Memasuki tahun 2025, generasi Z adalah pemeran utama dalam quarter life. Kultur Indonesia secara organik banyak menjustifikasi usia 25 tahun sebagai fase krusial terkait dengan pencapaian karir, romansa, keluarga, dan lain sebagainya. Padahal tidak seharusnya generalisasi dan absolutisme tumbuh dalam keberagaman. Lalu bagaimana seharusnya mayoritas mereka bersikap?
Para kelahiran 2000 memiliki sense of life dari kedua masa, yaitu generasi 90an juga generasi 2000an. Dari akarnya, mereka sudah didesain untuk toleran dalam diferensiasi. Tumbuh dalam keanekaragaman kultur sehingga secara saintifik generasi ini lebih mudah menghargai perbedaan. Tidak tergabung dalam judgemental society adalah legacy yang sedikit sekali dilihat oleh lintas generasi lainnya. Di lain hal, mereka banyak memberikan pemakluman, tetapi sedikit mendapat apresiasi, dan sering dilabeli. Mereka boleh jadi adalah kelompok yang membuka cara berfikir inklusif terhadap perkembangan teknologi.
Seperempat abad atau quarter life banyak dikaji oleh peneliti terkait pengaruhnya terhadap mentalitas dan bagaimana individu bersikap. Sementara rentang usia seperempat abad yaitu 18 tahun hingga 30 tahun. Quarter life sendiri memiliki makna sebagai sebuah masa transisi dari remaja akhir menuju usia dewasa. Sementara term crisis dalam quarter life crisis merujuk pada negatifitas yang menutupi perjalanan hidup seseorang. Hal ini memunculkan rasa ketidakpuasan, tidak layak, serta cemas akan masa depan.
Penyebab Quarter Life Crisis
Ketidakcukupan pemahaman regulasi diri (Self-regulation)
Dewasa ini memiliki bekal pengetahuan psikologi dasar merupakan sesuatu yang cukup penting. Regulasi diri adalah kemampuan individu dalam bersikap, yang dipengaruhi oleh pengaturan emosi sebagai bentuk pertahanan diri dalam mencapai tujuan. Self-regulation ini didapat melalui pertemuan individu dengan diri sendiri seraya melakukan kontemplasi. Prosesnya bersifat relatif sebagaimana individu mulai untuk berkenalan dengan emosi dari dalam diri.
Pemahaman akan regulasi diri berjalan selaras dengan kemampuan intelejensi emosi. Semakin baik seorang individu mengenal diri sendiri, maka semakin baik pula pola pikirnya. Otak didesain bukan sekadar untuk memikirkan hitungan matematis, our mind is so powerful. Pernyataan tersebut benar adanya, atau boleh jadi merupakan bahasa saintifik dari “Tuhan adalah sebagaimana prasangka hambanya”. Kestabilan emosional erat kaitannya dengan kemampuan individu dalam meregulasi diri. Hasil dari cukupnya pemahaman regulasi diri yaitu sikap baik dan pola pikir sehat dari seseorang dalam menghadapi sesuatu dikemudian hari. Sebaliknya, krisis ilmu pengetahuan psikologi yang masih dianggap tabu oleh sebagian masyarakat, menimbulkan ketidaksiapan mentalitas individu untuk berhadapan dengan banyaknya probabilitas diluar zona nyaman. Boleh jadi pula, hal tersebut adalah sebuah akar dari munculnya krisis usia seperempat.
Ekspektasi diri
Ekspektasi diri merupakan sebuah harapan akan suatu keinginan dimasa yang akan datang. Hasil dari ekspektasi adalah suatu ketidakpastian sehingga sebaiknya diimbangi dengan kemampuan untuk menekan respon individu ketika menerima kesesuaian atau ketidaksesuaian dari hasil tersebut. Ketika usaha individu berhasil, maka hampir tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebaliknya, jika seseorang memiliki tingkat ekspektasi diri yang tinggi terhadap sesuatu, dan usahanya tersebut menemui kegagalan maka individu tersebut akan masuk dalam lingkaran stres atau bahkan frustasi ketika tidak dibekali dengan kemampuan kontrol diri yang baik.