Si manis menatap lurus
Sorotnya tak seindah pahat wajahnya
Masam. Tajam. Penuh kebencian
Dia menggenggam sekepal amarah
Menyeringai remeh
Untaian kusutnya menjuntai sampai pinggang
Gaunnya kumal. Matanya berkantung tebal
Dia berantakan. Tapi tak secuil pun ada yang mempertanyakan
Acuh tak acuh
Astaga dia muak sekali dengan lelucon kehidupan!
Bukan, bukannya menyalahi Tuhan. Itu mustahil sekali, sungguh
Bibirnya bergetar memerah. Sedikit tergigit lantaran menampung derita yang cukup lama
"Aku pun ingin dibelai dan dikasihi."
Gumaman serak yang tersangkut di antara tenggorokan
Memorinya berat. Banyak sekali yang telah dilaluinya
Ceritanya bagai drama yang membosankan
Jangan pula berharap seolah bumbu-bumbu romantis pernah menyentuh usia belianya
Orang hanya memandangnya iba sedang dia tak sudi dikasihani
Jiwanya terlalu haus akan cinta ayah bunda
Hatinya mati oleh dekapan iblis yang menyulap raut periangnya menjadi rusak tak terbentuk
Dia tak ingin bersedih
Tapi segan juga untuk meraih syukur
Batinnya kebingungan atas dosa-dosa
Dahinya pun dilipat-lipat
Dari kursinya dia mulai berandai-andai
"Jika saja aku tak egois"
Serintik air mata runtuh kemudian
Dia hanya menjawab dengan tawa miris
"Ah percuma. Ini memalukan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H