Mohon tunggu...
ELPIDA YANTI
ELPIDA YANTI Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menulis adalah salah satu cara mengungkapkan isi hati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arti Diriku bagi Dirimu

25 Februari 2023   14:36 Diperbarui: 25 Februari 2023   14:43 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gawaiku kembali berbunyi. Ada pesan whatsapp yang masuk. Aku membacanya dan seketika raut wajahku berubah. Betapa tidak, pesan yang dikirim oleh adik suamiku itu begitu menyakitkan. Aku geram dibuatnya. Jika saja dia ada di depanku mungkin sudah ku remas mulutnya yang bau comberan itu.

"Heh, kenapa kamu yang sewot saat Bang Adi membantu Kak Fira?!" Begitu bunyi pesan itu.

Seketika aku emosi dan tak mau hanya diam saja, karena bagiku suamiku adalah hakku dan aku tak habis pikir kenapa keluarganya begitu. Aku sudah menduga apa yang mereka permasalahkan. Ini pasti pengaduan si Fira istri kakaknya Bang Adi. 

"Wajar kan jika aku sewot, karena bang Adi itu suamiku. Si Fira itu kan bukan manusia bodoh, kenapa harus selalu mengganggu suamiku untuk urusan pengiriman uang belanjanya. Si Fira kan bisa buat rekening sendiri!" balasku ketus.

"Kamu sadar diri dong, bagaimana kamu akan diterima di keluarga kami kalau kamu tidak bisa menerima bahwa Bang Adi punya tanggung jawab kepada kami, baik moril maupun materil." Dia mengirimkan lagi pesan itu. 

Aku semakin marah membacanya. Aku bukannya tak memperbolehkan bang Adi membantu keluarganya, tetapi apa aku akan diam saja jika permintaan mereka sudah mulai tak wajar? Bahkan mereka tidak memandang aku sebagai istrinya bang Adi. Aku hempaskan gawaiku dan kupejamkan mata. Percuma membalas perkataan mereka, hanya merusak suasana hati saja. 


Awalnya aku menanggapi biasa saja saat istri kakak suamiku meminta bantuannya untuk mengambilkan uang di ATM karena katanya, uang belanja kebutuhan keluarganya dikirimkan Bang Ihsan lewat rekening Bang Adi, suamiku. Tetapi lama-kelamaan aku jadi makin berfikir, kenapa harus ke rekening Bang Adi? Kan di jaman sekarang siapapun bisa buka rekening dan ambil uang di ATM yang banyak tersebar di mana saja. Yang lebih tidak megenakkan lagi adalah dia seolah tidak ingat waktu meminta bantuan suamiku. Seolah-olah suamiku ini punya istri dua. Gak lucu kan. 

Gak peduli malam atau tengah malam, dia tak pernah merasa segan untuk menelpon suamiku. Terkadang saat hujanpun suamiku tetap memenuhi panggilannya. Sementara aku dan anakku entah dianggap apa, ditinggal begitu saja. Makanya aku komplain kepada suamiku dan Fira, tetapi malah si Fira itu mengadu kepada keluarga mertuaku. Aku yang memang kurang akur dengan keluarga suamiku semakin dibenci oleh mereka. Entah apa dasarnya. 

"Yul, kamu jangan egois. Adi itu perlu membantu kakaknya yang bekerja di luar kota. Dan kamu tidak berhak untuk melarang. Adi punya tanggung jawab juga kepada keponakannya, ngerti!!!" Pesan whatsapp itu dikirim mertuaku semalam. 

Deg! Nafasku terasa sesak.Dadaku seperti dihimpit batu besar. Begitu rupa mertuaku membela menantunya yang lain, sementara aku apa? Apa aku bukan menantunya juga? Terus kenapa aku seperti tak dianggap? Aku bukannya tidak mendekatkan diri kepada mertua dan iparku. Dulu hubungan kami terasa mesra, tetapi entahlah apa yang yang terjadi, tiba-tiba saja mereka berbalik arah dan menyerangku. 

Kalaupun aku datang ke rumah mertua dan bertemu dengan semua anggota keluarga besar suamiku, tetap saja aku tak dianggap. Aku tersisih. Mereka ketawa-ketawa bercengkrama dan aku dibiarkan sendiri. Tak ada yang bertanya apapun kepadaku, aku dianggap tak ada. Apa aku bisa bersikap biasa saja dengan hal itu? Ya tidaklah. Aku bisa merasakan mereka menjauhiku. Dan sampai saat ini aku tak tahu apa alasannya. 

"Kamu tidak bisa membatasi antara kami dan suamimu. Dia anakku dan mereka kakak beradik. Posisi kamu hanya menantu di keluarga ini." Masuk lagi pesan whatsapp dari mertuaku. 

Hatiku terasa sangat pedih. Rasanya aku tak pernah membatasi suamiku dan keluarganya. Bahkan aku yang selalu mengingatkan suamiku jika dia tak kunjung pergi ke rumah orang tuanya. Tetapi mereka tetap saja salah paham. Tanpa kusadari air mataku akhirnya mengalir juga. Begitu burukkah penilaian mereka kepadaku? Tidakkah aku punya posisi yang sama dengan yang lain?

"Maafkan Yul, Ma. Tak pernah terniat untuk membatasi hubungan antara Mama atau keluarga Mama dan Bang Adi. Yul hanya tidak enak saja, saat malam  hari pun Kak Fira tetap nelpon Bang Adi dan meminta datang segera ke rumahnya, karena butuh uang kiriman Bang Ihsan. Kan Kak Fira bisa buka rekening sendiri, toh ATM banyak tersebar di berbagai tempat." Akhirnya ku balas juga pesan mertuaku, yang tetap saja menyalahkan aku. 

"Dasar menantu kurang ajar kau, ya? Kau keterlaluan Yul. Ingat ya, kau hanya menantu!!" 

Balasan mama mertuaku itu membuatku semakin tak enak hati. Akhirnya ku telpon suamiku yang masih berada di tempat kerjanya. Kukirimkan semua pesan whatsapp yang dikirim adik dan mamanya. Aku mulai muak dengan semua ini. 

"Sepertinya, mama dan saudara-saudaramu tak lagi menganggap aku bagian dari keluarga, Bang. Aku sudah dianggap musuh. Mereka mengeroyok aku dengan pesan tak bersahabat." 

"Ah..., jangan semua dianggap masalah. Kamu bisa gak ya untuk tidak sensitif. Biarkan saja, nanti juga baik sendiri," jawab suamiku diseberang sana. 

"Jadi, menurutmu aku sebaiknya diam saja? Meskipun aku disakiti dan dikeroyok," nadaku mulai tinggi.

"Nanti kita bicara lagi, ya. Aku lagi sibuk kerja nih. Serahkan semua padaku, biar aku yang urus. Pokoknya kamu tenang saja," jawab suamiku lagi dengan nada lembut, mungkin karena aku sudah mulai emosi.

Ku hempaskan diriku ke atas kasur. Untung anakku lagi tidur, sehingga aku bisa lebih rileks. Kupejamkan mata, bayangan mertua dan anak-anaknya mengeroyok pikiranku. 'Setan!' Batinku. Bahkan dalam pikiranku pun mereka masih tetap tak membiarkan ku sendiri. 

Pulang kerja sore itu, suamiku agak telat sampai rumah. Wajahnya kusut. Melihat itu akupun tak berani untuk menegurnya. Ku cium tangannya dan kuambil barang bawaannya. Aku menduga-duga, barangkali telponku siang tadi membuat dia tertekan. Ku suguhkan kopi dan sepiring gorengan kesukaannya. Biasanya dia akan melahap itu sampai habis. Tapi kini disentuhpun tidak. Hanya kopi saja yang diminumnya sampai habis. 

