Mohon tunggu...
eloknurrahmatillah
eloknurrahmatillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa semester 5

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Krisis Identitas di Era Digital: Bagaimana Media Sosial Membentuk Persepsi Diri Generasi Z

16 Desember 2024   15:03 Diperbarui: 16 Desember 2024   14:12 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

PENDAHULUAN

Di era digital ini, kehadiran media sosial telah mengubah cara berinteraksi dan membentuk identitas diri, terutama bagi Generasi Z. Generasi yang lahir antara 1997 dan 2012 ini tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi, yang memungkinkan mereka untuk mengakses berbagai informasi, berinteraksi dengan orang lain dari seluruh dunia, dan membentuk citra diri mereka secara virtual. Media sosial, yang menjadi bagian integral dari kehidupan mereka, memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk persepsi diri mereka, baik dalam hal positif maupun negatif. Dalam konteks ini, krisis identitas seringkali menjadi isu utama yang dialami oleh banyak individu dalam generasi ini. Krisis identitas di kalangan Generasi Z sering kali berkaitan dengan ketidakjelasan dalam mengenali siapa mereka sebenarnya, yang diperburuk oleh tekanan sosial yang hadir di dunia maya.

Menurut Mahmud (2024), krisis identitas di kalangan Generasi Z sering dipahami sebagai fenomena patologi sosial yang muncul akibat pengaruh media sosial. Media sosial, dengan kemampuannya untuk menghubungkan individu secara global, juga menciptakan ruang bagi pembentukan standar sosial yang tidak realistis, seperti citra tubuh ideal, gaya hidup mewah, dan pencapaian pribadi yang sering diperlihatkan secara berlebihan oleh pengguna lainnya. Hal ini menciptakan perbandingan sosial yang merugikan, di mana individu merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi yang seringkali tidak dapat dicapai. Fenomena ini menjadi lebih nyata ketika individu mulai merasa bahwa identitas mereka dibentuk berdasarkan pengaruh luar, bukan dari pemahaman diri yang lebih dalam.

Sementara itu, Fakhruddin dan Dewi (2023) menyatakan bahwa krisis identitas pada Generasi Z dapat diperburuk oleh kurangnya pemahaman akan pentingnya pendidikan kewarganegaraan yang memberikan dasar yang kuat dalam memahami siapa diri mereka dalam konteks sosial yang lebih luas. Pendidikan yang memperkenalkan nilai-nilai kewarganegaraan dapat membantu mereka untuk mengatasi kebingungannya mengenai identitas sosial mereka dan memberi mereka perspektif yang lebih jelas dalam menghadapi tantangan kehidupan di dunia digital. Dalam hal ini, peran pendidikan dalam memberikan pemahaman tentang jati diri dan tanggung jawab sosial sangat penting agar mereka tidak terjebak dalam konstruksi identitas yang dangkal.

Proses pembentukan identitas di dunia digital sangat dipengaruhi oleh media sosial yang memungkinkan remaja untuk membangun citra diri yang dapat dilihat oleh banyak orang. Akbar dan Faristiana (2023) menyatakan bahwa media sosial, terutama platform seperti Instagram, memainkan peran penting dalam membentuk identitas diri remaja. Di platform ini, remaja sering kali memamerkan berbagai aspek kehidupan mereka, baik itu tentang penampilan, prestasi, hingga gaya hidup. Hal ini memungkinkan mereka untuk membentuk citra diri yang diinginkan, namun juga dapat menimbulkan rasa tidak aman ketika identitas yang ditampilkan tidak sesuai dengan kenyataan. Pengaruh ini tidak hanya terjadi dalam aspek penampilan, tetapi juga dalam hal nilai dan keyakinan pribadi, yang semakin dipengaruhi oleh tren dan opini yang berkembang di dunia maya.

Perubahan sosial yang cepat di dunia digital ini juga mempengaruhi cara remaja memandang dirinya. Menurut Nurmansyah (2024), media sosial sangat mempengaruhi persepsi diri remaja, terutama dalam hal penilaian sosial dan pengakuan dari orang lain. Proses validasi diri melalui like, komentar, dan followers menciptakan ketergantungan pada pengakuan eksternal yang pada gilirannya dapat mempengaruhi harga diri dan kesejahteraan mental mereka. Remaja yang merasa kurang mendapat perhatian atau pengakuan di media sosial mungkin mengalami penurunan rasa percaya diri dan kebingungannya tentang identitas diri mereka.

Fenomena krisis identitas ini juga berhubungan dengan masalah kesehatan mental. Waney, Kristinawati, dan Setiawan (2020) menunjukkan bahwa penerimaan diri dan mindfulness menjadi faktor penting dalam mengatasi tekanan yang ditimbulkan oleh media sosial. Mereka menemukan bahwa remaja yang lebih mampu menerima diri mereka sendiri dan memiliki kesadaran diri yang baik cenderung lebih tahan terhadap pengaruh negatif dari media sosial. Sebaliknya, remaja yang tidak dapat menerima diri mereka dengan baik lebih rentan terhadap krisis identitas dan masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi.

Selain itu, Nugraeni (2024) berpendapat bahwa media sosial juga berperan dalam pembentukan identitas sosial anak muda, yang sering kali dipengaruhi oleh kelompok referensi yang ada di dunia maya. Remaja sering kali membentuk kelompok sosial berdasarkan kesamaan minat atau pandangan hidup yang mereka temukan di media sosial. Dalam kelompok ini, mereka merasa diterima dan dihargai, namun di sisi lain, kelompok ini juga dapat mempengaruhi pembentukan identitas mereka secara kolektif, yang kadang bertentangan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh individu tersebut.

Tidak hanya itu, dampak negatif dari media sosial juga dapat terlihat pada kesehatan mental remaja. Sitompul (2024) mengungkapkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat memengaruhi persepsi diri dan kesehatan mental remaja, dengan meningkatkan kecemasan dan perasaan terisolasi. Dalam banyak kasus, remaja merasa tertekan untuk selalu tampil sempurna dan memenuhi ekspektasi sosial, yang sering kali tidak sesuai dengan kenyataan. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan identitas dan penurunan harga diri.

Pentingnya pembentukan identitas yang sehat di era digital ini menjadi tantangan besar bagi generasi muda. Regita, Luthfiyyah, dan Marsuki (2024) menekankan bahwa media sosial bukan hanya alat untuk berinteraksi, tetapi juga sarana untuk membentuk persepsi diri dan identitas sosial. Mereka menemukan bahwa pengaruh media sosial terhadap identitas diri sangat kuat, terutama di Indonesia, di mana remaja sering terpapar pada berbagai nilai budaya dan norma sosial yang berbeda-beda. Hal ini menciptakan kebingungannya dalam menentukan siapa mereka sebenarnya.

Dalam menghadapi krisis identitas ini, beberapa pendekatan dapat dilakukan untuk membantu Generasi Z agar tidak terjebak dalam pengaruh negatif media sosial. Pujiono (2021) mengungkapkan bahwa media sosial dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembelajaran bagi generasi muda, yang memungkinkan mereka untuk memperluas wawasan dan meningkatkan pemahaman diri. Melalui pemanfaatan media sosial secara bijak, remaja dapat membentuk identitas yang lebih sehat dan lebih percaya diri tanpa harus terjebak pada standar yang tidak realistis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun