Mohon tunggu...
Robertus Elyakim Lahok Bau
Robertus Elyakim Lahok Bau Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Literasi di Komunitas Secangkir Kopi

Aktif menulis di media masa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Amu Stanis Pejuang Kemanusiaan

21 Juni 2019   10:57 Diperbarui: 21 Juni 2019   11:38 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang mengenal Stanis Besin? Tak banyak orang yang mengenal Stanis di Timor Bagian Barat. Namun tidak dengan umat (masyarakat) Timor Leste. Figur yang satu ini sangat dikenal luas di Negara kecil ini.

Kabar kepergian Stanis 19 Juni 2019 pada usianya ke-81 sontak menimbulkan kehilangan yang mendalam masyarakat Timor Leste. Ucapan duka yang mendalam mengalir deras dari masyarakat di Distrik Bobonaro, Colegio Maliana, Balibo, Atabae,  Uato-Carbau, Uatulari,  Viqueque, Cailaco dan di Culuhun Dili dan sekitarnya. Berita duka ini telah mengingatkan kembali akan pengabdian dan pelayanan tak terkira dari Amu Stanis . (Amu=Pater, Romo, Bapa)

Stanis dikenal ramah, rela membantu siapa saja dan setia melayani sebagai seorang Imam tanpa kenal lelah. Ia tak pernah menolak untuk mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran bagi siapa saja yang membutuhkannya. Ia tidak pernah membedakan siapa yang harus dilayani dan siapa yang tidak. Ia lebih dikenal oleh kelompok masyarakat kecil dan kaum marginal.

Stanislaus Besin lahir pada Tahun 1938 di Atapupu. Stanis masuk Seminari Lalian Tahun 1953. Sesudah tamat dari seminari Lalian Stanis melanjutkan pendidikan menjadi imam di Seminari Tinggi Ledalero. Tanggal 21 Juni 1970, Stanis dithabiskan menjadi imam di Atapupu oleh Mgr. Theodorus Sulama, SVD.

Hampir sebagian besar waktu pelayanannya sebagai Imam dihabiskan di Timor Leste. Walau Ia pernah tercatat sebagai Preses Seminari Lalian (Kepala Sekolah SMA Seminari Lalian Atambua) dan Provinsial SVD Timor (Pemimpin SVD wilayah Timor) dua periode, ia lebih dikenal sebagai Imam orang-orang kecil di Timor Leste. Saya lebih mengenal Stanis sebagai Imam orang-orang kecil. Amu Stanis (Sapaan akrab Umat Timor Leste) merupakan pejuang kemanusiaan Timor Leste.

Belasan Tahun, Amu Stanis menggabdikan diri di Colegio Maliana sebagai guru dan kelapa sekolah SMA Colegio 1990-an. Pusat pendidikan SVD ini jauh dari ibu kota kabupaten Bobonaro waktu itu. Di tengah keheningan alam, Colegio Maliana dalam masa kepemimpinan Amu Stanis telah mendidik siswa-siswa SMP dan SMA hingga melahirkan lulusan-lulusan yang handal. 

Sebagian anak didiknya mengakui Amu Stanis sebagai pendidik yang baik. Ia tampil bak seorang ayah bagi ratusan anak didik yang diasramakan. Teladan hidup merupakan cara yang baik untuk mendidik. Ia dikenal sebagai guru yang  tertib waktu, disiplin dan ulet. 

Ia bukan tipe yang kompromistis terhadap aturan dan selalu konsisten pada aturan yang telah ditetapkan. Anak didiknya kini telah tersebar mengabdi di berbagai penjuru dunia.  

Sebelum Referendum Agustus 1999, Amu Stanis telah ditugaskan di Paroki Balibo. Berkat teladan hidup yang sederhana dan bersahaja, ia gampang diterima di mana saja bertugas. Dalam rutinitas hariannya, Stanis tidak pernah duduk diam di Pastoran (tempat tinggal pastor). 

Ia dikenal sebagai pastor yang selalu mengunjungi umatnya. Tanpa menggunakan sepeda motor atau pun mobil, ia rela menghabiskan waktu dan tenaga dengan berjalan kaki mengunjungi umat di wilayah misinya. 

"Katus Fuk Mutik mai tiona.", demikian sapaan umat melihat ia masuk ke halaman rumah. Setelah menanyakan kabar dan kebutuhan-kebutuhan umat, ia meninggalkan keluarga yang dikunjungi dan berpindah ke tetangga di sebelah. Demikian rutinitas ini dilakukan setiap hari. 

Menjelang referendum situasi di Timor-Tumur saat itu sudah tidak aman lagi. Teror dan intimidasi terhadap masyarakat meningkat. Masyarakat terpecah dengan hadirnya opsi merdeka atau tetap bergabung dengan Indonesia. Pilihan ini sulit bagi seorang gembala umat. 

Ia memilih netral untuk melindungi seluruh umatnya. Stanis yang berusia 61 Tahun tegar menghadapi persoalan yang sedang dialami oleh umatnya. Tidak jarang, banyak yang datang minta perlindungan kepadanya. 

Dia berusaha sedapat mungkin agar, perbedaan opsi politik ini tidak menimbulkan pertumpahan darah.  Amu Stanis tetap setia melayani dan mendampingi umatnya tanpa sedetik pun meninggalkan mereka.

Situasi keamanan sudah tidak kondusif menjelang hari hal pemilihan 29 Agustus 1999. Gelombang pengungsian meningkat. Ribuan orang mulai memilih meninggalkan Timor-Timur sebelum konflik meluas dan meningkat. Teror dan intimidasi terjadi di mana-mana. 

Banyak nyawa mulai terengut di ujung alat tajam. Pasca pencoblosan 29 Agustus sutuasi keamanan sudah tidak terkendali lagi. Penculikan, perampasan, pembakaran dan pembunuhan meluas.  Amu Stanis tak sedetikpun meninggalkan umat gembalaannya. 

Ia mengumpulkan mereka di Gereja dan mengajak mereka untuk segera berpindah ke Timor Barat. "Keluarga besar saya di Atapupu siap menerima dan menampung kita, ayo kita berangkat", Ajak Amu Stanis.   

Sementara itu keluarga Amu Stanis di Atapupu cemas menanti kabarnya. Setiap kendaraan yang lewat terus diperhatikan. Kapal laut yang ikut mengangkut penumpang pun dipantau. Satu hari pasca pemilihan di mana puncak konflik meningkat, tak ada kabar apapun tentang Amu Stanis.

Petang hari setelahnya, sang pemilik rambut uban dengan jalan tegap terlihat dari kejauhan. Ia sedang berjalan kaki mendahului ratusan orang yang berada di belakangnya. Mereka membawa harta benda, makanan, binatang peliharaan  yang masih bisa dibawa ke tempat pengungsian. 

Tak ada lagi alat transportasi yang bisa mengangkut mereka sampai ke tempat pengungsian. Stanis memilih membawa ratusan orang berjalan kaki 30-an kilometer mengungsi ke kampung halamannya di Atapupu.

Amu Stanis datang, menitipkan setiap anggota rombongannya kepada keluarga di Atapupu. "Tolong jaga mereka karena mereka keluarga kita", demikian pesan Amu Stanis kepada keluarga yang dipercayanya untuk menitipkan umat gembalaannya.

 Keesokan harinya ia memilih untuk kembali ke daerah konflik. Tujuannya untuk mencari umat gembalaannya yang belum sempat tertolong. Walau pembakaran, penjarahan dan pembunuhan sedang berlangsung di Timor-Timur, ia tetap berangkat untuk membawa lagi kelompok umatnya yang belum sempat mengungsi ke Timor Barat.

Cerita tentang aksi kesetiaannya menjaga umatnya terus belanjut di tempat pengungsian. Amu Stanis tidak melepaskan mereka begitu saja. Setiap pagi Amu Stanis mengunjungi umatnya di rumah-rumah pengungsian. Ia selalu ingin memastikan mereka sehat walafiat, aman dan terjaga. Yah cerita tentang teror dan intimidasi terjadi pula di tempat pengungsian. Bahkan beberapa orang pun hilang di tempat pengungsian.

Stanis dengan penuh setia mengupayakan makanan dan tempat tinggal sementara bagi mereka. Amu Stanis tetap memperjuangkan kebutuhan dasar mereka serta hak-hak mereka. Hingga masa arus balik pengungsian di Timor Barat ke Timor Leste, Amu Stanis tetap setia mendampingi mereka.

Amu Stanis memilih untuk kembali ke Timor Leste melayani dan mendampingi umatnya setelah Timor Leste merdeka dan dalam masa transisi pembentukan pemerintahan baru. Situasi ekonomi, politik dan pemerintahan belum menentu pada masa itu. 

Makanan di daerah-daerah yang jauh dari Dili belum sepenuhnya terpenuhi. Amu Stanis tidur bersama umatnya dari rumah ke rumah untuk tetap memastikan bahwa mereka aman dan terlindungi. Sejak 1999, Amu Stanis menghabiskan waktu untuk karya pelayanan imamatnya di Timor Leste.

Hingga tahun 2017, ketika staminanya sudah menurun termakan usia, Amu Stanis baru dipindahkan ke biara induk di Nenuk. Kesadaran Amu Stanis menurun dan mulai hilang ingatan. 

Namun ditengah kondisi kesehatan yang kritis, ia masih sempat "melarikan diri" dari rumah jompo dan kembali ke tempat pelayanannya di Timor Leste. Kadang keluarga mencemaskan kondisi kesehatannya, tetapi pilihannya akan tugas panggilan imamatnya mengalahkan segala kerisauan itu.

Inilah bukti kesetiaannya pada tugas pelayanan sebagai imam. Ia telah memilih jalan keberpihakan kepada kemanusiaan. Nyawanya telah dipertaruhkan untuk melindungi umatnya. Stanis Besin, SVD adalah pejuang kemanusiaan oraang-orang kecil. 

Sampai hari ajalnya ia menghabiskan waktu melayani umatnya dengan berjalan kaki. Stanis hanya meninggalkan baju kemeja putih, celana panjang coklat tua dan sendal kulit hitam yang selalu menemani hari-hari masa hidupnya. Yah saya selalu ingat gambaran tentang dirinya dengan tiga simbol kuat yang melakat pada dirinya sepanjang hidupnya (Kemurnian, Ketaatan dan kemiskinan).

*Cerita tentang P. Stanis Besin, SVD disadur dari pengggalan kesaksian-kesaksian umatnya dan juga pengelaman penulis tentangnya pada Referendum 1999. 

**Mohon dikoreksi bila nama tempat atau Tahun tidak sesuai.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun