Mohon tunggu...
Elok Sanikha Mutiah
Elok Sanikha Mutiah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswi Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Semarang

Saya adalah orang yang menyukai hal baru, tantangan, dan petualangan, saya suka bepergian namun saya juga menyukai waktu-waktu dimana saya beraktifitas di rumah dan hanya membaca buku.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tapera Wajib: Beban baru atau Solusi Pensiun Semu

24 Juni 2024   08:19 Diperbarui: 24 Juni 2024   08:29 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan data menunjukkan, kenaikan UMR dengan kenaikan harga properti dari tahun ke tahun tidaklah seimbang, karna UMR memiliki grafik kenaikan yang landai sedangkan biaya properti memiliki kenaikan yang sangat curam. Jika dibandingkan dengan index harga properti residensial, kenaikan harga properti secara kumulatif naik hingga 5%, sedangkan apabila dipukul rata kenaikan gaji karyawan hanya mengalami kenaikan 3,1%. 

Dalam persoalan pembelian rumah sekitar 80% masyarakat Indonesia membangun rumahnya secara mandiri, itu artinya sekitar 80% masyarakat Indonesia tidak membutuhkan Tapera untuk menyelesaikan persoalan pengadaan rumah. Dan untuk masyarakat yang belum bisa memiliki rumah secara mandiri, sebenarnya persoalan mereka bukanlah karena mereka tidak bisa menabung namun karena kenaikan gaji mereka tidak sebanding dengan kenaikan harga properti.

Namun,kenyataannya pemerintah juga tidak melakukan regulasi yang adil antara gaji UMR dengan harga properti yang tentunya jika dilakukan akan dapat menyelesaikan persoalan kekhawatiran pemerintah mengenai masyarakat yang belum memiliki rumah. 

Di sisi lain, masyarakat juga kurang bisa mempercayai pemerintah dalam pelaksanaan program Tapera ini. Selain ketidakjelasan manfaat dari Tapera itu sendiri, Kegagalan program serupa di masa lampau, seperti Jamsostek dan Asuransi Tenaga Kerja (Astek), masih membekas di ingatan masyarakat. 

Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa program Tapera juga akan bernasib sama. Karena besarnya dana Tapera tanpa adanya pengawasan dan akuntabilitas yang ketat juga transparansi kepada masyarakat membuat kekhawatiran akan adanya resiko tinggi dalam penyalahgunaan dana.

Dan yang paling penting dalam hal ini adalah kurangnya keterlibatan atau partisipasi dari publik atau masyarakat dalam proses penyusunan dan pengesahan UU Tapera ini, sehingga keterbukaannya sangat diagukan oleh masyarakat. Selain itu, para pekerja juga walaupun tanpa adanya Tapera sudah mendapatkan potongan gaji dari beberapa iuran dan pajak, contohnya antara lain: BPJS Kesehatan, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Pajak Penghasilan, serta Potongan Utang dan Pinjaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun