"Kamu tidak bisa membatasi antara kami dan suamimu. Dia anakku dan mereka kakak beradik. Posisi kamu hanya menantu di keluarga ini." Masuk lagi pesan whatsapp dari mertuaku.Â
Hatiku terasa sangat pedih. Rasanya aku tak pernah membatasi suamiku dan keluarganya. Bahkan aku yang selalu mengingatkan suamiku jika dia tak kunjung pergi ke rumah orang tuanya. Tetapi mereka tetap saja salah paham. Tanpa kusadari air mataku akhirnya mengalir juga. Begitu burukkah penilaian mereka kepadaku? Tidakkah aku punya posisi yang sama dengan yang lain?
"Maafkan Yul, Ma. Tak pernah terniat untuk membatasi hubungan antara Mama atau keluarga Mama dan Bang Adi. Yul hanya tidak enak saja, saat malam  hari pun Kak Fira tetap nelpon Bang Adi dan meminta datang segera ke rumahnya, karena butuh uang kiriman Bang Ihsan. Kan Kak Fira bisa buka rekening sendiri, toh ATM banyak tersebar di berbagai tempat." Akhirnya ku balas juga pesan mertuaku, yang tetap saja menyalahkan aku.Â
"Dasar menantu kurang ajar kau, ya? Kau keterlaluan Yul. Ingat ya, kau hanya menantu!!"Â
Balasan mama mertuaku itu membuatku semakin tak enak hati. Akhirnya ku telpon suamiku yang masih berada di tempat kerjanya. Kukirimkan semua pesan whatsapp yang dikirim adik dan mamanya. Aku mulai muak dengan semua ini.Â
"Sepertinya, mama dan saudara-saudaramu tak lagi menganggap aku bagian dari keluarga, Bang. Aku sudah dianggap musuh. Mereka mengeroyok aku dengan pesan tak bersahabat."Â
"Ah..., jangan semua dianggap masalah. Kamu bisa gak ya untuk tidak sensitif. Biarkan saja, nanti juga baik sendiri," jawab suamiku diseberang sana.Â
"Jadi, menurutmu aku sebaiknya diam saja? Meskipun aku disakiti dan dikeroyok," nadaku mulai tinggi.
"Nanti kita bicara lagi, ya. Aku lagi sibuk kerja nih. Serahkan semua padaku, biar aku yang urus. Pokoknya kamu tenang saja," jawab suamiku lagi dengan nada lembut, mungkin karena aku sudah mulai emosi.
Ku hempaskan diriku ke atas kasur. Untung anakku lagi tidur, sehingga aku bisa lebih rileks. Kupejamkan mata, bayangan mertua dan anak-anaknya mengeroyok pikiranku. 'Setan!' Batinku. Bahkan dalam pikiranku pun mereka masih tetap tak membiarkan ku sendiri.Â
Pulang kerja sore itu, suamiku agak telat sampai rumah. Wajahnya kusut. Melihat itu akupun tak berani untuk menegurnya. Ku cium tangannya dan kuambil barang bawaannya. Aku menduga-duga, barangkali telponku siang tadi membuat dia tertekan. Ku suguhkan kopi dan sepiring gorengan kesukaannya. Biasanya dia akan melahap itu sampai habis. Tapi kini disentuhpun tidak. Hanya kopi saja yang diminumnya sampai habis.Â