Oleh:Â
ELOK RETNO OETAMI
Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Analis Kebijakan Ahli Muda pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Kotawaringin Barat
e-mail: 204022000134@std.unissula.ac.id
Kepemimpinan Dualisme (Rangkap) Jabatan
Karier ganda atau dualisme jabatan adalah ketika seseorang memiliki 2 (dua) tugas pekerjaan dalam waktu yang sama. Menurut Sholichah dan Hidayati (2023), pemimpin dualisme jabatan adalah pimpinan yang menduduki 2 (dua) atau lebih jabatan, dimana jabatan lainnya dapat berupa jabatan tidak tetap dan ada di luar organisasi. Pemimpin dualisme jabatan terjadi ketika seorang pimpinan diamanahi untuk memegang 2 (dua) jabatan pada 1 (satu) organisasi/lembaga atau organisasi/lembaga berbeda pada saat bersamaan. Jabatan kedua dapat setara dengan jabatan pertama, atau bahkan dapat lebih tinggi 1 (satu) tingkat. Hal ini terjadi karena penjabat sebelumnya meninggal, sakit keras, ibadah ziarah, mutasi, promosi, demosi atau mengalami konflik. Pada organisasi pemerintahan, pemimpin dualisme jabatan dipilih dari Eselon I hingga V, disesuaikan dengan tingkat jabatan yang baru. Jabatan baru dari pemimpin dualisme jabatan adalah Penjabat (Pj.), Penjabat Sementara (Pjs.), Pelaksana Tugas (Plt.), atau Pelaksana Harian (Plh.).
Kepemimpinan dualisme jabatan artinya keadaan dimana seorang pemimpin organisasi melakukan dualisme jabatan. Hal ini terkadang membawa kerugian pada salah satu atau kedua organisasi yang dibawahinya. Kerugian disini dapat dilihat dari aspek manajemen sumber daya manusia (SDM) organisasi, seperti kualitas kerja karyawannya; waktu penyelesaian tugas karyawannya, dan pengendalian organisasi secara terpisah, serta perbedaan tanggung jawab.
Kepemimpinan Di Era VUCA dan Society 5.0
Era VUCA adalah suatu keadaan yang Volatile (berubah sangat cepat), Uncertain (tidak menentu), Complex (majemuk), dan Ambiguos (tidak jelas). Berdasarkan studi oleh Soraya, dkk (2022) bahwa pada era VUCA, pemimpin dituntut bersikap fleksibilitas, berfikir jauh ke depan dan tangkas, kreatif dan inovatif, dan berfikir analitis serta berintegrasi dalam semua aspek lingkungan kerjanya.
Bersikap fleksibilitas artinya pemimpin mampu beradaptasi dengan perubahan yang cepat dan mengadopsi tindakan yang tepat. Hal ini mengindikasikan jawaban terhadap Volatility. Dibutuhkan pemimpin yang mampu berfikir terbuka dan jauh ke masa depan serta merespon dengan tangkas, baik melalui pengambilan keputusan atau tindakan, sehingga hal ini harus diterapkan saat ada kejadian tidak diprediksi (Uncertainty). Untuk menghadapi Complexity, maka pemimpin harus berupaya mensintesiskan info dengan cepat serta efektif dari kompilasi data yang terdapat serta dapat menginterpretasikan secara cermat, kreatif, dan bervariasi. Begitu pula pada keadaan Ambiguity, maka pemimpin harus menggabungkan keterampilan analitis dan integrasi mereka untuk menarik konklusi yang kohesi (Soraya, dkk, 2022).
