Mohon tunggu...
Elfish Angelic
Elfish Angelic Mohon Tunggu... Supir - Suka baca yang tidak terbaca

Mari berbagi...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

111 Hari Menunggu Pulangmu

28 Maret 2014   00:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:22 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mengangguk dan menyeruput espresso yang sudah dingin.
“Far, kamu gak kesiksa apa?”
“Kalau sudah sayang? bagaimana?.” jawabku tenang.
“Ya… iyasih. Tapi, kamu nunggu tanpa ada kepastian. Entah berakhir dimana, kamu juga gak tau. Ini realita sayangku. Open your eyes.” ucap Alia gemas saat ia masih mengetahui aku menunggu Fisha.
“Sudah. Aku sudah buka mata buktinya aku melek liat kalian.”
“Iya tuh Al, dia udah melek kok.”
“Ishh… Ata!.”
“Tapi, memang ada benernya sih Far kata si Alia. Belum tentu juga kan dia disana nunggu kamu?. Yah seburuk-buruknya dia sekarang udah nikah plus udah punya anak satu.” kata Ata yang mulai nyerocos dan ngelantur gajelas. Dan saat ini baru aku sadari, Ata punya hayalan yang tinggi melebihi J.K Rowlling.
“Hus! yah… apapun yang terjadi aku memang harus siap ambil resiko. Yah… paling engga kalau dia sudah sama yang lain. Undangannya pasti udah sampai rumah dan kabar-kabar pasti udah berterbangan di telingaku. nope.” aku mengangkat bahu.
“Pesanan datang. Silahkan menikmati, jika ada komplain atau protes silahkan panggil saya. Terimakasih.” kata pelayan itu sambil menunjuk bross nama yang ada di dada sebelah kirinya ‘Deva’.
“Oh oke mas Deva. Kalau ada komplain kita pasti ngomong kok, dan kalau saya komplain uang harus kembali ya.” sahut Ata sambil mengaduk jusnya.
Pelayan itu tak menghiraiukan dan kembali ke alamnya.
“Oke kawan-kawanku yang beringas. Kita kembali lagi. So… Fara, sampai kapan kamu mau nunggu?” Alia kembali meredakan
“Semampuku.”
“Gila kali ya ini anak. Kadar kewarasannya udah menurun, kenapa ga sama yang lain aja sih Far.”
“No… no… Fara masih waras. Kalau gak waras, obat nyamuk udah aku minum waktu dia minta pergi. Okey!”
“Oke kita bahas yang lain. Gimana kuliahmu ta, far? lancar?”
“Not sure. But aku gasabar cepet lulus, lagi kebut biar cepet skripsi nih. Hahahah.” kataku dengan semangat yang membara.
“Iya dong! Aku juga tiap hari kerja rodi. Bolak-balik kampus, tidur tiga jam, gak makan seminggu, gak keramas sebulan, gak mandi…” dengan semangat yang lebih membara Ata ngelantur dengan hebatnya.
“Ush… Shut up. Serius nih ta!” Alia memakan roti bakar di piringnya dengan jiwa yang terbakan pula.
“Iya deh! emosi banget sih bu dokter. Gimana nih anak Desain, akhirnya terwujud juga mimpimu Far. Sini aku peluk!” tangannya meraih bahuku yang ada dihadapannya.
“Uuh, thank you Ata. Iya, makasih ya buat dukungan kalian selama ini. Patah hati nggak harus terpuruk kan? love you lah!.”
“Ahhhh Love you too Fara. Eh eh, kalian inget gak do’a kita? Do’a tiga serangkai di rumah aku?.”
“Ahahahah iya! inget inget. Gila ya itu, waktu lagi liburan kenaikan SMP gak sih? Hahaha.”
“Aku masih simpen loh!.”
“Mana Al mau dengerin dong!.”
“Yeee… ga disini juga kali Far!.”
“Aku jadi inget juga Far, waktu kamu masih sama mas Fisha, umur 14 tahun. kamu bilang ’8 tahun dari sekarang.’ hahahah. Waktu umurmu yang ke 22 nanti jadi dilamar gak ya.”
Aku hanya bisa tersenyum. Menahan getir sambil menari dalam indahnya harapan yang harusnya tiada namun masih aku hidupkan.
“Iya. Seharusnya. Haha, kan masih kecil. Rencana tuhan siapa yang tau sih.”
“Hahah aku juga inget nih sama si Ata. Waktu dia sama si… Dimas.”
“Heh!. Kamu juga pernah suka aja!” sontak Ata langsung menggebrak meja kita.
“Ih enggak!.”
“Hahahaha…” tawaku sambil memotong bagian Chicken cordon bleu yang hampir ludes.
“Aku kangen kita dulu.”
“Sama, aku juga. Ga kerasa ya kita udah gede begini.”
“Iya ta, al. Kangen banget. Oh ya oh ya aku punya kejutan buat kalian.”
“Apaan far?” tanya mereka penasaran.

