Pilkada DKI baru akan digelar tahun depan, namun hiruk pikuknya sudah mendahului jauh hari sebelumnya, dan menjadi catatan tersendiri dalam dunia perpolitikan negeri ini. “Pilkada dengan cita rasa pemilu”, begitu kira-kira orang menyebutnya. Mungkin pilkada DKI tahun depan adalah satu-satunya pilkada di negeri ini yang gaung kehebohannya menggema sampai ke pelosok, dan seolah merekahkan ingatan kita pada pilkada tahun 2012, yang dimana Jokowi dengan segala “keunikan”nya tampil sebagai kuda hitam bagi imcumbent—Fauzi Bowo—yang dengan cepat menarik simpatik warga Jakarta, yang kemudian mengantarkan mantan Walikota Solo menduduki kursi RI-1.
Keriuhan pilkada DKI tahun depan tidak terlepas dari sosok seorang Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Saya memiliki sedikit keyakinan, segalanya akan berbalik terbalik jika seandainya Ahok tidak mencalonkan diri lagi, Tidak terlalu sulit untuk kita jumpai dan, atau kita dengarkan perbincangan tentang pilkada DKI—mulai dari restoran sampai warteg; dari rumah beton sampai gubuk; dari para elite politik, tokoh-tokoh agama, pemuka masyarakat sampai para jelata membincangkannya.
Ahok memang sosok yang penuh dengan kontroversial—baik dalam setiap tindakan, dan yang paling penting dari itu adalah ucapannya. Setiap ucapan yang terlontar dari mulutnya bagi sebagian orang dianggap kasar dan tak beretika. Bila kita ingin jujur, ucapan-ucapan Ahok memang jauh dari sebutan beretika. Parahnya lagi, dilakukan pada tempat yang tidak semestinya. Ketegasan tidak selamanya harus disampaikan dengansuara keras, amarah dan bentakan. Ketegasan juga tidak selamanya dinyatkan dengan ucapan, tapi dapat juga diwujudkan dalam bentuk sikap.
Namun terlepas dari semua kekurangan “tatakarma” komunikasi, harus diakui Ahok adalah orang yang tegas dalam sikap. Dia tidak mudah diajak berkolusi untuk mengeruk uang rakyat. Dan, ini adalah “bencana” bagi para politisi busuk. Ketegasan Ahok juga dapat dilihat dari beberapa kali dia mengganti pejabat walikota dan kepala dinas di DKI. Berkali-kali Ahok melakukan penggusuran yang ditentang banyak pihak, namun seperti bisa diduga, Ahok tidak bergeming sehingga membuatnya semakin dibenci oleh banyak orang dengan berbagai macam alasan. Dan ini dimanfaatkan oleh lawan-lawan politiknya dengan “membakar” kebencian pada pihak yang merasa dirugikan.
Ketegasan sikap Ahok masih terus berlanjut. Mungkin masih segar dalam ingatan kita tentang perseteruannya dengan anggota DPRD DKI dalam kasus UPS (Uninterruptible Power Supply), yang menyeret beberapa anggota DPRD DKI pada kursi pesakitan. Segalanya tidak berakhir sampai di situ. Sumber Waras menjadi sebuah upaya dari lawan-lawan Ahok untuk membawanya di balik jeruji. Namun, sepertinya usaha itu sedikit mengalami kegagalan. Dan kasus terbaru adalah reklamasi Teluk Jakarta.
Dalam satu pandangan yang sederhana, pilkada DKI tahun depan menjadi semacam ajang “pembantaian” Ahok oleh pihak-pihak yang berseberangan dengannya, terutama dari kalangan tertentu. Ahok dijadikan musuh bersama oleh lawan-lawan politiknya, sehingga memunculkan slogan “Asal bukan Ahok”, yang terus berkembang di kalangan elite politik Jakarta dan juga elite politik nasional, dan beberapa elemen masyarakat. Ahok menjadi “virus” yang mengancam kepentingan mereka, dan virus itu harus dimatikan. Kira-kira begitulah yang ada dalam benak musuh-musuh Ahok.
Untuk menjegal langkah Ahok menuju DKI-1, segala cara dilakukan oleh lawan-lawan politiknya. Tidaklah heran bila suku dan agamanya menjadi “sasaran” tembak yang empuk. Menurut pandangan saya sebagai orang awam, tindakan menyerang suku dan agama seseorang bukan menjadi satu bentuk pembelajaran yang baik dalam dunia perpolitikan. Ahok dengan segala “pernak-pernik” yang melekat di tubuhnya adalah dua hal yang berbeda. Ia bertindak sesuai dengan jabatan yang diembannya.
Tindakannya yang tegas dan keras, bukan menjadi suatu cerminan perbuatan sewenang-wenang satu suku terhadap suku yang lainnya; atau satu agama terhadap agama lainnya. Dalam hal ini benar-benar dibutuhkan suatu kejernihan yang bijak dalam menyikapinya.
Ketegasan Ahok mengingatkan saya pada sosok Bang Ali Sadikin (maaf, saya tidak sedang berusaha menyamakan kedua tokoh ini)—Gubernur DKI pada tahun 1966—yang juga seorang jenderal KKO. Yang membedakan keduanya adalah, untuk beberapa pihak, Bang Ali lebih “manusiawi” dan tahu kapan dan di mana ketegasannya ditunjukkan, dan juga dengan sekian banyak prestasi yang telah ditorehkan. Tidak ada yang bisa memungkiri jasa-jasa Bang Ali dalam membangun Jakarta—Penggagas pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, Pendiri Taman Ismail Marzuki, membangun Taman Impian Jaya Ancol, mengadakan Pekan Raya Jakarta—itu hanya sedikit dari sekian banyak prestasi yang dilakukan beliau untuk membangun Jakarta menjadi kota metropolitan.
Pada hakekatnya negeri ini (umum) dan Jakarta (khusus) dan juga daerah-daerah lainnya membutuhkan pemimpin yang berintegritas tinggi, benar-benar bekerja untuk rakyat dan mengabdi pada bangsanya. Sudah cukup lama negeri ini mengalami erosi moral kepemimpinan. Kebutuhan akan pemimpin yang tegas, jujur dan bersih sudah sangat mendesak, bila kita tidak ingin melihat kehancuran negeri ini.
Menjelang pilkada DKI berlangsung,banyak hasil survey yang bermunculan. Beberapa mengatakan bahwa eletabilitas petahana menurun. Bagi saya, mungkin saja hal itu benar, mengingat beberapa kebijakan yang dilakukan Basuki Tjahaya Purnama di beberapa tempat di Jakarta ditentang banyak pihak. Namun harus diingat juga bahwa hasil survey tidak dapat dipercaya sepenuhnya. Hasil survey bisa disesuaikan dengan keinginan si pemesan. Yang artinya hasil survey dapat dinilai seberapa banyak uang yang bisa dikeluarkan. Tapi tidak semua lembaga survey berlaku seperti itu. Masih banyak lembaga survey memiliki kredibiltas yang bisa dipercaya.