Sementara itu, Era Society 5.0 atau Revolusi Industri 5.0 mengacu pada peningkatan digitalisasi dan otomatisasi dalam bidang produksi dan industri dengan menggabungkan cara kerja manusia dan teknologi dalam mengembangkan sistem yang lebih adaptif dan responsif terhadap perubahan lingkungan produksi. Yadav, et al. (2023) menyatakan bahwa Era Society 5.0 ditandai dengan Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI), rekayasa genetika, teknologi nano, mobil otomatis, dan inovasi. Namun, institusi pemerintah dapat menggunakan Society 5.0 dalam rangka peningkatan SDM dan pelayanan publik. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan akuntabilitas, efisiensi, dan transparansi administrasi, serta tata kelola pemerintahan yang lebih baik oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Pada era ini, seorang pemimpin diharapkan dapat mengefisiensikan dan mengefektivitaskan pelayanan publik, mendorong inovasi, meningkatkan transparansi, menaikkan partisipasi masyarakat, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Kepemimpinan Adaptif Digital sebagai Model Kepemimpian Ideal Bagi Pimpinan Dualisme Jabatan di Era VUCA dan Society 5.0
Pemimpin dengan dualisme jabatan akan sangat mempengaruhi kinerja 2 (dua) atau lebih organisasi dibawahnya, sehingga harus dicermati gaya kepemimpinan apa yang dapat meminimalisir kerugian pada organisasi dimaksud.
Beberapa gaya kemimpinan yang telah dikenal diantaranya adalah kepemimpinan adaptif. Kepemimpinan adaptif adalah kepemimpinan yang menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi dan situasi serta tidak mengenal sistem senioritas dalam organisasi. Terdapat 4 (empat) dimensi kepemimpinan adaptif yang selaras untuk menghadapi tantangan di Era VUCA, yaitu (1) Navigate the business environment, (2) Leading with emphaty, (3) Learning through self-correction, dan (4) Creating win-win solutions.
Navigate the business environment, artinya pemimpin mampu menguasai ketidakpastian dan mengadopsi pendekatan baru jika tetap ingin eksis dalam kondisi yang bergejolak. Dimensi ini digunakan untuk menghadapi keadaan "Uncertainty". Sementara itu, Leading with emphaty, artinya pemimpin mampu menciptakan rasa memiliki 1 (satu) tujuan yang sama dan mengelolanya melalui pengaruh. Dimensi ini digunakan untuk menghadapi keadaan "Complexity". Learning through self-correction, artinya pemimpin mampu mendorong upaya percobaan baru hingga mendapatkan hasil yang baik. Dimensi ini digunakan untuk menghadapi keadaan "Ambigue". Sementara itu, Creating win-win solutions, artinya pemimpin fokus pada keberhasilan yang terus menerus bagi organisasi. Dimensi ini digunakan untuk menghadapi keadaan "Volatility".Â
Dari www.selfgrowth.com, diketahui bahwa karakteristik pemimpin yang adaptif digambarkan dengan (1) Berfikir dan bertindak strategis untuk mempengaruhi lingkungan; (2) Bersifat proaktif, mampu memprediksi peluang dan merancang pemikiran untuk memanfaatkan peluang; (3) Multi perspektif dalam pengambilan keputusan; (4) Mengedepankan kreativitas dalam mengembangkan solusi; (5) Mampu melakukan transformasi struktural dan kultural sehingga mampu beradaptasi dengan perubahan; (6) Sensitif terhadap tuntutan jaman; (7) Berani mengambil risiko; dan (8) Sangat menghargai inovasi dan personal.
Hal yang perlu dilaksanakan untuk menjalankan kepemimpinan yang adaptif adalah sebagai berikut. Pertama, memetakan stakeholder, untuk mengetahui stakeholder mana saja yang akan terlibat langsung dalam sebuah program. Kedua, mengidentifikasi penggerak atau pelopor di kelompok masyarakat yang berorientasi kepentingan umum, memiliki komunikasi yang baik, serta diterima oleh masyarakat. Ketiga, mengajak masyarakat berpartisipasi aktif melalui pelaporan, pengaduan, serta penilaian kerja pemerintah.
