Balai Pustaka merupakan suatu angkatan dalam periodisasi sastra yang terkenal dengan sebutan angkatan 20 atau angkatan pembangkit, karena lahir pada masa kebangkitan sastra Indonesia yaitu pada periode tahun 1920 sampai tahun 1942.Â
Pengarang angkatan ini juga sangat produktif terhadap karya-karyanya yang diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka. Puncak karya sastranya adalah novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Berikut adalah pengarang-pengarang angkatan Balai Pustaka:
1. Merari Siregar
Merari Siregar lahir pada 13 Juli 1896 di Sipirok, Sumatera Utara. Di Sipirok ia menjumpai permasalahan khususnya mengenai adat, misalnya, kawin paksa yang terdapat dalam lingkungannya. Setelah dewasa dan menjadi orang terpelajar, hati kecilnya ingin mengubah sikap masyarakat yang berpandangan kurang baik khususnya masyarakat di daerah Sipirok.
Ia pernah bersekolah di Kweekschool Oost en West di Gunung Sahari, Jakarta. Pada tahun 1923, dia bersekolah di sekolah swasta yang didirikan oleh vereeniging tot van Oost en West, yang pada masa itu merupakan organisasi yang aktif memperakiekkan politik etis Belanda. Merari Siregar wafat di Kalianget, Madura, Jawa Timur pada 23 April 1941.
Karya-karyanya: Novel Azab dan Sengsara, Binasa Karena Gadis Priangan, Cerita tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi, Cinta dan Hawa Nafsu, Si Jamin dan si Johan.
2. Marah Roesli
Marah Roesli lahir pada 7 Agustus 1889 di Padang, Sumatera Barat. Ayahanya Sultan Abu Bakar, yaitu seorang bangsawan Pagaruyung dengan gelar Sultan Pangeran. Sedangkan ibunya berdarah Jawa keturunan Sentot Alibasyah.
Meski terkenal sebagai sastrawan, Marah Roesli sebenarnya adalah dokter hewan. Ia tetap menekuninya hingga menjadi Dokter Hewan Kepala dan pensiun dan pensiun pada tahun 1952.
Keinginan Marah Roesli menjadi sastrawan sejak ia masih kecil. Ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba, tukang dongeng di Sumateta Barat yang berkeliling kampung menjual ceritanya, dan membaca buku sastra
Marah Rusli meninggal dunia pada 17 Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat.
Karya yang paling terkenal adalah Siti Nurbaya pada tahun 1920. Ceritanya menggugah dana meninggalkan pesan yang mendalam kepada pembaca. Adapun karya yang lainnya, yaitu Lasmi, Anak dan Kemenakan, Memang jodoh, dan Tesna Zahera.
3. Muhammad Yamin
Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. adalah sastrawan yang telah dihormati sebagai pahlawan nasional Indonesia yang lahir pada 24 Agustus 1903 di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat. Ayah  Mohammad Yamin adalah Usman Baginda Khatib yang berasal dari Sawahlunto sedangkan iobunya bernama Siti Saadah berasal dari Padang Panjang.Â
Sekolah dasar pertamanya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah purbakala dan berbagai bahasa seperti Yunani, Latin, dan Kaei.Â
Kemudian menjalani kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.
Pada tahun 1920-an ia mulai menulis, karya pertamanya sebuah jurnal berbahasa Belanda pada tahun 1920 Â ditulis menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera. Adapun karya-karya yang lainnya yaitu Tanah Air, Indonesia Tumpah Darahku, Kalau Dewa Tara Sudah Berkata, Ken Arok dan Ken Dedes, dan lain-lain.
4. Nur Sutan Iskandar
Beliau lahir pada 3 november 1893 di Sumatera Barat. Beliau menikah dengan Aminah dan dikaruniai lima orang anak.
Setelah menamatkan sekolah rakyat pada tahun 1909, Nur Sutan Iskandar bekerja sebagai guru bantu. Pada tahun 1919 ia hijrah ke Jakarta, di sana ia bekerja di Balai Pustaka sebagai pengoreksi naskah. Lalu pada tahun 1925-1942 menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Balai Pustaka. Tahun selanjutnya diangkat menjadi Kepala Pengarang Balai Pustaka.
Nur Sutan Iskandar tercatat sebgai sastrawan terproduktif di angkatannya. Ia juga menerjemahkan buku karya pengarang asing seperti Alexandre Dumas. Adapun karya-karyanya yaitu Apa Dayaku karena Aku Perempuan, Salah Pilih, Abu Nawas, dan lain-lain.
5. Tulis Sutan Sati
Tulis Sutan Sati lahir pada tahun 1898 di Bukittinggi. Beliau pernah menjadi guru dan salah satu redaktur di penerbitan yang pada masa itu milik Belanda, sehingga kemampuan mengarangnya sangat terasah.
Karya-karyanya terdiri dari asli dan saduran, baik roman maupun syair yang berisi tentang penderitaan dan susahnya hidup. Adapun karyanya yaitu: Sengsara Membawa Nikmat, Tidak Membalas Guna, dan lainnya.
Sumber:
Rosidi, Ajip. 2000. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta
Eneste, Pamusuk. 1988. Ikhtisar Kesusastraan Modern. Jakarta: Djambatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H