Aku masih menatap keluar. Terlihat mendung di sore hari ini dan jalanan yang cukup ramai dipenuhi kendaraan lalu-lalang. Espresso yang masih hangat dan belum tersentuh, mengepul uap berterbangan di udara. Hari ini tepat hari ke 677 aku menantinya.
Menanti laki-laki yang mengusirku dari kehidupannya. Terlihat bodoh memang aku menunggu sesuatu yang tidak pasti. Entah takdir akan membawaku kemana. Namun apa daya, cinta tetaplah cinta. Terlalu mencintai, menggantungkan mimpi lalu di buang begitu saja. Tak apa, aku masih percaya ‘Jodoh tidak akan tertukar‘. Entah dia telah bahagia dengan wanita lain, sudah melamar wanita lain atau masih bahagia dengan kesendiriannya. Aku masih bertahan untuknya. Tidak, di cafe ini aku tidak sedang menunggunya. Aku menunggu ke dua sahabatku yang beberapa bulan ini hilang entah kemana. Entah di telan malam atau sedang bermain di Narnia.
Bukan, sahabatku bukan Aslan si singa besar ataupun tuan Tumnus manusia setengah kambing. Mereka lebih dari itu!. Tentunya lebih gila dan lebih ganas. Kita bersahabat sudah sejak lama, sejak di bangku SD. Mari ku kenalkan, si cerdas dan doyan buku sepertiku, namanya Alia. Dia yang paling sering menemaniku, terutama saat galau. Dulu dia ingin sekali menjadi dokter sekaligus penghayal hebat, yang tak ingin tumbuh dari masa kanak-kanaknya. Dan satu lagi inilah si ceria dari gua batu. ‘Hahahah’ Namanya Ata, dia adalah penyemangatku dan Alia. Satu-satunya manusia di hidupku yang bisa tertawa membuatku tertawa dalam tangis. Dia bukan penghayal yang baik dan gampang bosan baca buku. Dia berbeda dan aku sangat menyayanginya. Oh ya, dia suka irit makanan kalau Aku dan Alia main ke rumahnya. Tapi, Ata tetaplah Ata dia tak tega melihat kami kelaparan.
Dan ujung-ujungnya dia dengan tega berkata “Bayar! Liat banyak banget! Rugi tau.”.
Tak henti-hentinya aku melihat jam di tangan. Sesekali aku menelfon mereka tapi tetap saja, dua orang yang sejiwa namun beda rupa. Belum sempat bicara, sudah terdengar suara di telfon menyambar “Sabar! Macet. Dahhh… tutt…tuttt…” telfon tiba-tiba mati.
30 menit berlalu, akhirnya satu manusia aneh itu datang. Dengan ceria menghampiriku dan memberi pelukan erat.
“Fara!!!! I miss you so much, very much. Astaga rambutmu sudah panjang lagi ternyata.”
“Ya Ampun Ata! Lama banget sih! Tau njamur gak?.”
“Sorry, deh… Tadi ada kelas, sepulang kelas langsung tancap gas nemui kamu. Alia mana?”
“Dia lagi berenang.”
“Seriusan deh!.”
“Belum dateng, Hah… Dasar calon dokter satu ini. Sibuk banget. Paling sebentar lagi.”
“Okey, okey… Ini kamu traktir kan?”
“Kebiasaan. But OKE DEH! buat kamu apa sih yang engga.”
“Mas mas!” dengan semangatnya Ata memanggil pelayan yang terlihat sedang nge gosip di dekat meja kasir.
Pelayan itu segera menghampiri meja kita berdua. Dengan sigap membawa menu dan nampan ditambah senyum iklan pasta gigi.
“Silahkan.” ucapnya ramah.
“Strawberry Banana Juice satu.”
“Ada lagi?”
“Tinggal saja menunya disini mas. Kita masih nunggu satu orang lagi.”
Pelayan itu kembali dengan membawa satu menu pesanan.
Tak lama orang yang kita tunggu telah datang. Alia.
“Hai! Cinta-cintaku pada kangen ya! Hahahah.” Alia mencubit pipi kita berdua.
“Eh siapa sih dia?” Ata mulai berakting, akupun berinisiatif mengikuti gelagaknya seperti pura-pura tak kenal.
“Sapa ya mbak? salah orang kali.”
Wajah Alia terlihat gugup, pipinya merah seketika.
“Engg… Salah orang ya. Sorry.”
“Gila! ya engga lah.” kamipun memeluk Alia dengan semangat yang membara, bahkan hampir membuatnya tak bernafas.
“Aaaaaa… Apakabar kalian. Aku kangen pake banget!.”
“Seperti biasa. Hahahah… Gimana bu dokter sudah punya pacar kah?.” tanyaku.
“Umm… belum rasanya, but its oke. aku mau fokus dulu. Gimana kamu ta? udah jadian belum sama itu…?”
“Ah Ata punya gebetan? Sialan! kenapa ga cerita? Ajak kumpul sini gih.” teriakku histeris.
“Ussshh, engga kok. Alia aja tuh suka gosip!.”
“Oke… Aku mau bicara serius.” tampang wajah Alia berubah serius, seperti ingin menerkam kita berdua.
“Apaan sih!” Ata menyenggol Alia.
“Aku laper! ini dibayarin sapa? ha siapa?” tiba-tiba wajah calon dokter itu kembali beringas, seperti kuda nil kelaparan. Oh ya, walaupun makannya banyak, Alia gapernah terlihat gemuk dengan timbunan lemak di badan ataupun di wajahnya.
“Ata dong!” ucapku Bersemangat.
“Jelas enggak dong!” Ata mengangkat kedua tangannya seperti tahanan.
“Hahaha, oke… Hari ini kita di bayarin Fara. Mas!” Alia mengangkat satu tangannya untuk memberi tanda pada pelayan di meja sebrang
Pelayan itu datang kembali mengunjungi meja kita.
“Iya mbak? Mau pesan apa?”
“Um…” Alia dan Ata mengamati menu dengan seksama.
“Saya Blend choco cookies cream sama roti bakar coklat satu.” ucap Alia pada pelayan itu.
“Kalau saya… makanannya Double cheese burger, mayonise nya tambahin ya mas!”
“Saya… Chicken cordon bleu satu.”
“Siap, ada lagi nona-nona?”
“Gapake lama ya mas!”
Pelayan itu kembali dengan membawa rentetan menu yang kita pesan. Aku kembali terfokus akan dua sahabatku yang amat kurindukan kehadirannya.
“Bagaimana kamu Far?” tanya Alia hati-hati.
“Apanya bagaimana?”
Alia menatap Ata, lalu kembali lagi menatapku.
“Bagaimana dengan mas Fisha?.” ucap Ata.
Seakan sesak itu kembali datang. Ya orang yang ku tunggu, namanya Fisha. Aku berusaha tenang menghadapi pertanyaan itu.
“Oh itu… Masih menunggu.” kataku sambil menatap ke langit-langit yang mulai kelabu dengan menitihkan rintikan air kiriman tuhan dengan merdunya.
“Hampir dua tahun.”
Aku mengangguk dan menyeruput espresso yang sudah dingin.
“Far, kamu gak kesiksa apa?”
“Kalau sudah sayang? bagaimana?.” jawabku tenang.
“Ya… iyasih. Tapi, kamu nunggu tanpa ada kepastian. Entah berakhir dimana, kamu juga gak tau. Ini realita sayangku. Open your eyes.” ucap Alia gemas saat ia masih mengetahui aku menunggu Fisha.
“Sudah. Aku sudah buka mata buktinya aku melek liat kalian.”
“Iya tuh Al, dia udah melek kok.”
“Ishh… Ata!.”
“Tapi, memang ada benernya sih Far kata si Alia. Belum tentu juga kan dia disana nunggu kamu?. Yah seburuk-buruknya dia sekarang udah nikah plus udah punya anak satu.” kata Ata yang mulai nyerocos dan ngelantur gajelas. Dan saat ini baru aku sadari, Ata punya hayalan yang tinggi melebihi J.K Rowlling.
“Hus! yah… apapun yang terjadi aku memang harus siap ambil resiko. Yah… paling engga kalau dia sudah sama yang lain. Undangannya pasti udah sampai rumah dan kabar-kabar pasti udah berterbangan di telingaku. nope.” aku mengangkat bahu.
“Pesanan datang. Silahkan menikmati, jika ada komplain atau protes silahkan panggil saya. Terimakasih.” kata pelayan itu sambil menunjuk bross nama yang ada di dada sebelah kirinya ‘Deva’.
“Oh oke mas Deva. Kalau ada komplain kita pasti ngomong kok, dan kalau saya komplain uang harus kembali ya.” sahut Ata sambil mengaduk jusnya.
Pelayan itu tak menghiraiukan dan kembali ke alamnya.
“Oke kawan-kawanku yang beringas. Kita kembali lagi. So… Fara, sampai kapan kamu mau nunggu?” Alia kembali meredakan
“Semampuku.”
“Gila kali ya ini anak. Kadar kewarasannya udah menurun, kenapa ga sama yang lain aja sih Far.”
“No… no… Fara masih waras. Kalau gak waras, obat nyamuk udah aku minum waktu dia minta pergi. Okey!”
“Oke kita bahas yang lain. Gimana kuliahmu ta, far? lancar?”
“Not sure. But aku gasabar cepet lulus, lagi kebut biar cepet skripsi nih. Hahahah.” kataku dengan semangat yang membara.
“Iya dong! Aku juga tiap hari kerja rodi. Bolak-balik kampus, tidur tiga jam, gak makan seminggu, gak keramas sebulan, gak mandi…” dengan semangat yang lebih membara Ata ngelantur dengan hebatnya.
“Ush… Shut up. Serius nih ta!” Alia memakan roti bakar di piringnya dengan jiwa yang terbakan pula.
“Iya deh! emosi banget sih bu dokter. Gimana nih anak Desain, akhirnya terwujud juga mimpimu Far. Sini aku peluk!” tangannya meraih bahuku yang ada dihadapannya.
“Uuh, thank you Ata. Iya, makasih ya buat dukungan kalian selama ini. Patah hati nggak harus terpuruk kan? love you lah!.”
“Ahhhh Love you too Fara. Eh eh, kalian inget gak do’a kita? Do’a tiga serangkai di rumah aku?.”
“Ahahahah iya! inget inget. Gila ya itu, waktu lagi liburan kenaikan SMP gak sih? Hahaha.”
“Aku masih simpen loh!.”
“Mana Al mau dengerin dong!.”
“Yeee… ga disini juga kali Far!.”
“Aku jadi inget juga Far, waktu kamu masih sama mas Fisha, umur 14 tahun. kamu bilang ’8 tahun dari sekarang.’ hahahah. Waktu umurmu yang ke 22 nanti jadi dilamar gak ya.”
Aku hanya bisa tersenyum. Menahan getir sambil menari dalam indahnya harapan yang harusnya tiada namun masih aku hidupkan.
“Iya. Seharusnya. Haha, kan masih kecil. Rencana tuhan siapa yang tau sih.”
“Hahah aku juga inget nih sama si Ata. Waktu dia sama si… Dimas.”
“Heh!. Kamu juga pernah suka aja!” sontak Ata langsung menggebrak meja kita.
“Ih enggak!.”
“Hahahaha…” tawaku sambil memotong bagian Chicken cordon bleu yang hampir ludes.
“Aku kangen kita dulu.”
“Sama, aku juga. Ga kerasa ya kita udah gede begini.”
“Iya ta, al. Kangen banget. Oh ya oh ya aku punya kejutan buat kalian.”
“Apaan far?” tanya mereka penasaran.
Perlahan aku mengeluarkan laptop dari tas yang ada di sampingku. Dengan teliti aku memilah folder-folder yang tertata rapi di bagian documen. yap, folder “3SERANGKAI”.
“Taraaaaa.” kejutku melebihi badut pesta. Bukan, aku bukan badut panggilan.
Langsung disahutnya laptop kesayanganku itu.
“Dasar. Gilak! Ah! Wow! Amazing! Amazing! Subhanallah!.” Alia mulai histeris dan kehilangan kontrol
“Omaigot! Astungkara! Om swastiastu! Yaampun! Wow! Keren! Aahh! Love you far.”
“Dasar anak desain! masih sempet-sempetnya bikin beginian.” ucap Ata yang masih histeris dengan gambar ilustrasi dan video singkat yanh kubuat.
“Ih apaan sih! norak deh!. But thank you ya. Love you too!”
Tak terasa senja telah menemui persinggahannya. Hari mulai redup dengan langit abu-abu kemerahan bekas sihir hujan. Dan kamipun harus berpisah hari ini. Banyak urusan dan keperluan masing-masing yang harus diselesaikan. Canda, tawa mereka yang selalu ku rindukan di sepanjang perjalanan hidupku yang hampir hilang arah entah kemana karena sosok laki-laki yang masih ku harapkan kehadirannya. Mereka adalah obat penenangku selain dia… Fisha. Dia mampu menjadi obatku kelak atau menjadi racun yang telah menjalar yang siap membunuhku.
“Yah… Al, far kayanya disini dulu deh pertemuan kita. Aku pasti kangen kalian. Kangen kita kumpul gini lagi.” Ata dengan berat hati pun mengucapkannya.
“Padahal masih kangen sama kalian! Ah, kenapa sesingkat ini. Kalau ada waktu kita ketemu lagi ya.” Alia mulai memasang wajah sedih.
“Ya… Kita harus selesaikan tanggung jawab kita. Kejar mimpi kita. Aku sebenernya berat mau pisah lagi. Ahhh, sini peluk.!”
Akupun beranjak dari tempat dudukku, meraih dan mendaratkan pelukanku kepada kedua sahabatku. Air mata dengan tak sadar pun menetes dari mata kita bertiga.
“Jangan nangis dong.” ucap Ata mengusap pipiku dan pipi Alia.
“Fara, yang kuat ya. Aku ada kok. kamu hubungi aku aja.” kata Alia sambil memelukku sekali lagi.
“Iya Alia, pasti. Aku baik-baik saja. Dan harus kembali pada realita.”
“Kebersamaan kita selalu aku rindukan. Give me hug 3s! Sampai ketemu!.”
Dengan berat hati, kita harus berpisah di penghujung senja. Hari ke 677 yang singkat. Setidaknya kerinduan akan sahabat-sahabatku bisa terobati. Dan setelah ini, aku harus kembali pada realita. Bukan anak kecil lagi, bukan remaja lagi yang ingin menjajal ini itu untuk mencari jati diri. Tapi, sosok perempuan dengan jiwa yang baru untuk menghadapi hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H