Sudah tak terhitung lagi berapa hari rindu menemaniku, entah 1 bulan, 1 tahun, 1 windu ataukah 1 abad aku tak tau. Yang ku tau rindu selalu setia menemaniku di setiap hembusan nafasku, ia yang selalu ada disampingku kemanapun aku pergi rindu selalu bersamaku. Apa ia tak lelah ataupun bosan bersamaku terus-menerus setiap waktu?
Rindu itu bagiku sudah seperti nyawa dalam diriku, jika tak ada rindu aku bagaikan mayat yang hampa dan tak punya rasa apa-apa. Rindu pun juga begitu, tanpa aku rindu juga tak berarti apa-apa. Jika tidak ada aku rindu bagaikan layang-layang yang dikibarkan di bawah langit yang terang serta awan yang menawan lalu di tinggal pergi oleh pemiliknya. Jadi kalaupun layang-layang itu di terpa angin kesana kian kemari layang-layang itu tak punya arah atau bahkan lama-lama akan jatuh begitu halnya dengan rindu, jika rindu tak dimiliki ia akan kebingungan, merana tak tau ia harus membuat kerinduan untuk siapa.
Hari ini hari Kamis malam Jumat begitulah orang-orang jawa menyebutnya. Masih sama malam ini aku di temani oleh rindu. Rindu yang masih sama dengan yang dulu, namun kali ini rindu itu lebih berasa aku semakin merasakan rindu dan aku semakin merindu. Andaikan aku bisa melihat sang rindu kan ku gapai tangan si rindu aku pegang erat-erat.
Mengapa sampai saat ini aku hanya bisa merasakan rindu tanpa bisa melihatnya, tak bisa ku bendung rasa sedih dalam hatiku. Aku ingin bisa melihat rindu, melihat sosok rindu seperti apakah dia?
Rindu selalu hadir dalam mimpiku, membayangiku setiap waktu yang membuatku gagal fokus ketika aku kerja ataupun beraktifitas lainnya. Apa yang harus aku lakukan? Mengapa rindu membuatku dilema seperti ini. Rindu tak mengerti maksudku, rindu tak mengerti keinginanku, haruskah aku membencimu rindu? Supaya batinku terus-menerus tak tersiksa olehmu. Tapi sepertinya itu mustahil, aku tak bisa membencimu rindu karena kamu sudah seperti separuh jiwaku. Rindu ini mengalir dalam darah melalui nadiku. Tiba-tiba rindu ini menggebu, terasa darah mengalir lebih cepat sehingga permukaan kulitku bisa merasakan aliran darahku. Bulu-bulu romaku seolah bangkit dari tidurnya, serta jalan pikiranku yang tak terarah.
“Rindu. Aku lelah jika kau terus-menerus seperti ini”.
Aku sangat benci dengan keadaan seperti ini, rindu ini lagi-lagi sangat menyiksaku. Entah si rindu memikirkan perasaanku atau tidak. Rindu selalu datang namun tak melihat keadaan. Jika pada saat ini apa yang harus aku lakukan. Kali ini rindu datang diwaktu yang tidak tepat. Rindu sangat menggangguku sehingga beberapa kali piring yang ada di tanganku ini pecah tanpa kusadari. Aku sering melamun jika rindu sedang menggebu. Tiba-tiba saja pintu rumahku terketuk.
Aku bergumam
“siapa yang ada dibalik pintu itu?”.
Aku tatap jam dinding menujukkan pukul 4 sore. Kakiku melangkah ke arah pintu tersebut. Setelah aku buka ternyata ada seorang wanita berpawakan elegan serta berambut pirang tersenyum kepadaku. Akupun membalas senyumannya lalu aku persilahkan ia duduk di sofa yang sudah aku bersihkan sebelumnya. Ia menuruti perintahku, lalu aku beranjak ke dapur untuk mengambil segelas larutan segar untuknya. Aku membuka lemari es ku, aku lirik ke kanan dan ke kiri terdapat beberapa minuman yang sekiranya menyegarkan.