Sementara itu, kepemimpinan digital adalah kepemimpinan dengan memanfaatkan teknologi digital untuk mewujudkan tercapainya tujuan transformasi digital (Mwita & Joanthan, 2019). Studi oleh Tangi, et al. (2021) menunjukkan bahwa teknologi digital telah mengubah sektor publik dengan memengaruhi aplikasi, proses, budaya, struktur, dan tanggung jawab serta tugas pegawai negeri. Sehingga, model kepemimpinan ini memungkinkan OPD untuk mendigitalkan lingkungan kerja dan budaya kerja mereka (Sagbas & Erdogan, 2022).
Dalam bukunya, Zhu (2015) telah menyandingkan antara 5 (lima) karakteristik kepemimpinan digital dengan tantangan VUCA. Lima hal tersebut dijelaskan sebagai berikut: (1) Pemikiran, untuk mengatasi hambatan Volatility; (2) Kreatif, untuk mengatasi hambatan Volatility; (3) Visioner, untuk mengatasi hambatan Ambiguity; (4) Rasa ingin tahu, untuk mengatasi hambatan Uncertainty; dan (5) Profound Leader, untuk mengatasi hambatan Complexity.
Pemikiran, yaitu pemimpin digital yang mampu menghadapi tren serta persaingan di pemerintahan dan menghasilkan suatu kebijakan atau perilaku cepat tanggap terhadap suatu issue di pemerintahan. Kreatif, yaitu pemimpin digital yang memiliki pola pikir kreativitas serta inovasi untuk merumuskan ide baru menjadi sebuah kenyataan yang mempermudah dan mempercepat layanan pemerintah kepada masyarakat atau membangun suatu tools yang berguna bagi masyarakat. Visioner, yaitu pemimpin digital yang memiliki kemampuan memberikan arahan dan bertransformasi digital untuk tujuan pembangunan daerah melalui koordinasi terhadap semua OPD di bawahnya. Rasa ingin tahu, yaitu pemimpin digital yang selalu terbuka terhadap ide baru, berani melakukan pendekatan baru, dan beradaptasi menggunakan teknologi dan informasi (TIK) untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi organisasi. Profound Leader, yaitu pemimpin digital sapujagat, yaitu pemimpin yang memiliki ilmu dan pemahaman mendalam, dan menggunakan pengetahuannya untuk interpretasi, serta berpikir sintesis dalam mengambil keputusan.
Demikian pula dengan penggunaan teknologi internet yang dipahami sebagai bentuk peralihan dari manual ke penggunaan digital, maka seorang pemimpin harus mampu memimpin dan memanfaatkan teknologi digital dalam peningkatan kinerja organisasi (Wasono & Furinto, 2018). Dengan mengadopsi AI pada pemerintahan, maka akan membantu pemimpin dalam pengambilan keputusan. Kemampuan e-leadership juga dapat didefinisikan sebagai cara para pemimpin menggunakan teknologi informasi untuk mencapai tujuan pemerintah. Implementasi e-government (digital dalam sektor pemerintahan) akan memudahkan serta mempercepat proses layanan publik maupun pengambilan keputusan.
Hasil penelitian Yudha & Susanto (2019) menunjukkan bahwa terdapat komponen yang dapat dilakukan untuk mewujudkan keberhasilan e-government, yaitu (1) Kepemimpinan yang kuat, (2) Visi dan misi, (3) Komitmen, 4) Menyelaraskan sasaran teknologi informasi dan strategi, dan (5) Fungsi kepemimpinan.
Konsep pengkolaborasian kedua gaya kepemimpinan diatas adalah kepemimpinan Adaptif Digital dan jika diterapkan oleh pemimpin dengan dualisme jabatan di Era VUCA dan Society 5.0, maka diharapkan terjadi pengefektifan kinerja organisasi melalui digitalisasi. Pemimpin dapat lebih banyak mendengarkan dan menerima aspirasi bawahannya atau bahkan dari masyarakat dan menterjemahkannya dalam suatu kebijakan, menjadi mentor yang baik bagi bawahannya, dan melakukan perubahan dalam pelayanan publik (sesuai dengan kebutuhan). Pemimpin pun dapat menyesuaikan diri dengan budaya organisasi yang pasti berbeda dari beberapa organisasi yang dipimpinnya. Sehingga pemimpin dengan dualisme jabatan dapat lebih bijak mengatur strategi organisasi di bawahnya.
