Lendra memandangi istrinya. Dia tahu istrinya marah dan kesal. Tetapi dia diam saja. Lendra pergi ke kamar, berbaring dan dipejamkannya matanya. Sintia mengikuti langkahnya.
"Mas....," sapa Sintia. Disentuhnya bahu suaminya. Lendra membuka matanya. Ditatapnya wajah istrinya yang masih  penuh tanda tanya.
"Kamu tahu Dek, aku mulai malas meladeni Bang Norman. Sudah sangat sering dia minta dipinjamkan uang. Tetapi sampai saat ini belum sekalipun uang itu dikembalikan. Lama-lama aku jadi gak sanggup. Aku seperti memiliki selingkuhan di luar sana. Sementara kebutuhan kita juga banyak. Belum lagi cicilan rumah dan motor."
Penjelasan Lendra membuat Sintia kaget bukan main.
"Jadi..., selama ini Mas sering meminjamkan uang sama Bang Norman? Kenapa Mas tidak pernah bilang sama aku, Mas?"
"Aku hanya tidak ingin kamu kepikiran masalah ini, Dek. Tetapi lama kelamaan abangmu itu seperti parasit dalam rumah tangga kita." Suara Lendra mulai lembut lagi.
Sintia masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ternyata selama ini abangnya selalu merongrong suaminya, meminta pinjaman uang dan tak pernah dikembalikan. Padahal sejak dia menikah Norman tak pernah datang ke rumah mereka, karena Norman salah paham terhadap Lendra.
"Dek, aku bukannya pelit, tetapi jika aku tetap berbaik hati meminjamkan uang pada Bang Norman, lama-lama aku jadi kewalahan. Dia minjamnya gak sedikit, Dek. Aku bahkan sampai ngutang uang dari temanku untuk memenuhi keinginannya."
Sintia terbelalak mendengar semua itu. Teganya abangnya berbuat seperti itu. Suaminya sejak dulu dipandang tak baik oleh Norman, tetapi dibalik itu semua, dia mencekik iparnya sendiri dengan pinjaman yang tak pernah dikembalikan.
Ada kekecewaan mendalam di wajah Sintia pada abangnya yang keterlaluan dan pada suaminya yang tak pernah cerita masalah itu sejak awal. Selama ini dia menduga suaminya terlalu pelit mengatur belanja rumah tangga. Ternyata di balik itu semua, suaminya sudah memelihara parasit yang mencekik lehernya.
"Sudahlah, Dek. Jangan dirisaukan lagi. Yang jelas sekarang kamu dah tahu bagaimana abangmu, kan?". Sintia mengangguk.