Langsung saja aku mengambil jus jeruk yang baru saja aku buat tadi siang dan ku tuang ke gelas kaca berukuran sedang. Aku kembali ke ruang tamu dengan membawa segelas larutan tersebut dan aku taruh tepat di atas meja yang dihadapnya. Segera aku mempersilahkan ia untuk minum-minuman itu. Ia mengambil gelas tersebut, sepertinya ia mau langsung minum tapi ternyata dugaanku salah besar. Ia menatap gelas yang berisi cairan tersebut. Menatap lebih dalam lalu matanya secara cepat langsung mengarah kepadaku. Jantungku berdegup kencang. Apa yang ia pikirkan sehingga matanya menatap begitu tajam. Apa ada yang salah dengan minumanku, atau ia berpikir bahwa minuman itu bisa saja aku taruh racun tikus di dalamnya, jika benar mengapa ia punya pikiran sejauh itu. Aku pikir-pikir kembali, apa mungkin ia beranggapan bahwa cairan itu sudah basi hingga ia mengamati warna cairan tersebut.
“motif gelasmu sangat cantik, aku menyukainya”
Ah aku tertipu oleh mimik wajahnya yang seram, dia justru mengeluarkan pujian dari bibir yang berbalut lipstik merahnya. Aku tersenyum kepadanya, setelah ia minum seteguk cairan tersebut dia berkata ingin ke kamar mandi. Aku berkata kepadanya lurus lalu ke kanan. Ia langsung beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah lurus lalu ke kanan. Mengapa dia menghentikan langkahnya di dapurku?. Seraya dia terlihat sangat heran. Tapi untuk selanjutnya dia meneruskan langkahnya ke kamar mandi. Aku memandang gelas kacaku memang cantik motifnya, sengaja aku beli dengan memilih motif tersebut karena aku juga sangat menyukai motif tersebut serta warnanya yang anggun. Dia kembali dari kamar mandi dan menanyakan sesuatu kepadaku.
“apa yang terjadi dengan dirimu sehingga ..........”
“rindu yang telah membuatku seperti ini”
Aku langsung saja memotong kata-katanya dan segera menjawab dengan singkat.
“kalau memang benar rindu yang telah membuatmu seperti ini maka bersyukurlah”
“mengapa aku harus bersyukur, bahkan rindu ini begitu menyiksaku”
Aku membalas pertanyaannya dengan rasa hatiku yang memanas. Mengapa dia bisa berucap semacam ini.
“karena tanpa rindu kamu takkan mengingat seseorang yang jauh di pelupuk mata”
Sejenak aku terdiam dan tanpa sengaja air mata ini menetes membasahi pipiku. Aku tak mengerti jelas apa yang telah terjadi padaku. Teringat sosok lelaki berpawakan tinggi serta mempunyai karisma yang luar biasa sehingga menarik perhatian kaum hawa yang melihatnya, bahkan sampai detik inipun sang mantannya belum bisa melupakan dia. Ah kamu! Begitu menawan.
Lelaki itu tak berada di sisiku, jarak yang sangat jauh telah memisahkan aku dengannya. Kewajiban yang menuntutnya untuk lebih jauh dariku sehingga apalah daya seorang perempuan sepertiku yang hanya bisa memahami keadaanya, hanya bisa memberikan senyuman manisku kepadanya, serta suara manja yang terkadang keluar dari bibir mungilku ini, seorang perempuan yang selalu mengalah akan sifat keras kepalanya, namun akulah satu-satunya perempuan yang bisa bersyukur akan perhatian dan kepeduliannya kepadaku. Sudah cukup lama aku merindukan sentuhan hangat dari tangannya, sudah cukup lama aku merindukan pelukan mesra darinya, sekian lama aku menunggu dan sudah cukup lama aku ingin berjumpa dengannya. Menatap matanya, bergandeng tangan dengannya serta melepas rindu yang ada di dalam lubuk hatiku. Tuhan bisakah Kau mendengar ucapanku ini?, aku sangat merindukannya Tuhan. Tapi aku masih bersyukur walaupun jarak yang begitu kejam telah memisahkan aku dengannya namun aku masih bisa bertemu dengannya walau hanya sekedar via telepon. Suaranya yang begitu bikin hati greget, serta rayuan mautnya yang selalu berhasil mencuri perhatianku.
Dalam dinginnya malam aku selalu merindukannya, aku mengingatnya seraya bergumam,
“ataukah kau juga merindukanku, lelakiku?”
Aku ingin bertemu, sangat ingin aku mendekap dalam pelukanmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H