Mohon tunggu...
Elok Sanikha Mutiah
Elok Sanikha Mutiah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswi Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Semarang

Saya adalah orang yang menyukai hal baru, tantangan, dan petualangan, saya suka bepergian namun saya juga menyukai waktu-waktu dimana saya beraktifitas di rumah dan hanya membaca buku.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tapera Wajib: Beban baru atau Solusi Pensiun Semu

24 Juni 2024   08:19 Diperbarui: 24 Juni 2024   08:29 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

 Wacana wajib Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) untuk semua warga negara Indonesia kembali mencuat. Program ini merupakan sebuah pembiayaan perumahan yang meliputi pemilikan rumah, pembangunan rumah, atau perbaikan rumah bagi peserta. Namun, di tengah antusiasme pemerintah, muncul pula suara-suara kritis yang mempertanyakan efektivitas dan manfaat Tapera wajib.

Berbagai pihak menyuarakan aspirasinya terkait Tapera. Pemerintah pun terbagi menjadi dua kubu, yakni kubu setuju dan tidak setuju. Bagi yang setuju, mengatakan bahwa penolakan Tapera yang masif terjadi di tengah masyarakat didasari karena kurangnya sosialisasi. 

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Indah Anggoro Putri mengatakan bahwa upaya sosialisasi akan difokuskan melalui Lembaga Kerjasama (LKS) Tripartit Nasional, yang terdiri dari perwakilan serikat pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.

Menurutnya, saat ini belum ada penerapan pemotongan upah untuk iuran Tapera. Namun pihaknya akan segera melakukan pembicaraan terkait mekanisme peraturan Tapera, mengingat batas waktu pendaftaran peserta hingga 2027. "Dalam konteks penolakan, pemahaman masyarakat terhadap Tapera masih minim karena kurangnya sosialisasi yang efektif. Oleh karena itu, langkah-langkah pemerintah untuk memperkenalkan dan menyosialisasikan Tapera dianggap penting," ujarnya, Rabu (5/6/2024).

Pada intinya beliau menyampaikan bahwa penolakan tapera hanya karena kurangnya pemahaman masyarakat mengenai programnya.  Di sisi lain, Partai Buruh menyampaikan enam poin mengapa iuran Tapera harus ditolak. Pertama, Tapera tidak memberikan kepastian pekerja untuk memiliki rumah. 

Kedua, Pemerintah juga lepas tanggung jawab dengan tidak menyisihkan anggaran untuk Tapera. Ketiga, Tapera dianggap membebani biaya hidup di tengah daya beli buruh yang diklaim turun 30 persen (tiga puluh) persen dan upah minimum yang sangat rendah akibat UU Cipta Kerja. 

Keempat, kebijakan Tapera rawan penyelewengan sebab tak ada preseden kebijakan sosial tersebut dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak mengiur, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah. Kelima, tabungan ini sifatnya memaksa. Keenam ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana Tapera, apalagi untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, dengan potensi terjadinya PHK sangat tinggi.

Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) menjelaskan bahwa para pekerja yang telah memiliki rumah tetap wajib kena potongan gaji untuk iuran tabungan perumahan rakyat. Mengutip dari Katadata "Masyarakat yang sudah punya membantu yang belum punya rumah. 

Nah kalau itu bisa dikonstruksikan dalam UU Tapera ini kan sangat mulia sebenarnya" ujar Heru di Konferensi Pers Program Tapera di Kantor Staf Presiden Jakarta pada Jumat (31/5). Heru mengatakan nantinya potongan gaji dan upah dari para pekerja akan menjadi dana subsidi Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Padahal, subsidi adalah kewajibannya negara bukan sesama warga negara, karena jika sesama warga negara namanya adalah gotong royong. Sedangkan, gotong royong juga dilakukan dengan tanpa adanya paksaan dalam pelaksanaannya bukan diwajibkan bagi semua orang layaknya Tapera. 

Dengan diawali menggunakan paksaan (ditetapkannya Tapera sebagai iuran wajib), tentunya itu akan dianggap melanggar kebebasan individu untuk memilih program pensiun yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka.

Dan data menunjukkan, kenaikan UMR dengan kenaikan harga properti dari tahun ke tahun tidaklah seimbang, karna UMR memiliki grafik kenaikan yang landai sedangkan biaya properti memiliki kenaikan yang sangat curam. Jika dibandingkan dengan index harga properti residensial, kenaikan harga properti secara kumulatif naik hingga 5%, sedangkan apabila dipukul rata kenaikan gaji karyawan hanya mengalami kenaikan 3,1%. 

Dalam persoalan pembelian rumah sekitar 80% masyarakat Indonesia membangun rumahnya secara mandiri, itu artinya sekitar 80% masyarakat Indonesia tidak membutuhkan Tapera untuk menyelesaikan persoalan pengadaan rumah. Dan untuk masyarakat yang belum bisa memiliki rumah secara mandiri, sebenarnya persoalan mereka bukanlah karena mereka tidak bisa menabung namun karena kenaikan gaji mereka tidak sebanding dengan kenaikan harga properti.

Namun,kenyataannya pemerintah juga tidak melakukan regulasi yang adil antara gaji UMR dengan harga properti yang tentunya jika dilakukan akan dapat menyelesaikan persoalan kekhawatiran pemerintah mengenai masyarakat yang belum memiliki rumah. 

Di sisi lain, masyarakat juga kurang bisa mempercayai pemerintah dalam pelaksanaan program Tapera ini. Selain ketidakjelasan manfaat dari Tapera itu sendiri, Kegagalan program serupa di masa lampau, seperti Jamsostek dan Asuransi Tenaga Kerja (Astek), masih membekas di ingatan masyarakat. 

Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa program Tapera juga akan bernasib sama. Karena besarnya dana Tapera tanpa adanya pengawasan dan akuntabilitas yang ketat juga transparansi kepada masyarakat membuat kekhawatiran akan adanya resiko tinggi dalam penyalahgunaan dana.

Dan yang paling penting dalam hal ini adalah kurangnya keterlibatan atau partisipasi dari publik atau masyarakat dalam proses penyusunan dan pengesahan UU Tapera ini, sehingga keterbukaannya sangat diagukan oleh masyarakat. Selain itu, para pekerja juga walaupun tanpa adanya Tapera sudah mendapatkan potongan gaji dari beberapa iuran dan pajak, contohnya antara lain: BPJS Kesehatan, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Pajak Penghasilan, serta Potongan Utang dan Pinjaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun