"Katus Fuk Mutik mai tiona.", demikian sapaan umat melihat ia masuk ke halaman rumah. Setelah menanyakan kabar dan kebutuhan-kebutuhan umat, ia meninggalkan keluarga yang dikunjungi dan berpindah ke tetangga di sebelah. Demikian rutinitas ini dilakukan setiap hari.Â
Menjelang referendum situasi di Timor-Tumur saat itu sudah tidak aman lagi. Teror dan intimidasi terhadap masyarakat meningkat. Masyarakat terpecah dengan hadirnya opsi merdeka atau tetap bergabung dengan Indonesia. Pilihan ini sulit bagi seorang gembala umat.Â
Ia memilih netral untuk melindungi seluruh umatnya. Stanis yang berusia 61 Tahun tegar menghadapi persoalan yang sedang dialami oleh umatnya. Tidak jarang, banyak yang datang minta perlindungan kepadanya.Â
Dia berusaha sedapat mungkin agar, perbedaan opsi politik ini tidak menimbulkan pertumpahan darah. Â Amu Stanis tetap setia melayani dan mendampingi umatnya tanpa sedetik pun meninggalkan mereka.
Situasi keamanan sudah tidak kondusif menjelang hari hal pemilihan 29 Agustus 1999. Gelombang pengungsian meningkat. Ribuan orang mulai memilih meninggalkan Timor-Timur sebelum konflik meluas dan meningkat. Teror dan intimidasi terjadi di mana-mana.Â
Banyak nyawa mulai terengut di ujung alat tajam. Pasca pencoblosan 29 Agustus sutuasi keamanan sudah tidak terkendali lagi. Penculikan, perampasan, pembakaran dan pembunuhan meluas. Â Amu Stanis tak sedetikpun meninggalkan umat gembalaannya.Â
Ia mengumpulkan mereka di Gereja dan mengajak mereka untuk segera berpindah ke Timor Barat. "Keluarga besar saya di Atapupu siap menerima dan menampung kita, ayo kita berangkat", Ajak Amu Stanis. Â Â
Sementara itu keluarga Amu Stanis di Atapupu cemas menanti kabarnya. Setiap kendaraan yang lewat terus diperhatikan. Kapal laut yang ikut mengangkut penumpang pun dipantau. Satu hari pasca pemilihan di mana puncak konflik meningkat, tak ada kabar apapun tentang Amu Stanis.
Petang hari setelahnya, sang pemilik rambut uban dengan jalan tegap terlihat dari kejauhan. Ia sedang berjalan kaki mendahului ratusan orang yang berada di belakangnya. Mereka membawa harta benda, makanan, binatang peliharaan  yang masih bisa dibawa ke tempat pengungsian.Â
Tak ada lagi alat transportasi yang bisa mengangkut mereka sampai ke tempat pengungsian. Stanis memilih membawa ratusan orang berjalan kaki 30-an kilometer mengungsi ke kampung halamannya di Atapupu.
Amu Stanis datang, menitipkan setiap anggota rombongannya kepada keluarga di Atapupu. "Tolong jaga mereka karena mereka keluarga kita", demikian pesan Amu Stanis kepada keluarga yang dipercayanya untuk menitipkan umat gembalaannya.