"Memangnya ada apa, sampai Abang mengatai suamiku seperti itu?" tanya Sintia bingung.
"Supaya kau tahu saja, aku gak penting-penting kali sama suamimu itu. Tadi melalui telepon sudah kubilang sama dia untuk meminjamkan uang 10 juta, untuk biaya ponakan kau sekolah. Tahun ini dia akan lulus SMA dan butuh uang lumayan untuk masuk perguruan tinggi. Tapi suamimu pelit dan kurang ajar, tak tahu cara menghormati orang yang lebih tua. Kecewa aku dengan sikapnya."
Sintia menghela nafas panjang, pantas saja suaminya lesu lalu menghilang ke rumah orang tuanya. Ternyata ini penyebabnya. Dan kini dia yang kena getahnya. Sintia diam saja. Tak berminat untuk memperpanjang masalah.
"Karena suamimu tak di rumah, kau pinjamkan saja aku uang yang ada di tanganmu dahulu, kekurangannya biar aku cari lagi, nanti aku kembalikan kalau aku sudah ada uang." Dengan entengnya Norman meminta Sintia untuk meminjamkan uang.
"Maaf bang, aku gak pegang uang. Aku hanya dijatah uang belanja sama Mas Lendra," jawab Sintia dengan nada sedikit takut. Karena dia sangat paham dengan karakter abangnya yang pemarah itu.
"Ahhh... banyak kali alasan kau. Bilang saja kalian memang gak mau membantuku. Asal kau ingat, kalau bukan aku yang dulu berjuang untuk keluarga kita, kau gak akan bisa sekolah. Sekarang mentang-mentang dah hidup enak, kau lupakan saja jasaku."
"Bukan begitu Bang..., aku memang..." kalimat Sintia menggantung karena dipotong oleh Norman.
"Sudahlah!!!"
Bergegas Norman berdiri dan langsung pergi tanpa mengucap salam, karena merasa Sintia dan suaminya tidak bersedia membantu. Amarah sudah menguasai dirinya.
***
"Kenapa Mas tidak cerita kalau Bang Norman menelpon mas tadi?" tanya Sintia kepada Lendra yang baru saja pulang dari rumah ibunya.