dan bermain drama. Sampai duduk di kelas tiga ini, belum sekalipun ia mendapat juara. Jelas aku ingin sekali anakku dapat juara. Sayang, Alvin benar-benar menolak berlatih secara khusus meski dengan susah payah aku dan ibunya merayu dan menyuruhnya.
Hingar bingar suasana auditorium mulai hening seiring dengan lighting panggung yang dipadamkan. Suasana temaram. Pementasan lomba drama dilaksanakan paling akhir, bersamaan pada hari  pengumuman para juara. Suara monolog pengantar cerita drama dimulai. Semua mata fokus pada panggung.
Lakon drama berjalan sempurna. Siswa-siswi tampil maksimal. Ada yang berperan sebagai petani dengan kostum petani: caping dan cangkul. Ada sebagai nelayan dengan jala tersampir di pundak dan meneteng ember. Ada yang berperan sebagai  orang yang selalu murung, berperan sebagai rakyat miskin, polisi dan ada juga yang perperan sebagai sosok yang berwajah garang,  mudah marah dan semaunya sendiri.Â
Tepuk tangan riuh rendah kerap terdengar dari segala sisi panggung, acap kali juga menjadi hening penuh keharuan. Permainan cahaya lampu melengkapi keindahan sekaligus keharuan suasana alur cerita di panggung.
Akhirnya.... Byar!!!... seisi auditorium terang benderang, tepuk tangan gemuruh panjang, usai sudah drama itu dipentaskan. SElang kemudian, terdengar suara pembawa acara memberikan pengantar bahwa pemenang lomba akan segera diumumkan. Seorang Bapak Guru tampil ke panggung, satu persatu setiap cabang lomba diumumkan pemenangnya. Tak ada nama Alvin disebut.Â
Puncaknya adalah pengumuman lomba bermain drama. Anak-anak tampak cemas, berharap  namanya dipanggil dan tampil di panggung menerima hadiah ditemani orang tua dengan penuh kebanggaan. Beberapa  ibu-ibu tampak menempelkan kedua telapak tangannya di kedua pipinya, seperti harap-harap cemas atau mungkin berdoa, berharap putera-puterinya menjadi juara.
Sejenak kemudian suara lantang dari panggung, "Juara pertama lomba bermain drama diraih oleh ...... Alviiiiin.....",Â
"Hah benarkah?" pekikku hanya dalam hati. Ingin jingkrak-jingkrak tapi gengsi kawatir tampak norak kelewat bahagia. Â Langsung terbayang wajah seorang lelaki yang selalu membanggakan anaknya dengan sombong dihadapanku. Mungkin sekarang dia mendadak kesal kecewa anaknya tidak mendapatkan juara apapun.Â
Aku menengok kanan -- kiri mencari penguatan atas kebenaran pendengaranku. "Ayah ayoo kita ke panggung bertiga..." seru isteriku. Kulihat wajah Alvin biasa-biasa saja, berbeda dengan isteriku yang berbinar girang. Kutatap sekeliling panggung dengan penuh kebanggaan, kami bertiga menuju panggung, gemuruh tepuk tangan kembali riuh mengiringi kami yang menuju ke panggung untuk menerima hadiah dan berfoto.Â