Mohon tunggu...
Hani Elmahida
Hani Elmahida Mohon Tunggu... Lainnya - Writer

Education, psychology, and writing enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kelahiran 2000 Memasuki Usia Seperempat Abad: Mengenal Fenomena dan Penyebab Terjadinya Quarter Life Crisis

1 Januari 2025   07:46 Diperbarui: 1 Januari 2025   07:56 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto akivitas pengunjung Perpustakaan Taman Ismail Marzuki

Memasuki tahun 2025, generasi Z adalah pemeran utama dalam quarter life. Kultur Indonesia secara organik banyak menjustifikasi usia 25 tahun sebagai fase krusial terkait dengan pencapaian karir, romansa, keluarga, dan lain sebagainya. Padahal tidak seharusnya generalisasi dan absolutisme tumbuh dalam keberagaman. Lalu bagaimana seharusnya mayoritas mereka bersikap?

Para kelahiran 2000 memiliki sense of life dari kedua masa, yaitu generasi 90an juga generasi 2000an. Dari akarnya, mereka sudah didesain untuk toleran dalam diferensiasi. Tumbuh dalam keanekaragaman kultur sehingga secara saintifik generasi ini lebih mudah menghargai perbedaan. Tidak tergabung dalam judgemental society adalah legacy yang sedikit sekali dilihat oleh lintas generasi lainnya. Di lain hal, mereka banyak memberikan pemakluman, tetapi sedikit mendapat apresiasi, dan sering dilabeli. Mereka boleh jadi adalah kelompok yang membuka cara berfikir inklusif terhadap perkembangan teknologi.

Seperempat abad atau quarter life banyak dikaji oleh peneliti terkait pengaruhnya terhadap mentalitas dan bagaimana individu bersikap. Sementara rentang usia seperempat abad yaitu 18 tahun hingga 30 tahun. Quarter life sendiri memiliki makna sebagai sebuah masa transisi dari remaja akhir menuju usia dewasa. Sementara term crisis dalam quarter life crisis merujuk pada negatifitas yang menutupi perjalanan hidup seseorang. Hal ini memunculkan rasa ketidakpuasan, tidak layak, serta cemas akan masa depan.

Penyebab Quarter Life Crisis

Ketidakcukupan pemahaman regulasi diri (Self-regulation)

Dewasa ini memiliki bekal pengetahuan psikologi dasar merupakan sesuatu yang cukup penting. Regulasi diri adalah kemampuan individu dalam bersikap, yang dipengaruhi oleh pengaturan emosi sebagai bentuk pertahanan diri dalam mencapai tujuan. Self-regulation ini didapat melalui pertemuan individu dengan diri sendiri seraya melakukan kontemplasi. Prosesnya bersifat relatif sebagaimana individu mulai untuk berkenalan dengan emosi dari dalam diri.

Pemahaman akan regulasi diri berjalan selaras dengan kemampuan intelejensi emosi. Semakin baik seorang individu mengenal diri sendiri, maka semakin baik pula pola pikirnya. Otak didesain bukan sekadar untuk memikirkan hitungan matematis, our mind is so powerful. Pernyataan tersebut benar adanya, atau boleh jadi merupakan bahasa saintifik dari “Tuhan adalah sebagaimana prasangka hambanya”. Kestabilan emosional erat kaitannya dengan kemampuan individu dalam meregulasi diri. Hasil dari cukupnya pemahaman regulasi diri yaitu sikap baik dan pola pikir sehat dari seseorang dalam menghadapi sesuatu dikemudian hari. Sebaliknya, krisis ilmu pengetahuan psikologi yang masih dianggap tabu oleh sebagian masyarakat, menimbulkan ketidaksiapan mentalitas individu untuk berhadapan dengan banyaknya probabilitas diluar zona nyaman. Boleh jadi pula, hal tersebut adalah sebuah akar dari munculnya krisis usia seperempat.

Ekspektasi diri

Ekspektasi diri merupakan sebuah harapan akan suatu keinginan dimasa yang akan datang. Hasil dari ekspektasi adalah suatu ketidakpastian sehingga sebaiknya diimbangi dengan kemampuan untuk menekan respon individu ketika menerima kesesuaian atau ketidaksesuaian dari hasil tersebut. Ketika usaha individu berhasil, maka hampir tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebaliknya, jika seseorang memiliki tingkat ekspektasi diri yang tinggi terhadap sesuatu, dan usahanya tersebut menemui kegagalan maka individu tersebut akan masuk dalam lingkaran stres atau bahkan frustasi ketika tidak dibekali dengan kemampuan kontrol diri yang baik.


Persoalan hubungan keluarga dan teman

Keluarga merupakan kelompok sosial primer yang memiliki andil besar dalam perkembangan kepribadian anak. Anak yang tumbuh dalam keluarga disfungsional akan membawa banyak celah. Hal tersebut seringkali mengantarkan mereka pada krisis nilai diri yang efeknya berupa perasaan tidak berharga, pesimistik, kebingungan, disorientasi dan lain sebagainya.

Salah satu fungsi keluarga adalah memenuhi rasa aman terhadap anak-anak. Hal tersebut selaras dengan berjalannya peran Ibu dan Ayah yang harmoni. Orang tua yang hanya hadir secara fisik namun absen secara emosional, berpotensi menumbuhkan memori pengabaian pada anak. Ketika anak sudah terbiasa diabaikan secara emosi bahkan dalam lingkup keluarga inti, outcomenya adalah invidu tidak cukup baik dalam kemampuan pemecahan masalah setiap kali dihadapkan dengan suatu persoalan. Inilah sebab yang boleh jadi akan menyuburkan krisis usia seperempat abad. Salah satu efek jangka panjang dari absennya peran emosional Ayah adalah perasaan tidak aman bagi anak perempuan dan kebingungan perihal bersikap untuk anak laki-laki. Sementara itu, ketidakhadiran Ibu secara emosi dapat membentuk anak menjadi pribadi yang keras terhadap diri sendiri maupun orang lain. Akar persoalan kepribadian yang ditumpuk secara berkala, pada akhirnya akan seperti bom waku yang memiliki limitasi untuk merusak diri sendiri

Selain keluarga, faktor pemicu munculnya krisis usia seperempat abad adalah lingkungan pertemanan. Seni berhubungan dengan orang asing membutuhkan keterampilan dasar yang kuat supaya berdaya untuk dominan menjadi baik dalam kelompok. Menjadi baik secara invidu adalah hal yang cukup mudah. Namun, tetap baik pada suatu kelompok membutuhkan konsistensi dalam idealisme.

Dewasa ini, perasaan tidak aman atau insecurity sering muncul di kalangan generasi millenial ataupun generasi Z. Hal tersebut didasari oleh dunia maya yang hanya menampilkan satu sisi dari banyaknya persona manusia. Ketidakberdayaan invidu ketika dihadapkan dengan realitas karir teman sebaya yang lebih baik dari mereka, pencapaiannya teman yang sulit dicapai diri sendiri, dan privillage yang hampir tidak mungkin didapat. Beberapa poin yang disebutkan tadi adalah sebuah negatifitas yang memicu timbulnya perasaan sulit merasa cukup dengan diri sendiri, lebih banyak memikirkan kehidupan orang lain daripada fokus terhadap pengembangan diri sendiri, serta distres yang berkepanjangan.

Selain itu, probabilitas selisih paham dalam hubungan antar orang dewasa lebih mungkin terjadi dibandingkan dengan dewasa dan anak-anak. Hal ini disebabkan otak logika usia dewasa sudah berkembang dan aktif secara baik. Sehingga, anak dengan rentang usia remaja akhir hingga dewasa mulai memiliki cara pandang dan beliefnya sendiri terhadap prisip hidup. Terlebih lagi, gap usia antara orang tua dan anak yang cukup jauh, serta perbedaan signifikan dari pola asuh keduanya sering kali menjadi penyebab selisih paham satu sama lain. Hubungan kedua hal tersebut dalam timbulnya krisis di usia seperempat abad ini adalah orientasi dan praktis yang seharusnya bisa saling membantu, namun karena beberapa hal yang tidak ideal, seperti contoh pola asuh yang keliru, sangat mungkin untuk membentuk kepribadian anak dengan banyak celah sehingga berpengaruh pada penurunn kemampuan sosialnya.

Tekanan pihak eksternal (Judgemental Society)

Tekanan pihak eksternal sering kali terjadi karena kurangnya batasan diri dari individu. Batasan diri tersebut bisa dalam hal sosial, budaya, maupun lingkup profesional. Terlalu banyak membandingkan diri dengan orang lain, keinginan untuk selalu memenuhi ekspektasi standar lingkungan, identifikasi diri yang keliru, serta kurangnya rasa cukup dalam pekerjaan, adalah beberapa contoh dari tekanan pihak luar yang di normalisasi oleh individu. Beberapa hal ini sedikit banyak meracuni cara kerja otak sehingga hormon kortisol meningkat. Reaksi tubuh ketika menghadapi ancaman stres atau frustasi boleh jadi diantara fight, flight, or freeze. Sehingga, peran lingkungan eksternal memiliki dampak yang cukup krusial terhadap mentalitas individu dalam quarter life. Tidak bisa dipungkiri bahwa standar sosial ini telah membudaya dimasyarakat. Namun, analisis penyebabnya adalah persepsi individu terhadap pola-pola sosial yang mana hal tersebut berada dalam kontrol diri tentang bagaimana seharusnya mereka bersikap dalam mengurangi stres dari luar.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun