Apakah harus berjuang sama persis dengan Kartini untuk dapat julukan itu? Jelas tidak harus, karena masalah yang dihadapi berbeda-beda, dunia telah berubah banyak.
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak perempuan pejuang masa setelah Kartini yang mungkin berjuang seperti Kartini. Kemajuan pemikirin dan nasib perempuan saat ini jelas tidak bisa juga dilepaskan dari perjuangan awal Kartini, sebagai awal kebangkitan perempuan. Termasuk yang dapat kita baca, bahwa munculnya organisasi perempuan pertama merupakan percikan perjuangan Kartini lewat surat-suratnya yang menginspirasi perempuan lain untuk bangkit.
Â
Apakah julukan kepada seorang perempuan sebagai Kartini selalu tepat?
Menyandang sebutan "Kartini masa kini" tidak semudah yang dipikirkan atau tampilkan visual semata---berjenis kelamin perempuan dan berkebaya. Mungkin saja kita masih ingat, salah satu kejadian heboh tahun 2018. Saat Ibu Ratna Sarumpaet dikabarkan bonyok karena dikeroyok, tapi ternyata berita palsu. Bukan bonyok karena digebukin melainkan efek dari operasi wajah.
Hanum Rais, anak Pak Amin Rais, dengan menahan tangis tampil di media  memberi suara keprihatinan akan kejadian ini sambil memberi julukan "Kartini dan Cut Nyak Dien masa kini" kepada Ratna Sarumpaet dan Neno Warisman. Tidak hanya itu, ia bahkan berharap ada ribuan "Ratna Sarumpaet dan Neno Warisman" lain yang muncul. Celakanya belakangan kemudian kita semua tahu akhir ceritanya, itu hanya sinetron belaka. Â
Â
Lalu, siapa perempuan masa kini jika dihubungkan dengan Kartini?
Menurut saya, kondisi mayoritas perempuan saat ini mungkin memang adalah buah dari perjuangan awal Kartini. Buah dalam artian efek dari rentetan panjang perjuangan perempuan yang bermula dari pemikirian Kartini. Namun, bukan sebagai Kartininya.
Di balik hasil perjuangan perempuan, sangat ironis perempuan hari ini masih banyak yang mungkin berada dalam "gelap" yang harus terus diperjuangkan agar bisa menuju "terang". Banyak yang tertindas oleh laki-laki maupun oleh sesamanya perempuan, belum merdeka atas dirinya sendiri, terpenjara dalam tradisi atas nama adat, terseret ke dalam jurang yang dalam atas nama pemenuhan kebutuhan ekonomi, dan masih banyak lagi. Â
Â