[caption id="attachment_398318" align="aligncenter" width="512" caption="dok.pribadi"][/caption]
Hampir semua perempuan ingin tampil cantik, bahkan beberapa perempuan melakukan operasi plastik untuk tampil cantik, lihat pemilihan Putri Indonesia atau Miss Indonesia, semua tampil cantik dan menawan, tapi tidak bagi perempuan-perempuan keturunan Burma (Myanmar), yang tinggal di Long Neck Karen Village, Chiang Rai, Thailand. Mencapai pemukiman ini dapat melalui Chiang Rai, Provinsi paling utara Thailand, Chiang Rai sebesar 11.879 km.sq, yang merupakan provinsi perbatasan Thailand, Myanmar dan Laos. Jarak tempuh dari Bangkok sekitar 830 km atau 180 km dari Chiang Mai.
Kampung ini sudah ada sejak 20 tahun yang lalu di Thailand dengan lebih dari 200 penduduk, keturunan Burma ini hidup di 5 desa di pegunungan, yang terdiri dari Suku Akha, Iu Mien (Yao), Lahu (Muser), Palong (Beranting besar) dan Kayan (Leher Panjang) yang sering disebut Long Neck Karen.
[caption id="attachment_398314" align="aligncenter" width="300" caption="Long Neck Karen Village (dok.pribadi)"]
CHIANG RAI
Ada 2 cara mencapai Long Neck Karen Village, bila dari Bangkok sebaiknya langsung ke Chiang Rai dengan pesawat sekitar 1,5 jam, atau dari Chiang Mai naik Bus sekitar 3 jam, biaya pesawat dari Bangkok ke Chiang Rai sekitar THB 1,500 ke Chiang Mai sekitar THB 1.000, dengan nilai tukar rupiah THB 1 = IDR 271 saat ini. Setelah itu sebaiknya ikut wisata lokal baik dari Chiang Mai atau Chiang Rai, karena jatuhnya lebih murah daripada ngebolang sendiri, selain itu wisatawan akan diantar juga ke lokasi perbatas Golden Triangle dan mengarungi sungai Mekong. Karena bila jalan sendiri untuk masuk ke Long Neck Karen Village di charge THB 300, juga di Golden Triangle di charge THB 300, bila tidak ikut travel.
Sebagai gambaran wisata dari Chiang Mai ke Long Neck Karen - Golden Triangle sekitar THB 1200, itu sudah termasuk wisata ke White Temple, ke Mae Sae hingga menyebrang ke Laos melalui sungai Mekong plus bufee makan siang, berangkat jam 07.00 pagi dan tiba 09.00 malam di Chiang Mai. Harga ini termasuk murah dibanding booking via online dari Indonesia THB 1.000 tapi masih harus bayar THB 300 ke Long Neck Karen Village dan THB 300 ke Golden Triangle. Tentunya biaya lebih murah apabila wisata dari Chiang Rai, karena dari Chiang Rai sekitar 1 jam ke White Temple atau 2 jam ke Long Neck Karen.
Secara historis Chiang Rai didirikan pada 1262 oleh Raja Mengrai Besar, sebagai menjadi ibukota Kerajaan Lanna dan kemudian ditaklukkan oleh Burma (sekarang Myanmar), namun pada 1876 Chiang Rai menjadi wilayah Thailand. Itu dinyatakan sebagai provinsi pada masa pemerintahan Raja Rama VII pada 1910. Karena secara geografis terletak diujung utara Thailand, maka kota Mae Sae adalah kota terujung utara provinsi ini terpisahkan sungai Mekong dengan negara Myanmar dan Laos, dimana perbatasannya disebut Golden Triangle, dimana dahulu kala sepanjang sungai Mekong adalah kebun ganja.
GIRAFFE WOMEN
[caption id="attachment_398325" align="aligncenter" width="300" caption="dok.pribadi"]
Perempuan-perempuan Long Neck Karen disebut "giraffe woman" mengelitik rasa kemanusian dan kesetaraan gender, bagaimana tidak, sebagai seorang perempuan atau anak dilahirkan sebagai perempuan sejak balita sudah dikalungi cincin melingkari leher dan kakinya yang tidak boleh dilepas, dan dibawa dikehidupan sehari-hari bahkan sampai tidur. Secara otomatias, kaki mereka sangat kecil dan tentunya berjalan sangat lambat, dan dengan leher yang panjang seperti jerapah, akan sulit untuk makan minum dan tidur.
[caption id="attachment_398323" align="aligncenter" width="300" caption="dok pribadi"]
Menurut legenda mereka bahwa cincin kuningan melindungi perempuan-perempuan itu dulunya dari gigitan harimau. Cincin tembaga yang dikenakan di lengan dan kaki mungkin berat sekitar 30 kg, dengan pemberian cincin berulang-ulang dan pada saat tertentu seiring pertumbuhan tubuhnya maka cincin tersebut ditambahkan, sampai pada saat tua cincin itu tidak ditambahkan. Tetapi sebenarnya alasan politisnya adalah untuk menjaga indentitas individu dan kesukuan.
Konon jaman dulu, perempuan-perempuan keturunan Burma ini terkenal dengan kecantikannya dengan kulitnya yang kuning halus dan rambut hitam tergerai, dan pada saat terjadi peperangan antar suku, maka perempuan-perempuan ini selalu diambil atau diculik oleh lawan suku mereka karena kecantikannya untuk dijadikan budak nafsu lawan mereka. Untuk menjaga kelestarian kesukuan mereka, supaya suku itu tidak musnah dan tidak dibawa lari suku yang lain, maka diwajibkan anak perempuan yang labhir disuku itu dikalungi cincin ke leher dan kakinya.
DEVISA HIDUP
[caption id="attachment_398324" align="aligncenter" width="300" caption="dok.pribadi"]
Pemukiman yang masih terpelihara keunikan dan kekunoannya, tetap dipelihara pemerintah Thailand dan menjadi komoditi wisata. Setiap hari ribuan wisatawan manca negara datang ke pemukiman mereka, sudah tentu menjadi devisa hidup bagi negara Thailand, namun pendapatan wisata itu kelihatannya tidak mempengaruhi dengan kehidupan mereka yang bercocok tanam dan penghasil kerajinan tangan. Dengan kata lain pendapatan itu semata untuk keuntungan pemerintahan Thailand, tapi tidak dirasakan suku ini.
Hal ini terlihat tidak adanya fasilitas apapun untuk penduduk setempat dan kehidupan mereka jauh dari hidup sejahterah. Untuk mendapatkan uang, maka para wanita mengerjakan pernak-pernik hiasan kerajinan tangan untuk di jual. Dan sesungguhnya perempuan-perempuan ini sangat cantik dengan kulit putih pipi bersembur merah alami. Para pria hanya beternak dan bercocok tanam dengan alat tani dan ternak seadanya.
KECANTIKAN LUHUR
[caption id="attachment_398319" align="aligncenter" width="300" caption="dok.pribadi"]
Perempuan identik dengan kecantikan dan keindahan, namun relakah perempuan-perempuan di belahan bumi lain mengganti kecantikan mereka dengan keabadian adat istiadat? Menjadi cantik adalah anugerah, namun bila kecantikan itu menjadikan malapetaka, apakah kecantikan itu masih harus terus dipelihara?
Sulit menjadi perempuan yang terpaksa harus terpaku dengan adat istiadat dengan melepaskan keegoan diri sebagai perempuan. Ingat arti kata perempuan yaitu yang diempukan, artinya yang dihormati dan dijunjung tinggi. Bagi perempuan bangsa lain menjadi perempuan keturunan Burma merupakan penderitaan tiada akhir, namun tidak bagi perempuan Long Neck Karen, karena kecantikan mereka tidak lebih penting dari menjaga kelangsungan kehidupan suku mereka dari kepunahan.
[caption id="attachment_398321" align="alignnone" width="640" caption="dok.pribadi"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H