Selain itu, pemimpin juga akhirnya mampu memanfaatkan kemajuan teknologi untuk proses kerja yang lebih efisien dan efektif serta dekat kepada bawahannya atau bahkan masyarakat, baik secara fisik (offline) atau melalui jaringan internet (online). Hal ini akan sangat mendukung pemimpin dengan dualisme jabatan dalam melaksanakan Planning, Organizing, Actuating, and Controlling (POAC). Artinya ketidakhadiran pimpinan (pada suatu keadaan) di organisasi, tidak akan menghambat pencapaian target kinerja organisasi tersebut.
Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini sedang mengalami kekosongan untuk posisi Sekretaris Daerah. Posisi sementara disebut Pelaksana harian (Plh.) Sekretaris Daerah dan diisi oleh Prof. (H.C.) Dr. Ir. Juni Gultom, ST, MTP. Beliau juga menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan (Bappedalitbang) Kabupaten Kotawaringin Barat. Untuk mempercepat pengambilan kebijakan di Bappedalitbang, Sekretariat Daerah, dan Perangkat Daerah lainnya di Kabupaten Kotawaringin Barat, maka Kepemimpinan Adaptif Digital adalah konsep gaya kepemimpinan yang disarankan dan lebih relevan diterapkan oleh pemimpin di Kabupaten Kotawaringin Barat yang dualisme jabatan di era VUCA dan Society 5.0 ini. Hal ini juga bertujuan untuk meminimalisir kerugian yang terjadi pada satu atau dua atau bahkan lebih OPD yang dibawahinya karena dengan menerapkan konsep ini pada OPD tersebut akan mengefektifkan dan mengefisienkan kerja OPD dan mempercepat pencapaian target kinerja OPD.
Referensi:
https://www.selfgrowth.com/articles/calbano.html. Diakses pada 26 Oktober 2023.
Mwita, M. M., & Joanthan, J. (2019). Digital leadership for digital transformation. Electronic Scientific Journal, 10(4), 2082-2677.
Sagbas, M., & Erdogan, F. A. (2022). Digital leadership: a systematic conceptual literature review. stanbul Kent niversitesi nsan ve Toplum Bilimleri Dergisi, 3(1), 17-35.
Sholichah, A. M., & Hidayati, R. A. (2023). ANALISIS DAMPAK RANGKAP JABATAN TERHADAP EFEKTIVITAS KERJA DI PT. YYY. Journal of Management and Creative Business, 1(1), 206-220.
Soraya, N. A., Tias, S. A., & Ayu, V. K. (2022). Nasionalisme bangsa di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity). Jurnal Kewarganegaraan, 6(1).Tangi, L., Janssen, M., Benedetti, M., & Noci, G. (2021). Digital government transformation: A structural equation modelling analysis of driving and impeding factors. International Journal of Information Management, 60, 102356.
Wasono, L. W., & Furinto, A. (2018). The effect of digital leadership and innovation management for incumbent telecommunication company in the digital disruptive era. International Journal of Engineering and Technology, 7(2.29), 125-130.
Yadav, M., Vardhan, A., Chauhan, A. S., & Saini, S. (2023, February). A Study on Creation of Industry 5.0: New Innovations using big data through artificial intelligence, Internet of Things and next-origination technology policy. In 2023 IEEE International Students' Conference on Electrical, Electronics and Computer Science (SCEECS) (pp. 1-12). IEEE.
Yudha, H., & Susanto, T. D. (2019). E-Leadership: The Effect of E-Government Success in Indonesia. Journal of Physics: Conference Series, 1201(1). https://doi.org/10.1088/1742-6596/1201/1/012025.
Zhu, P. (2015). Digital master: Debunk the myths of enterprise digital maturity. Lulu Press, Inc.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H