Perlahan aku mengeluarkan laptop dari tas yang ada di sampingku. Dengan teliti aku memilah folder-folder yang tertata rapi di bagian documen. yap, folder “3SERANGKAI”.
“Taraaaaa.” kejutku melebihi badut pesta. Bukan, aku bukan badut panggilan.
Langsung disahutnya laptop kesayanganku itu.
“Dasar. Gilak! Ah! Wow! Amazing! Amazing! Subhanallah!.” Alia mulai histeris dan kehilangan kontrol
“Omaigot! Astungkara! Om swastiastu! Yaampun! Wow! Keren! Aahh! Love you far.”
“Dasar anak desain! masih sempet-sempetnya bikin beginian.” ucap Ata yang masih histeris dengan gambar ilustrasi dan video singkat yanh kubuat.
“Ih apaan sih! norak deh!. But thank you ya. Love you too!”

Tak terasa senja telah menemui persinggahannya. Hari mulai redup dengan langit abu-abu kemerahan bekas sihir hujan. Dan kamipun harus berpisah hari ini. Banyak urusan dan keperluan masing-masing yang harus diselesaikan. Canda, tawa mereka yang selalu ku rindukan di sepanjang perjalanan hidupku yang hampir hilang arah entah kemana karena sosok laki-laki yang masih ku harapkan kehadirannya. Mereka adalah obat penenangku selain dia… Fisha. Dia mampu menjadi obatku kelak atau menjadi racun yang telah menjalar yang siap membunuhku.

“Yah… Al, far kayanya disini dulu deh pertemuan kita. Aku pasti kangen kalian. Kangen kita kumpul gini lagi.” Ata dengan berat hati pun mengucapkannya.
“Padahal masih kangen sama kalian! Ah, kenapa sesingkat ini. Kalau ada waktu kita ketemu lagi ya.” Alia mulai memasang wajah sedih.
“Ya… Kita harus selesaikan tanggung jawab kita. Kejar mimpi kita. Aku sebenernya berat mau pisah lagi. Ahhh, sini peluk.!”

Akupun beranjak dari tempat dudukku, meraih dan mendaratkan pelukanku kepada kedua sahabatku. Air mata dengan tak sadar pun menetes dari mata kita bertiga.
“Jangan nangis dong.” ucap Ata mengusap pipiku dan pipi Alia.
“Fara, yang kuat ya. Aku ada kok. kamu hubungi aku aja.” kata Alia sambil memelukku sekali lagi.
“Iya Alia, pasti. Aku baik-baik saja. Dan harus kembali pada realita.”
“Kebersamaan kita selalu aku rindukan. Give me hug 3s! Sampai ketemu!.”

Dengan berat hati, kita harus berpisah di penghujung senja. Hari ke 677 yang singkat. Setidaknya kerinduan akan sahabat-sahabatku bisa terobati. Dan setelah ini, aku harus kembali pada realita. Bukan anak kecil lagi, bukan remaja lagi yang ingin menjajal ini itu untuk mencari jati diri. Tapi, sosok perempuan dengan jiwa yang baru untuk menghadapi hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun