Mohon tunggu...
Elfish Angelic
Elfish Angelic Mohon Tunggu... Supir - Suka baca yang tidak terbaca

Mari berbagi...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bibi Bertangan Satu

29 Desember 2012   13:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:51 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bibi hanya memiliki satu tangan. Anak semata wayangnya benci dia. Dia tampak seolah sangat memalukan. Dia memunguti bulir padi dan buah sawit yang rontok untuk mempertahankan kehidupan mereka.

Ada satu hari ketika di sekolah menegah pertama di mana bibi datang untuk mengambil buku rapor. Sepupuku sangat malu.

Bagaimana dia bisa melakukan ini pada anaknya? Sepupuku mengabaikannya, melemparkan tatapan penuh kebencian dan berlari keluar. Keesokan harinya di sekolah salah satu teman sekelasnya berkata, "Ihhh, ibumu hanya punya satu tangan!". Sepupuku berdalih, "Itu nenek saya..."

Sepupuku tampak ingin mengubur diri. Seolah juga ingin bibi menghilang begitu saja. Sepupuku mengatakannya terus terang padanya setelah sampai di rumah, "Jika kau hanya akan membuatku jadi bahan tertawaan, kenapa kau tidak mati saja?"

Bibi tidak menanggapi ... Aku bahkan tidak berhenti untuk berpikir sejenak tentang apa yang sepupuku katakan, termasuk teriakannya yang penuh kemarahan. Sepupuku tidak menyadari perasaan ibunya.

Sepupuku keluar dari rumah itu, tidak berhubungan dengan bibi. Jadi dia belajar keras, sangat keras untuk mendapat kesempatan pergi ke kota untuk belajar dan bekerja.

Lalu, sepupuku menikah. Membeli rumahnya sendiri. Kemudian punya anak-anak sendiri. Serasa senang dengan hidupnya, anak-anaknya, dan kenyamanan yang ia dambakan. Hingga suatu hari, bibi saya datang untuk mengunjungi anaknya itu. Dia sudah lama sekali tidak melihat sepupuku itu, berbilang tahun dan ia bahkan tidak pernah tahu atau bertemu cucu-cucunya.

Ketika bibi berdiri di depan pintu, anak-anak sepupuku tertawa padanya, dan sepupuku berteriak padanya karena datang tanpa diundang. "Berani-beraninya kamu datang ke rumah saya dan menakut-nakuti anak-anakku!"..." KELUAR DARI SINI! SEKARANG! "

Dan untuk ini, Bibi hanya menjawab, "Oh, maaf, aku tidak bermaksud.... Aku mungkin mendatangi alamat yang salah," dan dia menghilang segera dari pandangan mereka.

Suatu hari lainnya, ada undangan reuni sekolah datang ke rumahku untuk sepupuku itu.

Sepertinya sepupuku berbohong pada istrinya bahwa dia akan betugas keluar kota. Setelah reuni, diam diam sepupuku pergi ke gubuk tua ibunya hanya karena penasaran.

Para tetangga kami mennyampaikan bahwa bibi sudah meninggal. Aku tidak ditempat ketika itu dan tetangga memberitahu bahwa sepupuku tidak menitikkan setetes air matapun.

Aku bertemu dengannya kemudian, di rumah kami, dan memberitahu bahwa bibi meninggal di bawah pohon kelapa sawit. Karung sawitnya penuh dan sepertinya bibi sedang beristirahat karena kelelahan. Hujan datang kemudian dan bibi kedinginan dan tak mampu untuk kembali sampai kami menemukannya.
Aku menyodorkan surat yang dia ingin aku sampaikan untuk sepupuku itu.

-------

"Anakku,

Aku selalu memikirkanmu sepanjang waktu. Aku minta maaf telah datang ke rumahmu hari itu dan membuat takut anak-anakmu.

Aku berharap kau datang suatu hari kelak dan menjengukku, tapi mungkin hari itu sudah terlalu lelah bagiku untuk sekedar menjabat tanganmu. Aku minta maaf bahwa keadaanku yang selalu membuatmu malu sepanjang masa kanak-kanakmu hingga sekarang kau telah tumbuh dewasa.

Aku bangga padamu, karena ketika itu kau selamat dari kecelakaan meskipun aku harus kehilangan tanganku dibawah roda mobil itu. Aku bangga melihatmu mampu memeluk dunia dengan tangan yang sempurna walaupun aku tidak akan pernah lagi memelukmu dengan kedua tanganku..

Peluklah dunia untukku, peluklah anak-anakmu dengan hangat, sesuatu yang tak penah kulakukan padamu dan sangat ingin kulakukan sejak saat itu hingga kini....

Salam hangat,

Ibumu. "

Inspired by: Mother's Eye

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun