"Tahun sebelumnya pernah (terjadi kenaikan harga kedelai), tapi ini yang paling parah. Dulu (harga kedelai) naik tapi bisa turun lagi, kalo sekarang enggak, naik-naik terus malah. Waktu tahun baru 2021 juga pernah mogok (produksi) tiga hari. Jadi hampir setahun sekali,"
Namun demikian, kenaikan harga tahu dan tempe tidak menyurutkan minat masyarakat untuk mengonsumsi tempe dan tahu. Pada kenyataannya banyak orang yang tetap membeli dan menjadikan tempe dan tahu sebagai makanan sehari-hari di saat melonjaknya harga kedelai, mereka bisa memahami kalau ukuran tempe dan tahu sekarang sedikit lebih kecil. "Pembeli masih tetep beli (tempe), paling cuma nanya harga doang. Diakalin kita sendiri aja dikecilin (ukuran tempe) atau gimana," tambahnya.
Kementerian Perdagangan berspekulasi bahwa penyebab kenaikan harga kedelai internasional dikarenakan China membeli begitu banyak kedelai guna mendukung reformasi peternakan babi di dalam negeri. Diperkirakan reformasi akan membutuhkan pasokan kedelai yang besar sebagai salah satu bahan baku pakan ternak. Oleh sebab Indonesia 80% sampai 90% bergantung pada pasokan kedelai impor, tentunya akan terkena dampak langsung. Khususnya produsen tahu dan tempe yang membutuhkan kira-kira 3 juta ton kedelai per tahun.
Di saat harga tahu dan tempe mengalami kenaikan yang begitu tinggi, ada salah satu pedagang di pasar yang justru memilih untuk tidak menaikkan harga tahu dan tempe yang dijualnya. Pedagang ini bernama Eko. Dia berdagang di Pasar Klandasan, Balikpapan. Eko merupakan salah satu pedagang tahu dan tempe yang sungkan untuk menaikkan harga jual.Â
Ia mengakui, walau harga kedelai mahal, tempe yang dijualnya tidak mengalami kenaikkan harga. Hal tersebut ia lakukan sebab ia khawatir, kalau ia menaikkan harga, nantinya ia bisa saja ditinggal pembeli. "Harga jualnya tetap, tapi pembelinya saat ini juga ikut menurun." ucapnya, dilansir dari Inibalikpapan.com Jaringan Suara.com, Jumat (4/3/2022).
Dirinya mengakui, sempat ada niatan untuk mengusahakan supaya komoditas yang dijualnya tetap memperoleh untung. Tetapi hal itu tidak jadi dilakukan olehnya, pasalnya ia bingung bagaimana cara mengakalinya. Alhasil ia memilih solusi lain yaitu dengan menurunkan jumlah produksi, tetapi harga jual yang digunakan tetap sama. "Kalau ukurannya dikurangi nanti tambah ditinggal pembeli (karena) kok makin kecil (ukuran tempenya). Dalam sehari paling mengolah 100 kg kedelai jadi tempe," ujar terakhirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H