Setelah dia selesai makan malam dan memegang gawai kesayangannya, aku hampiri suamiku dan kubahas kembali masalah pesan mertua dan adiknya. Dia diam. Aku semakin tak puas dengan diamnya. 

"Jika Abang tidak bisa berdiri dipihakku untuk membela, sepertinya sia-sia aku menjadiknmu suamiku, Bang. Mungkin lebih baik kami ditinggal sendiri, agar tak ada beban dihatiku." 

Suaraku bergetar mengutarakannya. Aku tidak siap kehilangan suamiku, tetapi aku juha tak sanggup jika keluarganya terus menekanku dan dia tak berbuat apa-apa. Aku pasrah dengan keputusannya. Walau terasa sakit, tapi aku tidak mau berada dalam masalah yang tak menentu ini. 

"Kamu jangan bilang begitu dong, kita punya anak. Dia yang akan menjadi korban keegoisan kita. Jangan korbankan dia." Suamiku menjawab dengan nada sendu. "Aku juga serba salah dalam posisi ini, mana yang akan aku bela, disatu sisi mamaku adalah orang yang takkan bisa kuabaikan,....."

"Lalu kami bisa saja diabaikan, tak perlukah kamu membela aku sedikit saja, Bang. Apa aku ini pantas diperlakukan begini? Kau anggap apa aku ini, Bang? Apa arti diriku bagimu, Bang!" Ku potong langsung kata-katanya. Dadaku mendidih rasanya. Seolah kami ini tak ada nilainya bagi dia. Air hangat mulai mengalir di pipiku. Aku tak mampu lagi menahan tangis. 

Dia mendekatiku dan merengkuhku dalam dekapannya. Kucoba meronta, tetapi tenagaku kalah kuat darinya. Akhirnya aku mengalah dan membiarkan dia memelukku erat. Lama sekali kami dalam posisi itu. Sampai suara anak kami yang masih bayi menyadarkan kami. Ternyata anakku haus, segera ku susui dia. Kucoba untuk menahan air mata. Sungguh hatiku sangat gundah.

"Yul, jangan salah paham sama abang, abang tidak mau meninggalkan kalian. Abang sangat menyayangi kalian. Tak ada niat untuk melepaskan kalian dari tanggung jawab," Bang Adi mencoba untuk menghiburku. "Ya, sudah. Mulai besok aku tidak akan ke rumah mama lagi dan akan ku abaikan saja permintaannya. Biarkanlah mereka mengurus kepenetingannya masing-masing. Abang hanya akan mengurus kalian saja," lanjutnya.

"Aku bukannya melarang abang untuk mampir ke rumah mama atau membantu mama, Bang. Ababng tak boleh menjauhi keluarga abang.  Aku hanya keberatan jika untuk hal remeh saja harus abang juga yang urus. Contohnya, masalah kiriman Bang Ihsan. Kan kak Fira bisa membuat rekening sendiri dan pegang ATM sendiri. Gak susah kok. Kenapa harus abang? Gak tahu waktu lagi, mau hujan atau waltu malam dia gak pernah peduli, selalu membebani abang. Aku hanya ingin abang tegas, itu saja kok. Ada yang memang harus abang urus dan ada yang harus abang abaikan."

Mulutku seakan tak bisa berhenti bicara. Penuh sudah hatiku, sesak dadaku karena aku seperti tak punya suami. Aku hanya ingin semua orang mengerti bahwa tak semua hal harus merepotkan suamiku karena kami juga butuh dia. Dan aku hanya ingin suamiku mengambil sikap agar bisa memilah mana yang harus dibantu dan mana yang bisa diabaikan. 

"Ok, aang akan sampaikan semua mau mu sama mama dan saudara abang. Kamu jangan pernah lagi minta pisah, abang tak sanggup," jawabnya tegas. Itu yang aku butuhkan. 

Kembali suamiku memelukku, memberikan rasa tenang dalam hatiku. Aku ingin kembali percaya bahwa aku bisa mengharapkan suamiku sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun