Mohon tunggu...
El Sanoebari
El Sanoebari Mohon Tunggu... Penulis - Salah satu penulis antologi buku "Dari Pegunungan Karmel Hingga Lautan Hindia".

Menyukai pekerjaan literasi & kopi | Suka buku filsafat, konseling dan Novel | Jika harus memilih 2 hal saat jenuh saya akan makan banyak dan traveling | Suka belajar hal yang baru | Saya suka berpikir random, demikian dalam menulis | Imajinatif | Saya suka menulis Puisi dan cerpen sejak SD, yang terkubur di dalam laptop | Bergabung menjadi kompasianer merupakan tantangan yang menyenangkan | Saya suka segala hal yang menantang | Cukup ya, terlalu banyak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mara, Nama yang Tepat Untuknya

14 November 2022   11:11 Diperbarui: 14 November 2022   11:14 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak sempat Wino membela diri. Tak ada waktu untuk bicara apa yang sesungguhnya terjadi dengan Wino. Semalam ia terhenyak, diliputi ketakutan dan kegalauan. Akh, betapa ia merasakan malu. Entah kemana dibawa rasa kanyar ini. Wino bahkan tidak pernah menyangka akan begini jadinya. Tubuhnya berubah bak secepat kilat.

"Harusnya bukan sekarang." Keluhnya. "Harusnya menunggu seribu hari lagi, waktu yang telah kami tentukan, waktu kami akan melangsungkan pernikahan kami."

Tapi semalam, ia ditimpa kekacauan, tak tahu bagaimana harus bertindak. Ada yang berbeda dengan tubuhnya.

"Arrghh... mau ditaruh dimana mukaku ini? Hancur." Kesalnya.

Wino memandangi cermin di kamarnya dengan jelas, apakah mungkin cermin sedang berbohong kepadanya, karena dalam sekejab saja cermin itu seakan cembung. Airmatanya mengalir begitu cepat tanpa komando. Berharap saat ajal menjemput.

"Kenyataan ini yang harus aku bawa dan tak mungkin kukuburkan dalam-dalam. Tak mungkin." Wino memekik.

Wino benar-benar gamang. Belum pernah terjadi sebelumnya. Ia tidak berharap bahkan tak menginginkannya. Wino mengingat bahwa ia telah berjanji dengan terhadap diri sendiri, ia akan menjadi seorang istri bagi seorang suami, dan hanya dia yang menyentuhnya. Ketika tiba saat itu, ia akan merasakan menjadi seorang istri. Tapi kini janji itu terenggut sekejab oleh nafsu lelaki buas.

Ia bertanya-tanya kenapa pria jahanam itu tega melakukannya di saat dia tidak menginginkannya. Begitukah lelaki saat dikuasai nafsu ia takkan berpikir jauh? Bahkan lupalah ia tentang semua janjinya. Menyakitkan. Wino terus menyesali keadaannya. Kenyataannya sekarang ia hamil empat bulan.

"Bukan kenikmatan yang kurasakan tapi derita. Derita sepanjang aku merasakan sakit. Sakit yang tak mungkin kunjung hilang. Betapa malangnya nasibku sebagai wanita." Peluh memenuhi tubuhnya. Rasanya dingin.

Wino kini berandai-andai, bila ia bisa mengulang waktu, ia ingin menghempaskan semua kenyataan ini, dan membuang jauh-jauh segala kepahitan, lalu menjadi seorang pribadi yang baru, dan menggapai sebuah mimpi tentang janjinya pada dirinya. Rasa sakit ini menusuk amat dalam hingga ke sumsum. Siapa yang akan bertanggungjawab terhadap semua ini? Sedangkan tunangannya, telah pergi jauh meninggalkannya dengan alasan bekerja untuk persiapan pernikahan mereka.

"Tuhan, bagaimanapun rasa sakit ini kulupakan, akan tetap pedih. Tak terlupakan. Semakin sakit saat mengingat janji-janji kami. Janji yang sangat manis, semanis madu. Tapi kini telah menjadi pahit, laksana empedu. Kepada siapa kulampiaskan lara ini?" ia terus bergumam memanjatkan doanya mencari solusi.

Wanita mana yang bangga dengan kondisi seperti Wino? Tidak ada. Mungkikah orangtuanya akan menerima keadaannya? Aku tidak yakin. Membayangkannya saja apa yang terjadi dengan kemalangan Wino, ulu hatiku sakit. Semakin ia memikirkannya, semakin ambruk rasanya menerima kenyataan. Sementara itu Wino takut, bayi yang dalam kandungannya merasakan pedih sehingga ia terlahir nantinya dengan membawa luka hatinya karena ibunya yang terlanjur menanggung perih karena ulah ayahnya yang bukan ayahnya.

"Mungkin lebih baik anak ini terlahir di atas kepahitan sehingga ia terbiasa merasakan duka yang dialami ibunya, karena memang dia bayi yang tidak aku inginkan. Belum waktunya aku menginginkan. Tidak. Ibu macam apa aku ini? Akh. Aku benci dengan pria." jerit Wino.

Wino terus meracau.

"Lalu apa yang akan anakku katakan nanti kepada ayahnya, seorang pengkhianat? Seorang pecundang? Apa yang harus aku jawab saat ia bertanya di mana ayahnya? Siapa nama yang paling tepat buat bayiku? Derita ini membuatku sulit untuk berpikir waras. Aku setengah gila. Akh, tak ada nama yang lebih tepat baginya selain nama Mara." pikirnya

Nama "Mara" dalam bahasa Ibrani adalah lambang kepahitan yang amat dalam. Iya, itulah nama yang paling tepat buatnya, sehingga semua orang tahu bahwa kepahitan ibunya diturunkan kepada anaknya, anak yang tidak inginkannya. Sungguh, jangan sampai ada yang bertanya tentang arti namanya, biar saja hanya ibunya yang tahu.

Kegelisahan terus meliputi Wino, kengerian maut menimpa dia. Ia dirundung takut dan geli, perasaan seram meliputi tubuhnya. Ia berhasrat, sekiranya diberi sayap laksana rajawali, ia akan terbang mencari tempat yang tenang, di mana tak ada kepedihan dan masalah.

"Andaikan itu terjadi aku akan lari sejauh-jauhnya, bermalam di padang Gurun. Menghabiskan airmataku sampai mataku bengkak. Berbaring lalu tertidur pulas dan terlepas dari beban yang kualami ini. Hingga akhirnya aku tersadar. Bangun dari tidur lelapku" tak tertahan airmatanya terus mengairi pipi dan bibirnya.

Wino terhenyak dengan air matanya yang bercucuran. Ia merasakan perutnya yang keram, dan membawa lari tubuhnya ke kamar mandi. Sudah tiga hari ia gangguan pencernaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun