Hotbin, dkk. 2004 menjelaskan uang merupakan instrumen penting dalam perekonomian suatu negara. Tanpa adanya uang maka akan sulit melakukan transaksi jual beli barang atau jasa yang nantinya akan menghambat kegiatan investasi, produksi dan konsumsi.
Pengedaran uang harus dikelola dengan baik sehingga jumlah uang beredar sesuai dengan jumlah uang dibutuhkan masyarakat. Jumlah uang yang melampaui permintaan akan menaikan harga-harga secara terus menerus (inflasi) dan sebaliknya apabila jumlah uang beredar lebih sedikit dari permintaan dapat melambatkan kegiatan perekonomian.
Dalam mengatasi dampak Covid 19 terhadap perekonomian Indonesia yang kian memburuk, pemerintah melalui DPR-RI mengusulkan agar BI melakukan tambahan cetak uang, guna menambah jumlah uang beredar terhadap masyarakat, sehingga dapat meningkatkan daya beli masyarakat yang mengalami penurunan akibat Covid 19.
Akan tetapi melakukan pencetakan uang dalam kondisi perekonomian Indonesia saat ini bukan menjadi solusi yang tepat untuk memulihkan perekonomian.
Ketika suatu negara yang masih membutuhkan cadangan devisa yang lebih dan tetap melakukan cetak uang secara berlebih maka akan beresiko tinggi terhadap jumlah uang berdar dan akan meningkatkan inflasi secara berlebihan (Hyperinflation) yang mungkin akan berujung pada krisis ekonomi. Oleh sebab itu, BI menggeser peningkatan jumlah uang beredar dari kebijakan mencetak uang ke kebijakan Quantitative Easing (QE).
Apa yang dimaksud dengan Quantitative Easing (QE) ?
Bernanke dan Reinhart. 2004 (dalam Michael Joyce and friends. 2010) mendefinisikan Quantitative Easing (QE) secara umum sebagai kebijakan yang memperluas neraca yang dimiliki bank sentral untuk meningkatkan tingkat uang bank sentral (khususnya cadangan bank) dalam perekonomian.
Hal ini sedikit kontras dengan kebijakan mengubah komposisi neraca pada bank sentral (pelonggaran kredit) akan tetapi jika dibandingkan dengan kebijakan Quantitative Easing (QE) murni maka kedua hal tersebut berebeda.
Kebijakan pelonggaran kredit dimaksudkan untuk mengurangi suku bunga tertentu atau mengembalikan fungsi pasar, sementara Quantitative Easing (QE) menjelaskan kebijakan apapun yang secara tidak biasa yang dapat meningkatkan besarnya kewajiban bank sentral dalam menentukan mata uang dan cadangan bank, terutama pada batas nol. Pelonggaran kredit dapat mencakup QE hanya saja pelonggaran kredit lebih khusus menargetkan pada stabilitas kondisi pasar atau suku bunga.
Dalam Brett W. and J. Neely. 2013 di jelaskan bahwa dalam rezim QE murni, fokus kebijakan adalah kuantitas cadangan bank, yang merupakan kewajiban bank" (Bernanke, 2009). "Ketika bank sentral memutuskan untuk memperluas ukuran neraca, ia harus memilih aset mana yang akan dibeli. Secara teori, itu bisa membeli aset apa pun dari siapa pun "(Bini Smaghi, 2009).
Melalui kebijakan QE bank sentral dapat meningkatkan likuiditas neraca sektor swasta dalam hal ini jika di Indonesia Bank sentral akan menyutikan danya pada bank-bank komersil. Sebagaimana di jelaskan Benford et al. (2009) (dalam Michael Joyce and friends. 2010), terdapat beberapa cara dengan melalui likuiditas yang besar yang akan berdampak pada perekonomian.